SEKARANG, polisi Amerika boleh menangkap maling di mana pun di dunia. Tindakan itu boleh dilakukan sekalipun ada protes dari negara lain, dan sekalipun penangkapan itu dilakukan dengan cara tak sah, misalnya dengan menculik. Itulah keputusan Mahkamah Agung Amerika yang kontan mendapat reaksi keras baik dari dalam maupun luar negeri. Sidang Mahkamah Agung itu diadakan sehubungan dengan perdebatan di pengadilan California mengenai keabsahan peradilan atas Humberto AlvarezMachain, seorang dokter Meksiko yang terlibat pembunuhan seorang petugas hukum Amerika. Agen Drug Enforcement Administration (DEA), badan pemerintah yang menjadi ujung tombak pemberantasan penyelundupan obat bius, rupanya kewalahan menangkap AlvarezMachain. Maka, diumumkanlah hadiah US$ 50 ribu bagi siapa yang bisa membawa dokter itu pada DEA. Syahdan, Maret 1985, tertarik pada hadiah itu, beberapa orang Meksiko menculik AlvarezMachain. Mereka membawanya ke Amerika Serikat dengan pesawat. Para penculik tak cuma mendapat hadiah, juga kewarganegaraan Amerika. Dalam tuduhan jaksa, AlvarezMachain telah membantu para mafia obat bius Meksiko yang menculik dan menyiksa Enrique Camarena, nama si agen tersebut. Dalam tuduhan tersebut, konon, untuk memeras rahasia dari Camarena tentang bagaimana DEA bisa mengungkapkan operasi penyelundupan obat bius dari Meksiko ke Amerika, Alvarez membuat Camarena sadar terus ketika disiksa. Akibatnya, agen obat bius itu mati perlahanlahan dengan menanggung penderitaan luar biasa, dan mayatnya yang hampir membusuk, bersama dengan mayat seorang pilot DEA yang baru diketemukan sepekan setelah keduanya hilang. Tapi, pengadilan federal California kemudian memerintahkan agar Alvarez dikembalikan ke Meksiko lantaran penangkapan atas dirinya dianggap tak sah. Atas dasar pertentangan pendapat itulah Mahkamah Agung diminta untuk memutuskan sah tidaknya peradilan itu. Dan dengan suara 6 lawan 3 ternyata Mahkamah Agung mengesahkan penculikan dan peradilan itu. Tentu saja pemerintah Meksiko mencakmencak. Menurut pemerintah Meksiko, penculikan dan penahanan atas Alvarez dilakukan tanpa mempedulikan kedaulatan Meksiko. Pada pendapat pemerintah Meksiko, kalaupun Alvarez memang bersalah, ia harus diadili di negerinya, bukan di Amerika. Tapi Amerika punya jawaban mengapa bertindak menurut caranya sendiri. Pihak DEA telah lama dibikin kesal oleh Meksiko, yang dituduhnya menunda-nunda penyelesaian soal pembunuhan Camarena itu. Washington juga menuduh, aparat kepolisian Meksiko yang korup terlibat dalam kasus Camarena itu. Menurut versi pemerintah Meksiko, dokter tersebut diculik dari kantornya di Kota Guadalajara dan secara paksa diterbangkan ke kota El Paso, dalam wilayah Amerika. Di situ telah menunggu agenagen federal yang kemudian membawanya ke Washington. Meksiko menuduh penculikan Alvarez merupakan pelanggaran atas perjanjian ekstradisi antara kedua negara. Sikap Mahkamah Agung yang menganggap tindakan para penegak hukum Amerika itu sahsah saja diutarakan oleh ketuanya, Hakim Agung William H. Rehnquist. Ia menulis bahwa penculikan itu memang bisa dianggap sebagai perbuatan yang mengagetkan dan bahkan melanggar hukum internasional. Tapi, tulis Rehnquist lagi, itu tidak melanggar perjanjian ekstradisi dan konstitusi. Namun, ada tiga anggota Mahkamah Agung, yakni Hakim Harry Blackmun, Sandra Day O'Connor, dan John Paul Stevens, yang berpendapat lain. Mereka berargumentasi, keinginan untuk membalas dendam bukan suatu cara untuk menghalalkan pelanggaran atas pemerintahan berdasarkan hukum, karena kewajiban pengadilan adalah justru menjunjung terpeliharanya asas itu." Ketiganya mengatakan, dunia beradab akan terganggu dengan tindakan yang semenamena itu, dan keputusan Mahkamah Agung itu akan mengubah perjanjian ekstradisi hanya sebagai rangkaian kata kosong belaka. Padahal, Amerika Serikat punya perjanjian ekstradisi dengan 103 negara, dan kemungkinan besar soal culik-menculik seperti itu tak dirinci secara jelas. Pekan lalu, sehubungan dengan kasus ini, muncul spekulasi bahwa AS akan menculik dua warga Libya yang dituduh memasang bom di pesawat Pan Am yang meledak di atas Lockerbie, Skotlandia, beberapa lama lalu. Profesor Komar Kantaatmadja, guru besar hukum internasional di Universitas Padjadjaran Bandung, juga mengatakan, keputusan Mahkamah Agung Amerika sebagai sesuatu yang sangat mengejutkan. "Mengejutkan karena tugas pengadilan memelihara keadilan dan bukan malahan menentang pengadilan." Komar juga mengatakan, dengan keputusan itu Amerika sedang "menggergaji hukum internasional" karena jelas-jelas melanggar asas kedaulatan negara lain dan asas kesederajatan semua negara dalam bidang hukum. Kata Profesor Komar pada wartawan TEMPO Ahmad Taufik, perbuatan Amerika itu merupakan tradisi buruk bagi hukum internasional. "Itu tradisi buruk. Tradisi koboi pada abad ini," katanya. Karena, katanya, tindakan Amerika itu susah sekali dicari dasar hukumnya. Itu lebih merupakan hukum rimba yang didasarkan pada siapa yang kuat, dialah yang berkuasa. Jalan bagi negara yang dirugikan adalah mengadukan hal itu kepada Badan Hukum Internasional PBB. Juga keputusan Mahkamah Agung AS itu, "secara teoretis meniadakan doktrin kedaulatan negara, bila setiap negara bisa melakukan aksi polisionil di negara lain," kata Tom Farer, dosen Hukum Internasional di American University, Washington. Sebenarnya, bukan hanya kali itu Amerika Serikat melakukan pelanggaran kedaulatan negara lain untuk kepentingan Amerika sendiri. Tentara Amerika pada 1985 dengan enaknya menyerang dan menduduki Granada karena pemerintah kiri di sana merupakan ancaman terhadap Amerika. Alasannya tentu saja lain: demi menyelamatkan warga Amerika yang ada di sana. Kemudian pada 1990 terjadi agresi atas Panama untuk menangkap diktator Noriega, yang dituduh terlibat penyelundupan obat bius. Dengan dukungan hukum seperti yang diumumkan oleh Mahkamah Agung Amerika, negara mana lagi yang akan jadi sasaran berikutnya? A. Dahana (Jakarta), Bambang Harymurti (Washington, D.C.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini