PADA akhirnya, Korea Utara pun ~membuka pintu. Kini kedua Korea ~sibuk mencari jalan unifikasi. Sementara itu, negara-negara yang tadinya bersahabat dengan salah satu dari dua negara yang bermusuhan itu mulai mencari kesempatan. Dan kedua Korea pun berusaha mencari sahabat-sahabat baru. Jepanglah yang pertama-tama melangkah mencari kesempatan. Dalam paspor Jepang tertulis Korea Utara sebagai negara yang dilarang dikunjungi warga Jepang. Tapi, Senin dua pekan silam, dua delegasi Jepang terbang ke Pyongyang. Bekas wakil PM Shin Kanemaru memimpin rombongan Partai Demokrasi Liberal yang berkuasa di Jepang. Dalam pada itu, rombongan Partai Sosialis Jepang yang dipimpin Makoto Tanabe juga terbang ke Pyongyang. Yang unik, kedua delegasi membawa surat dari PM Toshiki Kaifu, minta maaf atas penjajahan Jepang yang berlangsung selama 36 tahun atas rakyat Korea. Anehnya, surat itu atas nama Kaifu sendiri sebagai ketua Partai Demokrasi Liberal. Untunglah, Presiden Kim Il-sung tak mempersoalkan siapa penulis surat. Memang ada maksud di balik langkah Jepang. Yakni, diselesaikannya masalah kapal Fujisan Maru beserta awaknya, yang ditahan oleh Korea Utara sejak Desember 1983, dituduh melakukan kegiatan mata-mata. Mungkin karena keramahan Kim Il-sung dan harapan untuk menyelesaikan masalah kapal dan awaknya itulah yang menyebabkan Kanemaru menjanjikan untuk menyampaikan berbagai isu kepada pemerintahnya. Kanemaru menjanjikan membicarakan soal pampasan Jepang sebagai pengganti rugi 36 tahun penjajahan Jepang. Malah ia pun bersedia mempertimbangkan pembayaran kepada Korea Utara -- sebagai pengganti kerugian selama 45 tahun setelah perang berakhir. Biasanya rakyat Jepang setuju saja soal penggantian kerugian masa penjajahan. Tapi, dalam soal kedua, mereka menyangsikannya. Tak lama setelah kedua delegasi pulang, pers Jepang sibuk menyerang Kanemaru sebagai telah "menjual" Jepang. Surutnya perang dingin dan robohnya rezim-rezim komunis di Eropa menyebabkan negeri semacam Korea Utara paling dirugikan. Apalagi Uni Soviet sudah meninggalkannya dan normalisasi hubungan Seoul-Moskow nampaknya akan terjelma dalam waktu dekat. Pyongyang tentu merasa dibohongi. Ketika Menlu Shevardnadze berkunjung ke Pyongyang, Desember 1988, ia berjanji, Soviet tak akan menormalisasikan hubungan dengan Seoul. Selain itu, Uni Soviet -- yang ekonominya sedang morat-marit -- memberi tahu Korea Utara bahwa subsidi minyaknya akan dicabut. Padahal ekonomi Korea Utara sendiri sedang menurun, dan utangnya menggembung sampai US$ 1,7 milyar. Apa lagi yang bisa dilakukan Pyon~yang, selain memaksa diri membuka pintu ? Sementara itu, hubungan ekonomi Korea Selatan dan Soviet makin hangat. Sejak kedua negara membuka kantor dagang di ibu kota masing-masing, nilai dagang keduanya makin naik. Tahun silam, angka itu sebesar US$ 600 juta. Tahun ini, diperkirakan akan mencapai sekuran~g-kurangnya US$ 1 milyar. Tak cuma Korea Utara, kalangan bisnis Jepang pun mencemaskan makin rapatnya Seoul-Moskow. Jepang berharap, Soviet akan menjadi ladang ekonomi baru. Tapi, pemerintah Jepang bersikeras: setiap perundingan mengenai bantuan ekonomi harus dikaitkan dengan pengembalian empat pulau yang diduduki Soviet sejak akhir Perang Dunia II. Kesempatan inilah yang diambil oleh Seoul. Dan mungkin, inilah yang menyebabkan Jepang buru-buru ke Pyongyang, agar tak kecolongan dua kali. Perang dingin mereda, perang ekonomi menaik. Seiichi O~kawa (~Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini