Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Antara perang dan damai

Ada persamaan kebijaksanaan bush dan eisenhower dalam menghadapi konflik internasional. eisenhower memberi peluang untuk keluar dari pertikaian. dalam krisis teluk bush bersikap terhadap saddam sebagai pribadi.

13 Oktober 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BISAKAH perang dihindarkan? Perang antara Saddam dan Bush? "Suatu penyelesaian politik sangat mungkin dicapai," kata Yevgeny Primakov, utusan Presiden Gorbachev, yang Sabtu pekan lalu menemui Saddam Hussein dan pemimpin Irak lainnya. Ia tak merinci pernyataannya tersebut. Tapi seorang penulis buku tentang Eisenhower, William Bragg Ewald Jr., menunjukkan bahwa jalan keluar untuk berunding hampir tertutup. Ewald, dalam artikelnya di surat kabar New York Times, menyimpulkan hal itu setelah membandingkan antara kebijaksanaan Bush dan Eisenhower dalam melibatkan Amerika dalam suatu krisis internasional. Mula-mula Ewald memuji persamaan kebijaksanaan Bush yang sejalan dengan kebijaksanan Eisenhower (yang menjadi presiden AS pada 1953-1961). Yakni sama-sama tak melakukan pelibatan sendirian. Bush berhasil melibatkan Inggris, Prancis, dan negara di Timur Tengah lainnya (antara lain Mesir dan Syria) untuk ikut mengirimkan pasukan ke Teluk. Eisenhower pada 1954 batal melibatkan diri di Vletnam setelah kekalahan Prancis di Dien Bien Phu karena tak berhasil membentuk aliansi dengan sekutu-sekutu lain di Barat. Persamaan yang lain, Bush dan Eisenhower sama-sama memandang penting bertindak di jalan PBB. Prakarsa Amerika, sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, membuka sidang darurat ketika Irak masuk Kuwait, membuahkan pemberian sanksi terhadap Irak. Dulu, 1958, Eisenhower mengirimkan sekitar 15 ribu marinir ke Libanon, ketik~a negeri itu diancam perebutan kekuasaan. Dan kemudian ia per~i ke PBB untuk menerangkan bahwa seti~p negara punya hak untuk mempertahankan kedaulatnnya atas dasar kerja sama keamanan dengan negara lain. Ketika PBB mengatakan ia akan melindun~i kemerdekaan dan kebeba~san Libanon, dengan segera pasukan marinir itu ditarik. Adapun kritik Ewald ~dalah pada cara Bush menghadapi Saddam. Yakni penyebutan dengan kata-kata kasar secara langsung nama pemimpin yang kebetulan sedang jadi "musuh". Misalnya, Presiden Bush pagi-pagi sudah mencap Saddam sebagai "Hitler baru". Sebenarnya, semangat machoism bukan hal yang aneh dalam sejarah kepresidenan Amerika. Presiden Lyndon Johnson pernah berang dan berniat mempermalukan Ho Chi Minh, pemimpin Vietnam Utara. Presiden Ronald Reagan suatu kali mengatai-ngatai Presiden Nikaragua, Daniel Ortega, sebagai "serdadu picisan". Dan di tahun lalu, Presiden Bush menculik Jenderal Noriega dari Panama untuk diadili di Amerika. "Eisenhower tak pernah menjadikan konflik internasional menjadi konflik pribadi," kata Ewald. Stalin, diktator Soviet di tahun 1950-an yang harus dihadapinya, tak pernah diserangnya secara pribadi meski Eisenhower pada dasarnya seorang yang mudah emosional -- kala muda suka tinju, dan mudah meledak terhadap musuhnya. Menurut Ewald, karena Eisenhower berpikir, pada suatu saat ia mungkin saja harus berunding dengan Stalin. Dengan kata lain, Eisenhower selalu memberi peluang bagi dirinya dan bagi musuhnya untuk keluar dari pertikaian. Pujian Ewald tentu bukan karena ia pernah menjadi staf di Gedung Putih di masa Eisenhower. Sebab, seorang penulis lain, Donald Neff, dalam bukunya Warriors of Suez pun memujikan hal yang sama untuk Eisenhower, presiden AS yang harus menghadapi krisis Terusan Suez di tahun 1956. Di situ dilukiskan bagaimana Eisenhower secara dingin menghindarkan diri melibatkan Amerika dalam komplotan Inggris, Prancis, dan Israel menyerang Mesir karena Gamal Abdul Nasser menasionalisasikan Terusan Suez. Eisenhower tak ikut dengan pertimbangan politik Amerika di Timur Tengah dalam jangka panjang. Benar, sikap Bush mungkin juga terdorong oleh watak pemberang Saddam Hussein. Presiden Irak itu pun punya kritik kasar terhadap Bush, yang disebutnya sebagai pelindung rezim-rezim feodal, kolot, dan korup di Timur Tengah. Bush kini menghadapi jalan simpang. Yang pertama adalah jalan yang pernah ditempuh Paman Sam dalam Perang Vietnam yang berakhir dengan kekalahan. Inilah jalan machoism, jalan sok jagoan. Jalan kedua, jalan kebijaksanaan yang memperhitungkan jangka panjang, yang memberikan kesempatan baik bagi diri sendiri maupun lawan untuk duduk berunding tanpa kehilangan muka. Tentu, "teori Ewald" yang optimistis itu mengasumsikan antara Bush dan Saddam tak ada pihak ketiga yang tiba-tiba merasa ikut punya kepentingan. Misalnya, ketika keduanya sudah siap berdamai, pihak ketiga itu melempar bom sembunyi tangan. ADN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus