Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Rumah Sakit Indonesia di Beit Lahia, Gaza utara masih berada dalam keadaan rusak sejak kembali berfungsi secara terbatas pada Juni 2024. Fasilitas kesehatan yang didanai masyarakat Indonesia tersebut sempat rusak parah akibat pengepungan dan serangan Israel. Kini, para dokter di sana terpaksa memberikan pelayanan kesehatan dengan seadanya, termasuk menjalankan operasi dalam keadaan listrik padam.
Empat orang dokter yang tergabung dalam tim relawan medis Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) sekarang sedang melakukan asesmen di Rumah Sakit Indonesia untuk mencatat apa saja kondisi yang perlu diperbaiki, setelah mereka tiba di rumah sakit itu pada Jumat, 9 Agustus 2024.
Tim relawan kali ini merupakan yang kelima yang dikirimkan oleh MER-C ke Gaza setelah serangan Israel di wilayah kantong itu pada 7 Oktober 2023. “Untuk tim kelima ini, kami menargetkan mendukung Rumah Sakit Indonesia,” kata petugas penghubung atau liaison officer (LO) MER-C Marissa Noriti dari lokasinya di Gaza, saat konferensi pers di Jakarta Pusat, Senin, 12 Agustus 2024.
Dany Kurniadi Ramdhan, dokter bedah saraf sekaligus ketua tim medis darurat (EMT), membagi kerusakan di rumah sakit tersebut menjadi dua yakni kerusakan pada struktur pembangunan dan pada sarana dan prasarana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut pantauan Dany dan timnya di sana, kerusakan yang terjadi pada struktur bangunan rumah sakit tersebut tidak begitu ekstensif meski masih ada bekas hantaman roket dan kebakaran. Akses jalanan rusak akibat tergilas buldoser dan ada banyak bangkai kendaraan berserakan, sehingga mempersulit akses masuk ke rumah sakit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tapi itu sudah diperbaiki sedikit,” ujar Dany.
Sementara itu, menyangkut sarana dan prasarana, dokter spesialis itu mengatakan kerusakan yang membutuhkan perbaikan segera adalah sumber listrik rumah sakit. Rumah Sakit Indonesia beroperasi menggunakan dua sumber listrik, yaitu panel surya dan generator. Jalannya generator tergantung pada bahan bakar yang disuplai oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kata Dany, namun ketersediaannya tergantung pada situasi di Gaza yang sedang serba kekurangan. Sedangkan, dari semua panel surya yang ada di atap rumah sakit tersebut, hanya sekitar 20 persen yang berfungsi.
Dengan sedikit persediaan bahan bakar, Rumah Sakit Indonesia menggunakan generator pada malam hari dan panel surya pada siang hari. Meski terbatas, rumah sakit itu masih berfungsi dan para tenaga kesehatannya tetap menjalankan operasi.
“Kami tetap melakukan tindakan operasi walaupun lampu mati. Kemarin kami datang, kebetulan lampu lagi mati, operasi sedang berjalan. Akhirnya, operasi dilanjutkan dengan disenterin pakai lampu HP. Seperti itulah situasinya,” kata Dany. Ia menambahkan, dengan kondisi naik turunnya daya listrik, alat-alat medis berisiko cepat rusak.
Alat-alat penunjang seperti mesin CT scan dan peralatan laboratorium sudah banyak mengalami kerusakan, begitu juga alat skrining untuk bank darah. Sementara itu, alat-alat penting seperti mesin ultrasonografi (USG) hanya tersisa satu, dan bahan medis habis pakai hanya tersisa untuk satu hingga dua pasien di seluruh Gaza.
Dany mengatakan kebutuhan listrik menjadi prioritas utama untuk perbaikan Rumah Sakit Indonesia saat ini. “Kalau bisa, sih, nggak menunggu sampai gencatan senjata ya, karena ini sangat vital untuk melakukan kegiatan di rumah sakit,” tuturnya.
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini