Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Untung setelah jembatan buntung

Jembatan komering yang menghubungkan plaju ke sungai gerong dan mariana, musi banyuasin, sum-sel runtuh. untuk memperbaiki perlu waktu 8 bulan. penduduk yang memiliki perahu mendapat hikmahnya.

26 Januari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JEMBATAN terban lantaran truk keberatan muatan. Itulah nasib jembatan Komering -- satu-satunya penghubung dari Plaju ke Sungaigerong dan Mariana, Musi Banyuasin -- di Sumatera Selatan, yang runtuh akhir November lampau. Mulai dipakai 1973, selain untuk kebutuhan Pertamina, jembatan sepanjang 260 meter dan lebar 7 meter itu bermanfaat pula bagi lalu lintas umum. Kapasitas maksimum beban yang boleh lewat di situ 35 ton. Namun, fondasi di bagian tengah kena tanah gembur hingga sejak akhir 1984 cuma kuat memikul 15 ton. Dan menjelang akhir 1990 pilar tengahnya sudah kritis. Lalu diumumkan bahwa kapasitas maksimumnya hanya untuk 10 ton. Namun, sudah rahasia umum jika sopir truk angkutan berat suka main kucing-kucingan tentang bobot muatannya. Tak dapat lewat siang, ya, dini hari. Praaak, sang jembatan terampun-ampun bagai orang patah pinggang. Bagian sepanjang 72 meter tersumbam dalam sungai. Penduduk sekitarnya mendengar suara ambruk tadi menjelang subuh. Memang tak ada korban jiwa, tetapi di kawasan Mariana listrik padam karena rentangan kabel PLN membonceng di jembatan itu. Hubungan darat kini putus antara daerah barat Sungai Komering sekitar Plaju dan Palembang dengan kawasan timur di sekitar Sungaigerong, Kampung Bali, dan Mariana. Dan 400 karyawan Pertamina yang bermukim di Sungaigerong kena getahnya. Selama ini ke kantor dengan mobil, kini gantinya kendaraan air meski mereka tetap pakai dasi atau safari. Misalnya, Pimpinan Umum Daerah Pertamina Sumatera Selatan, Ir. Zuhdi Pane, Manajer Unit Pengolahan, Ir. Samto Utomo, dan Kepala Humas Agus Diaparie tiap hari naik feri. Dari kebiasaan baru itu mereka menjuluki dirinya "manusia perahu". Ada pula yang merasakannya sebagai satu pengalaman baru, di samping seperti kembali ke masa silam. "Hitung-hitung nostalgia karena dari feri juga saya dapat jodoh," tutur Samto kepada Aina Rumiyati Aziz dari TEMPO. Tiap hari Pertamina memang menyediakan tiga feri dan dua kapal motor memboyong mereka ke Plaju, termasuk anak-anak sekolah serta umum. Penyeberangan sekitar 15 menit. Peluang itu lumayan buat karyawan Pertamina hingga mereka menyelesaikan sebagian kerja kantor. "Urusan dengan manajer, bisa tembak langsung tanpa memo," kata Agus Diaparie. Di jembatan buntung itu ada pula untung. Coba hitung, untuk bisa kembali pada kondisi semula perlu waktu delapan bulan. Karena itu, bagi penduduk yang memiliki perahu atau kapal motor, jembatan runtuh itu mendatangkan hikmah. Mereka menyeberangkan penumpang yang tak tertampung di feri, atau karyawan Pertamina yang terlambat ikut feri. Kini tiap hari mondar-mandir 30 perahu besar bermuatan 20 penumpang dan 25 perahu dayung. Mereka beroperasi sehabis subuh hingga menjelang magrib. Amat, misalnya, sekali jalan menyeberangkan 20 orang dengan ongkos Rp 200 per kepala. Perahunya itu ia lengkapi dengan tape yang memutar dangdut. Ia bisa meraih Rp 20 ribu sehari bersih. Selama ini hanya Rp 4.000 yang singgah ke kantungnya. Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus