Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBANYAK 20-an orang berbaris di depan kantin di area parkir Rumah Sakit Premier Jatinegara, Jakarta Timur, Selasa siang empat pekan lalu. Berkemeja rapi, hampir semuanya menyandang tas. Tepat pukul 13.00, seorang personel satpam berseragam safari membagikan kartu pengunjung. Tanpa komando, mereka menyebar ke penjuru rumah sakit, lalu antre di ruang tunggu untuk bisa bertemu dengan dokter.
Mereka bukan pasien, melainkan medical representative, biasa disingkat medrep. Semua perusahaan farmasi memilikinya. Namun Sukendar dari Bagian Humas Premier Jatinegara enggan berbicara tentang aktivitas para medrep di rumah sakitnya. "Saya belum bisa berkomentar," katanya kepada Tempo.
Medrep memang ujung tombak perusahaan farmasi. Mereka ikut menentukan nasib penjualan obat. Head External Communication PT Kalbe Farma Hari Nugroho mengatakan medrep mengenalkan obat produksi Kalbe kepada dokter, terutama obat-obatan yang memerlukan resep. "Di Indonesia, kami memiliki sedikitnya 5.000 medrep dan karyawan marketing," katanya Senin dua pekan lalu.
Yang menjadi masalah, menurut Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Zaenal Abidin dan Direktur Utama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Soejono, medrep kerap memberikan komisi dan berbagai gratifikasi untuk dokter. Itu dilakukan agar dokter meresepkan obat-obatan tertentu.
"Istilahnya, tak ada makan siang gratis," kata Ketua Formularium Nasional, penyusun daftar obat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, Iwan Dwi Prahasto, bulan lalu. Akibatnya, pasien sering mendapatkan obat yang tak perlu dan harga obat melambung. Menurut dia, medrep memperantarai "perselingkuhan" perusahaan farmasi dengan dokter dan rumah sakit.
SEBAGAIMANA umumnya sales, medrep menerima persentase dari produk yang dapat mereka jual. Besar-kecilnya penghasilan mereka bergantung pada kesepakatan yang telah mereka buat dengan dokter ataupun rumah sakit.
Bagong Purwanto, medrep perusahaan farmasi di Jakarta yang kini bermerger dengan perusahaan asing, bercerita, sebelum bertugas, dia mendapat pelatihan selama sebulan. Selain materi product knowledge, dia menjalani simulasi berhadapan dengan dokter. Berbagai teknik negosiasi diajarkan agar dokter bersedia meresepkan obat yang mereka tawarkan.
Hampir semua perusahaan farmasi menyelenggarakan pelatihan khusus untuk medrep. Tempo mendapatkan modul pelatihan milik PT Interbat di Sidoarjo, Jawa Timur. Misalnya, disebutkan medrep harus mencari tahu lebih dulu obat yang paling banyak diresepkan dokter dengan mendatangi apotek di sekitar tempat praktek si dokter. "Gunanya untuk mengetahui target dokter kompetitor yang akan kita rebut," demikian tertulis dalam modul itu.
Urusan merebut dokter itu, menurut modul tersebut, harus berujung pada kesepakatan antara medrep dan dokter mengenai jenis dan jumlah obat yang akan diresepkan setiap hari. Mereka juga perlu sependapat soal apotek yang bakal dipantau dan, yang tak kalah penting, nilai ungkapan terima kasih bagi dokter.
Pengacara Interbat, Pieter Talaway, menyangkal perihal modul dan dugaan komisi untuk dokter tersebut. "Itu karangan saja. Saya yakin tidak ada," katanya ketika ditemui di Surabaya, Jumat dua pekan lalu.
Head External Communication Kalbe Farma Hari Nugroho dan Corporate Communication Dexa Medica Karyanto, yang diwawancarai terpisah, juga membantah. Mereka menegaskan bahwa perusahaannya hanya menjalin kerja sama dengan para dokter melalui program simposium dan seminar. "Biayanya ratusan juta, tapi tak sampai Rp 1 miliar," kata Hari.
Sanggahan juga disampaikan oleh Parulian Simanjuntak, Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturer Group—asosiasi perusahaan farmasi asing di Indonesia. Dia mengatakan perusahaan farmasi asing menerapkan aturan ketat tentang hubungan dengan dokter. Mereka bahkan dilarang mengirim bunga tanda dukacita jika keluarga dokter meninggal. "Kalau dokternya meninggal, baru boleh mengirim bunga," ujarnya.
Bertolak belakang dengan pernyataan pengusaha farmasi, banyak medrep yang ditemui Tempo sepanjang bulan lalu malah sukarela bercerita tentang cara-cara menyervis dokter. Cuma, mereka menolak menyebut nama perusahaannya. Widodo, yang bekerja untuk sebuah perusahaan farmasi di Jawa Timur, bertutur pernah membelikan mobil untuk tiga dokter di Semarang. "Kijang Innova, Toyota Yaris, dan Honda CR-V. Semua atas izin kantor pusat," ujarnya.
Tak melulu memperoleh duit atau barang, para dokter kerap mendapat layanan lain. Bahdi Murtazar, medrep perusahaan farmasi terkenal yang bermarkas di Cimahi, Jawa Barat, mengatakan suatu ketika seorang dokter minta dibelikan batu giok asal Aceh. Atau, seperti yang tertera dalam dokumen Interbat yang diperoleh Tempo, ada dokter yang dibiayai jalan-jalan ke luar negeri dan nonton balapan Formula 1 pada 2013.
Direktur Utama RSCM Soejono mengatakan ada juga medrep yang suka menawarkan servis tak senonoh. Saat mengikuti sebuah seminar di luar kota, dia pernah ditawari "teman wanita". "Saya tolak dan langsung menegur medrep tersebut," ujarnya. Tapi ada dokter yang malah memintanya. Kelik Suhendri, bekas medrep perusahaan farmasi di Jawa Timur, mengaku sempat mengantarkan delapan dokter spesialis ke lokasi prostitusi di wilayah Mangga Besar, Jakarta. "Setelah mereka selesai pijat, saya disuruh membayar," ujarnya.
Sebaliknya, gratifikasi yang sifatnya religius pun tak sedikit. Kelik, misalnya, mengatakan beberapa kali membiayai dokter naik haji atau umrah. Sekali waktu seorang dokter spesialis anak memintanya mengurus perayaan ulang tahun bersama anak-anak panti asuhan. Tentu saja tak sekadar mengurus, besek dan amplop berisi uang Rp 50 ribu untuk sekitar 50 anak disediakan oleh perusahaannya.
Seorang petinggi perusahaan farmasi lokal di Jakarta mengatakan, selain mendekati dokter secara personal, mereka melobi ikatan dokter spesialis. Dia memberi contoh, perusahaannya menjalin komitmen dengan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Ada produk tertentu yang sebagian hasil penjualannya masuk kas IDAI, dengan syarat organisasi tersebut merekomendasikan produk mereka.
Soemaryono, dokter spesialis anak di Rumah Sakit Premier Surabaya, membenarkan informasi itu. Menurut dia, Koperasi Anak Mandiri Sejahtera yang didirikan IDAI memang sering merekomendasikan produk tertentu yang sudah bekerja sama dengan koperasi.
Tapi Ketua IDAI Aman Bhakti Pulungan berkeras tak ada aturan ataupun etik yang mereka langgar. Alasan dia, meski didirikan oleh IDAI, Koperasi Anak Mandiri Sejahtera berada di luar struktur organisasi mereka. Sedangkan IDAI, kata dia, "Kalaupun ada kerja sama, sifatnya ilmiah. Dan kami punya kode etik."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo