Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Marzuki Darusman kini lebih banyak mon-dar-mandir Jakarta-Jenewa, markas besar Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai Ke--tua Tim Pencari Fakta (TPF) Dewan HAM PBB untuk Myanmar, ia menyiapkan pem-berkasan untuk penuntutan kasus du-gaan pembersihan etnis (genosida) oleh militer Myanmar terhadap warga Ro-hingya. Laporan terbaru TPF tentang hubungan bisnis militer Myanmar dengan pembersihan etnis di negara itu dirilis pada awal September lalu. “Temuan itu menguatkan dugaan genosida terhadap warga Rohingya,” kata pria kelahiran Bogor, 26 Januari 1945, tersebut.
Dalam wawancara sekitar satu jam di Jakarta, mantan Jaksa Agung dan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia itu men-jelaskan temuan terbaru TPF, fakta yang menguatkan dugaan genosida oleh militer Myanmar, dan prosedur yang harus dilewati sebelum dibentuk pengadilan internasional di PBB. Berikut ini petikan wawancara Marzuki dengan wartawan Tempo, Abdul Manan, Senin, 26 Agustus lalu.
Apa yang paling krusial dari temuan TPF?
Pertama, laporan mengenai bisnis mili-ter ini menunjukkan skala bisnis militer yang menyebabkan mereka tidak tunduk pada pemerintah. Ini membuat tentara Myanmar bisa beroperasi di luar anggaran negara, di luar kebijakan pemerintah. Kedua, ditemukan uang yang didapatkan dari bisnis itu digunakan untuk operasi genosida. Hubungannya langsung ka--re-na panglima tertinggi, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, dalam suatu acara pe--ngumpulan dana mengeluarkan se--ruan dan terkumpul US$ 10 juta. Tapi itu tidak cukup, jadi pasti mengambil lagi dari yang dikumpulkan dari bisnis. Genosida yang dilakukan dengan dana bisnis militer ini berkelanjutan. Tidak hanya untuk menggelar operasi, tapi juga untuk infrastruktur agar Rohingya tidak kembali, dengan pembangunan tembok dan pagar perbatasan.
Jadi ada niat menolak orang Rohingya kembali?
Puluhan tahun sebelumnya, kaum Rohingya diisolasi, dikurung di kamp-kamp pengungsi yang disebut kamp penduduk yang berpindah-pindah. Rohingya tak boleh keluar dari situ, tak boleh mencari nafkah, bertani, berniaga di luar kompleks itu. Kalau mau keluar, harus minta izin. Pendidikan dibatasi. Tak boleh ada yang ke perguruan tinggi. Kelahiran dibatasi, tak boleh lebih dari dua anak. Dalam teks internasional, ini tanda niat memusnahkan. Pembatasan kenikmatan kebudayaan dan pendidikan dalam rangka penghapusan identitas. Pembatasan kelahiran secara paksa dan kesulitan mendapat sertifikat kelahiran itu untuk mengecilkan eksistensi fisik masyarakat Rohingya. Itu sudah masuk kategori genosida. Jadi hal ini sulit dibantah Myanmar.
Laporan TPF menyebutkan di daerah konflik itu banyak terkandung giok, ruby. Apa memang ada alasan ekonomi di balik pengusiran Rohingya?
Ini yang sedikit disorot, yakni soal hakikat tentara nasional Myanmar (Tatmadaw). Itu sebetulnya tidak lebih tidak kurang dari organisasi etnis bersenjata suku Bamar, suku besar Myanmar. Elite militer pemerintah sekarang berasal dari suku ini. Mereka ingin meletakkan supremasi sukunya atas suku-suku lain. Konflik selama tujuh tahun ini sebetulnya konflik yang bertalian dengan aspirasi hegemoni suku Bamar untuk menguasai suku-suku lain. Karena itu, kalau kita sebut tentara nasional Myanmar, napasnya adalah tentara organisasi bersenjata etnis Bamar yang menyamar atau memberi kesan bahwa mereka tentara Myanmar sehingga dunia internasional melihat suku ini melawan Tatmadaw karena membela diri, dimiskinkan, melalui perebutan sumber alam. Di Kachin banyak giok, di Kisan banyak giok dan amber. Kaya luar biasa. Mereka mau rebut ini untuk bisa menguasai wilayahnya sehingga suku-suku asli tidak memiliki basis ekonomi untuk melawan.
Ini yang oleh dunia internasional dipahami bahwa tentara nasional Myanmar sedang menghadapi pemberontakan sehingga tentara Myanmar seakan-akan sedang memelihara persatuan Myanmar. Kenyataannya bukan seperti itu, melainkan perebutan kekuasaan antarsuku. Suku Bamar ingin menundukkan suku lain atau menjadikan dirinya hegemonik. Aung San Suu Kyi berasal dari suku itu, sama dengan rezim militer.
Itu yang bisa menjelaskan kenapa Aung San Suu Kyi seperti tidak punya kuasa terhadap militer?
Ya. Pada hakikatnya, hati Aung San Suu Kyi itu alam Bamar. Dengan kalkulasi politik lebih lagi, karena dia berniat maju menjadi presiden dalam pemilihan November 2020. Tapi itu spekulasi. Bagaimanapun konteks Bamar ini, psikologi Bamar dan aspirasi Bamar itu menjelaskan mengapa Aung San Suu Kyi bersikap dingin soal Rohingya, karena Rohingya memang tidak masuk daftar 135 suku yang resmi. Padahal semestinya mereka masuk dari segi sejarah karena sudah ada di negara itu saat Burma merdeka.
Jadi prospek mengembalikan Rohingya ke Myanmar sangat kecil?
Nyaris tidak mungkin karena mereka tidak berniat (menerima). Pemulangan Rohingya oleh Bangladesh ke Myanmar sedang kami amati. Rohingya sendiri enggan kembali kalau tidak dengan tiga syarat: sukarela, aman, dan bermartabat. Bila kembali pun mereka harus diberi kewarganegaraan supaya terlindung dari diskriminasi. Apakah Myanmar dan masyarakatnya, yang sudah dihasut sedemikian rupa, serta-merta mau menerima mereka kembali? Sulit membayangkannya.
Sekarang ada tarik-menarik dua negara. Bangladesh mengatakan Myanmar tidak tulus. Myanmar mengatakan harus menyeleksi ketat karena mungkin saja ada non-Rohingya yang masuk. Dengan beralasan begitulah mereka menunda (pemulangan) sehingga Bangladesh harus memikul beban 1 juta lebih pengungsi di Cox’s Bazar. Ini pengungsian terbesar di dunia, lebih besar dari Suriah.
Apa langkah TPF selanjutnya?
TPF mengkonsolidasi dan mendalami temuan-temuan yang relevan dan penting untuk persiapan penuntutan hukum dugaan genosida. Menurut kami, genosida terjadi, tapi harus dibuktikan di pengadilan. Ini juga sebagai persiapan timbang terima dengan mekanisme baru bernama Mekanisme Penyelidikan Independen untuk Myanmar (IIMM), yang bertugas mempersiapkan penuntutan hukum. Lembaga peradilannya nanti harus dibentuk setelah persiapan penuntutan. Pengalihan dari TPF kepada IIMM akan dilakukan bulan ini.
Setelah temuan TPF itu, ada juga laporan soal kejahatan seksual oleh militer Myanmar.
Soal kejahatan seksual sama dengan TPF, juga dalam rangka konsolidasi. Dua bidang ini menyangkut satu nasib kelompok etnis lain yang belum dicakup dalam laporan pertama. Laporan pertama titik beratnya pada Rohingya, Kachin, dan San. Ini perlu konsolidasi untuk mencakup kelompok Rakhine sendiri, Kokang, dan lain-lain. Laporan kedua soal konsolidasi dari peranan militer. Yang ketiga soal kekerasan seksual berbasis gender.
Laporan ketiga sudah disiapkan?
Akan keluar September. Kemudian (laporan mengenai) suku-suku yang lain juga akan keluar.
Apakah bahan untuk kebutuhan penuntutan sudah siap?
Sudah siap, tapi ini kan harus berbentuk berkas. Tugas IIMM itu pemberkasan untuk diserahkan kepada pengadilan yang masih harus dibentuk PBB. Ada beberapa opsi: Pengadilan Pidana Internasional (ICC); pengadilan ad hoc, seperti di Yugoslavia dalam kasus Rwanda; pengadilan campuran, seperti kasus Kamboja; yurisdiksi nasional dengan beberapa negara membentuk pengadilan; dan pengadilan nasional. Yang terakhir ini paling tidak disarankan, tapi sebagai opsi harus ada. Di Myanmar selama 50 tahun tidak ada kemandirian peradilan sehingga sulit dipakai. Perlindungan saksi tidak ada.
Ini harus disahkan melalui resolusi?
Untuk pembentukan ICC melalui Dewan Keamanan PBB atau sidang umum PBB.
Kapan pengadilan dugaan genosida ini akan dimulai?
Kalau bahan diserahkan September, diperlukan sekurang-kurangnya setahun untuk persiapan berkasnya. Bisa sampai dua tahun. Kemudian pembentukannya akan disesuaikan dengan selesainya pekerjaan IIMM. Bisa diperkirakan masalah Myanmar akan ada di sidang PBB sekurang-kurangnya dua-tiga tahun mendatang karena prosedur ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo