KERAJAAN Seribu Gajah berakhir. Ini adalah kejadian terpenting
di kawasan Asia Tenggara awal bulan ini, kendatipun berita
tersebut tidak pula teralu mengejutkan. Sejak kejatuhan Vietnam
Selatan dan Kamboja, Pahet Lao yang makin lama makin kuat di
dalam kabinet koalisi Laos, terus menerus melakukan tekanan
terhadap golongan kanan dan tengah. Mula-mula mereka menteror
sejumlah menteri dan pejabat tinggi dari golongan lain.
Kekosongan yang menyebabkan lowongnya sejumlah kursi akhirnya
diisi oleh orang-orang kanan yang lemah. Dan orang-orang ini
mudah dikuasai oleh Pathet Lao. Larinya sejumlah jenderal kanan
dan netralis meninggalkan pasukan-pasukan mereka bagaikan anak
ayam kehilangan induk.
Dan Amerika Serika yang tadinya merupakan Godfather bagi
lawan-lawan komunis itu, sejak terbentuknya kabinet koalisi 5
April 1974 tidak lagi berniat campur tangan sebagai yang dulu
dilakukannya, antara lain lewat opersi CIA. Akhirnya, bahkan
kantor-kantor milik Amerika di Laos pun jadi sasaran demonstrasi
massa yang jelas digerakkan oleh Pathet Lao. Dan demonstrasi
macam ini pulalah yang memulai tindakan pembubaran kabinet
koalisi serta pemakzulan Raja Savang Vattan awal bulan ini.
"Kabinet koalisi dibubarkan. Lantaran telah selesai tugasnya
menciptakan kerukunan nasional", kata seorang jurubicara Pathet
Lao di Vientiane tanggal 1 Desember yang silam. "Kabinet itu
dibubrkan atas permintaan para pekerja, buruh pegawai dan
tentara", kata Pejabat Menlu Laos, Phoune Sipraseuth, Senin pe
kan silam.
Tidak berselang lama, kerajaan Juga berubah bentuk jadi Republik
Demokrasi Rakyat Laos. Orang Pathet Lao menyebut peristiwa itu
sebagai "kemauan ikhlas sang raja". Tapi keluarga istana yang
kemudian berbondong-bondong mengungsi ke Muangthai membantah
berita tersebut. Bersamaan dengan pembubaran kabinet koalisi,
istana di Luang Prabang juga dikepung oleh pasukan kiri. Ketua
Dewan Revolusi Rakyat Laos, Thao Kraisorn kemudian berhasil
meyakinkan Savang Vattana betapa tidak mungkinnya ia terus
mempertahankan kedudukannya sebagai raja. Melihat gelagat gawat
seperti ini, raja yang berumur 78 tahun dan duduk di istana
tanpa mahkota ("tidak pantas memakai mahkota sebelum negeri
aman", katanya) sejak tahun 1960, dengan segera mendesak
keluarganya untuk mengungsi. "Ayah saya menyuruh kami pergi. Ia
sendiri akan tetap tinggal di Laos lantaran usianya yang teramat
tua", kata Chaiwawan, salah seorang puteri Raja Vattana yang
mengungsi ke Muangthai.
Darah Biru
Pengungsian akibat makin berkuasanya Pathet Lao ini sebenarnya
sudah berlangsung lama. Orang-orang Meo-yang pernah dipakai oleh
CIA sebagai tentara sewaan--kini merupakan jumlah terbesar dari
pengungsi itu. Hidup mereka amat sulit: di tanah-air
dikejar-kejar, di tempat penampungan di Muangthai, fasilitas
serba kurang. Akibatnya adalah pendentaan yang menyedihkan dan
jumlah kematian kanak-kanak yan meningkat. Dengan berakhirnya
kerajaan Laos, arus baru pengungsi ke Muangthai adalah mereka
yang "berdarah biru".
Tidak semua yang berdarah biru mengalami kesukaran di Laos,
tentu saja. Ini terbukti dengan naiknya Pan ran Souvannavong
sebagai Presiden Pertama Republik Demokrasi Rakyat Laos,
sementara bekas PM kabinet koalisi, Souvanna Phouma cuma
menjabat penasehat pemerintah. Yang terakhir ini sudah jelas
basa-basi, sementara yang pertama sudah terang hanya figur vang
dikendalikan oleh Komunis Laos yang amat dipengaruhi Hanoi.
Kaysone Phomvihan (Perdana Menteri) dan Nouhak Phonsavan
(Menteri Keuangan) adalah dua tokoh yang sejak kecilnya
mempunyai ikatan yang mesra dengan Vietnam.
Raja Vattana sendiri kabarnya kini mengasingkan din di sebuah
kebun jeruk di luar istana, sementara Phouma yang sakit jantung
itu tidak banyak terdengar. Yang nampak amat sibuk adalah
Muangthai yang terpisah dari Laos hanya oleh sungai Mekong. Bah
kan sebelum, jatuhnya Luang Prabang ke tangan Komunis,
pertempuran sudah sering terjadi di sungai itu. Kini Laos
seluruhnya di tangan merah, dan PM Kukrit bensaha untuk tidak
kelihatan gugup di tepi sungai Mekong pertengahan pekan silam.
"Kalau pemerintah republik di seberang itu mau berbaikan dengan
kita, tentu kita terima", begitu ia berkata di Nong Kai. Tapi
hubungan yang terlalu akrab antara Viantiane dengan Hanoi
menempatkan Bangkok dalam posisi yang kurang penting. Sebab toh
Laos - yang dulu tergantung pada hubungan lewat sungai
Mekong--kini dengan leluasa bisa menerima suplai lewat seluruh
pelabuhan Vietnam. Ketika hubungan Muangthai dengan Vietnam
Utara masih buruk, kartu di tangan Bangkok gugur pula awal bulan
ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini