Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Supaya Tak Lari Lagi

Perkembangan perjanjian ekstradisi di pelbagai negara. Indonesia dicanangkan akan mempunyai sebuah undang-undang ekstradisi nasional menggantikan beslit kerajaan.

13 Desember 1975 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INGAT Adolf Eichmann? Ia seorang petinggi Jerman Nazi, yang 14 tahun yang lalu telah dihukum oleh pengadilan Distrik Jerusalem. Setahun kemudian Mahkamah Agung Israel menguatkan putusan pertama. Eichmann, yang kala itu berada di dan sudah jadi warganegara Argentina, tidak diserahkan Argentina (kepada Israel) atas dasar perjanjian ekstradisi. Adolf yang Eichmann diculik oleh sekelompok pemuda Yahudi militan. Westerling, yang lari ke Singapura tahun 1950, pernah dimintakan ekstradisi oleh Indonesia. Rupanya negara peminta ingat akan adanya perjanjian ekstradisi antara Inggris dan Belanda, pada saat Nusantara masih bernma Hindia-Belanda. Atas dasar pasal II Aturan Peralihan UUD 45, Indonesia menganggap Perjanjian itu tetap berlaku antara Indonesia--sebagai penerus Hindia Belanda--dan Inggeris. Pemerintah Singapura, waktu itu jajahan Inggeris, menolak keberlakuan perjanjian tersebut. Ekstradisi ditolak. Westerling terus kembali ke negerinya. Untung saja, ia tak sempat mengalami nasib penculikan seperti halnya Eichmann, walaupun ia dituduh keras melakukan pembantaian terhadap rakyat Indonesia di Sulawesi Selatan. Belum Pecah Kabar Penyerahan penjahat primer dilakukan lewat perjanjian bilateral. Ia merupakan acara tersendiri hubungan antar bangsa. Bagaikan jembatan emas ia menghubungkan antara dua negara dalam mengusahakan atau menciduk pelaku-pelaku kejahatan, yang akibat kemajuan teknologi dapat berlenggang-kangkung dari satu tempat ke tempat yang lain. Dalam perkara Factor v. Laubenheimer, 1933, ditunjukkan bahwa prinsip hukum internasional tak mengenal acara penyerahan yang terpisah dari perjanjian Pandangan umum di AS bahkan sampai mengatakan, tak ada kekuasaan yang dapat menyerahkan penjahat ke negeri lain tanpa adanya perjanjian (walaupun tentu ada kekecualian). Kalaupun dulu-dulunya ada negara yang menyerahkan seorang penjahat, maka itu hanya merupakan kewajiban moral saja. Jembatan emas pertama telah dibangun Indonesia dan Malaysia. Indonesia malah sudah mengundangkan perjanjian itu, disebut sebagai Undang-Undang Nomor 9 tahun 1974. Sekarang sedang direka perjanjian serupa oleh Indonesia dan Pilipina, dan baru bulan lalu para Ketua Delegasi Indonesia dan Muangthai memarap kesepakatan mengenai hal sejenis. Dengan Singapura? Belum pecah kabar, biar sudah ada kasus Westerling, biar arus interaksi antara kedua negara berseberangan itu tidak tanggung-tanggung. Bob Liem Di luar rentang ASEAN, kabarnya Australia juga sudah didekati. Maklumlah Indonesia toh titian antara benua atas dan benua bawah. Terbunuhnya kapten kapal Waikelo di pelabuhan Hongkong beberapa tahun lalu, plus mengganasnya pembunuh Bob Liem di tempat yang sama, agaknya cukup mengalihkan perhatian orang pada Hongkong - artinya pada Inggeris. Pada kasus pertama si tersangka diserahkan kepada pemerintah Indonesia lewat proses deportasi alias pengusiran. Dalam hal Bob Liem harus diakui usaha Polri via Interpol (namun organisasi kepolisian internasional itu, gagal mendekati pemerintah Austria untuk menyelesaikan penyerahan Tan Tjong Hoa, yang dituduh terlibat dalam manipulasi bank). Sementara itu? seperti dikatakan Letnan Kolonel Sidarto, Kepala Dinas Penerangan MABAK, kepada TEMPO dua pekan lalu, yang dapat dilakukan fihak kepolisian hanyalah pendekatan-pendekatan saja. "Resminya memang denganperjanjian ekstradisi itu", tambahnya. Sebagai perjanjian, apa mengapanya terserah pada dua fihak yang punya urusan. Tak ada peraturan hukum internasional universil yang mendikte mereka. Umumnya negara-negara menyerahkan kebijaksanaan tersebut pada pemerintah mereka masing-masing. Namun tak semuanya puas dengan kebijaksanaan eksekutif tersebut. Lalu adalah undang-undang ekstradisi nasional. Tugasnya menjadi kompas bagi pemerintah yang bersangkutan untuk melihat kejahatan-kejahatan apa saja yang bisa ditawarkannya kepada sebuah negara lain dalam perundingan ekstradisi. Belgia di tahun 1833, pertama sekali mempunyai perundangan ekstradisi lokal. Tahun 170 Inggeris mengikuti. Saat itu, selama bertahun-tahun publik Inggeris anti perjanjian ekstradisi, sebab hal itu merupakan musuh besar terhadap kebebasan manusia perorangan, dan juga terhadap kewenangan sebuah negara untuk memberikan suaka kepada pelarian politik. Indonesia dicanangkan akan mempunyai sebuah undang-undang ekstradisi nasional. Bersamaan dengan pengajuan tiga Rancangan UU lain dua pekan lalu (tentang Narkotik, Kejahatan dalam Penerbangan serta Perubahan Undang-Undang Kewarganegaraan), RUU Ekstradisi diniatkan menggantikan kedudukan Beslit Kerajaan tentang Penyerahan Orang-Orang Asing 1883. Tanpa Sais Biar belum ada perundangan lokal, dalam hal berjanji pasal ekstradisi dengan negara lain, Indonesia tidak lalu bagai sado tanpa sais. Negara itu mengikatkan dirinya pada "azas-azas umum yang sudah diakui dan biasa dilakukan dalam hukum internasional mengenai ekstradisi", seperti terbaca dalam Penjelasan Undang-Undang Pengesahan Perjanjian ekstradisi dengan Malaysia di atas. Antaranya, pertama disebut azas kriminalitas ganda (double criminality): bahwa jenis kejahatan yang bersangkutan haruslah merupakan tindak pidana, baik menurut sistim hukum Indonesia maupun Malaysia. Namun begitu. sekali Mahkamah Agung AS, dalam menafsirkan perjanjian ekstradisi dengan Inggeris, berpendapat bahwa tindakan yang dilakukan tertuduh adalah kejahatan yang dapat diekstradisi, walaupun perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana menurut hukum negara bagian minuis, di mana tertuduh ditemui. Demikian kasus Factor v. Laubenheimer di atas. Kedua, azas bahwa pelaku kejahatan politik tidak akan diserahkan. Ini prinsip baru. Sebab sebelum 1830, penjahat politik ada juga yang diekstradisi. Tapi khalayak waktu itu mulai memprotes tindakan semacam itu. Inggeris adalah kampiun penentangnya. Mudah saja, kejahatan politik, punya hakikat yang lain, tapi dalam, ketimbang kejahatan cabut nyawa orang, misalnya. Lagipula apa itu kejahatan politik? Ada yang membedakan antara kejahatan politik murni (seperti pengkhianatan atau penghasutan) dan kejahatan politik nisbi (pembunuhan sebagai akibat pemberontakan), walaupun kedua jenis itu galibnya dikecualikan dari perjanjian ekstradisi. Pada kategori pertama, ada tekanan pengertian pada perlawanan terbuka untuk menggaet kekuasaan, sehingga masalahnya, bak kata Hakim Denman dalam kasus Re Castioni, 1891, "apakah berdasarkan fakta-fakta, telah jelas bahwa orang itu yang bertindak sebagai satu dari sekelompok orang terlibat dalam tindakan kekerasan yang mempunyai sifat politik dengan sebuah tujuan politik, dan sebagai bagian dari gerakan politik". Sebuah kasus agak baru, Ex parte Kolekzynski, 1955, menunjukkan bahwa ekstradisi ditolak karena adanya konflik ideologi yang kencang. Pelaut-pelaut Polandia telah menggagahi kapten sebuah kapal Polandia, dan membawa kapal itu ke pelabuhan Inggeris untuk kemudian meminta suaka di sana. Permintaan ekstradisi dari Polandia ditolak Inggeris, karena pelaut-pelaut itu akan dihukum untuk pelanggaran politik, jika mereka kembali ke negerinya. Dalam pada itu pencabutan nyawa kepala negara atau anggota familinya, umumnya tidak dimasukkan dalam jenis kejahatan politik. Perjanjian ekstradisi Indonesia-Malaysia mencantumkan pandangan demikian (pasal 3 ayat 2). Juga dalam konsep akhir perjanjian ekstradisi dengan Pilipina. Lalu ketiga, azas untuk tidak menyerahkan warganegara sendiri. Banyak negara sependapat dengan azas ini, bahkan ada pula yang mencantumkan dalam konstitusi mereka. Akan halnya Inggeris, sebaliknya, di tahun 1879 telah menyerahkan seorang WN-nya kepada Austria, dimana kemudian ia digantung. Orang tersebut terbang ke Inggeris, setelah baru saja membunuh bininya di Tyrol. Sedang pada hemat AS, kata "persons" juga mencakup WN dari negara yang diminta untuk mengekstradisi, kecuali bila hal sebaliknya dikatakan terus terang. Dari itu, tatkala di tahun 1910, Italia meminta diserahkannya Charlton - seorang WN AS--dari negeri Paman Sam itu--sebab ia terlibat pembunuhan di Italia--pemerintah AS mengabulkannya. Mahkamah Agung kemudian menyokong sikap eksekutif ini - begitu tutur perkara Charlton v. Kelly, 19 12. Atau Pare-Pare Teringat kembali pada Adolf yang Eichmann, ada sarjana yang menilai bahwa dari waktu ke waktu, penculikan, pengusiran dan lain-lain upaya telah menggantikan kedudukan perjanjian ekstradisi. Praktek di AS, misalnya mempertontonkan bahwa seseorang yang dibawa kembali dengan kekerasan atau tipu muslihat, kemudian ditahan di AS, dapat diadili tanpa mempersoalkan cara orang itu dibawa masuk ke negara pengadil. Maka dalam Ker v. Illinois, 1886 Mahkamah Agung sana menolak eksepsi bahwa pengadilan itu tidak punya yurisdiksi karena hadirnya tertuduh disebabkan ia diculik. Pembela Eichmann pun sempat bersuara hampir senada. Pemeriksaan terhadap pembantai orang-orang Yahudi itu, di Israel dan setelah penculikannya dari luar negeri, katanya bertentangan dengan hukum internasional dan melampaui batas yurisdiksi badan peradilan Israel. Mahkamah menjawab, dalam menilai kejahatan terhadap hukum sesuatu negara, baik pengadilan di AS, Inggeris maupun Israel telah menganut prinsip hukum yang mapan: bahwa kodisi penahanan serta cara membawa kembali si tertuduh masuk ke dalam negara yang hukumnya dilanggar, tidak relevan dengan pokok perkara yang dituduhkan kepadanya. Dan pengadilan di negara-negara itu, kata Mahkamah lagi, telah secara konsisten menolak memeriksa kondisi-kondisi tersebut. Dan Westerling, bagaimana kalau ia diculik, dulu, atau sekarang? Bapak Hakim Ketua di Jakarta Pusat atau Pare-Pare mungkin akan berpidato seperti hakim-hakim Israel di atas. Kepuasan yuridis barangkali terteguk juga. Konsekwensi diplomatik sebaliknya, dapat pula menyusul. Argentina dalam peristiwa Eichmann, sempat menyampaikan protes ke Dewan Keamanan PBB berhubung penculikan warganegaranya itu. Sambil menyatakan tiada maaf bagi kejahatan terhadap umat manusia itu, Argentina mengingatkan, perbuatan yang mempengaruhi kedaulatan suatu negara anggota PBB, bila diulang akan membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. Namun negara Amerika Latin itu tidak meminta dipulangkannya Eichmann. Barangkali berfikir: buat apa, sih?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus