Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MATA Ari Usman menerawang ketika menceritakan masa tergelap dalam hidupnya sembilan tahun lalu: mendekam di balik jeruji penjara Perth, Australia, selama hampir tiga tahun. Kalimatnya patah-patah. Sesekali ia menyedot rokok dalam-dalam dan mengembuskan asapnya agak keras. "Sudah lama sekali, jadi lupa-lupa ingat," kata laki-laki 26 tahun ini di rumahnya di Dusun Oelaba, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syahdan, suatu malam pertengahan 2009, datang ke desanya seorang laki-laki menunggang kapal kayu besar berbobot 50 gross tonnage. Kapal itu menghampiri sampan kecil yang dipakai Usman memancing di perairan dekat rumahnya. Ombak yang dibawa kapal besar itu menerjang sampan Usman hingga oleng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari buritan, orang itu muncul dan mengajak Usman naik ke kapalnya. Dari logatnya, Usman menebak ia dari Makassar. Di dek kapal, laki-laki ini langsung masuk ke pokok soal: ia mengajak Usman berlayar ke Pulau Ashmore, gugusan karang yang menjadi perbatasan perairan Indonesia dan Australia. "Upahnya Rp 25 juta," kata Usman, menirukan ucapan orang tersebut.
Usman sempat ragu, tapi uang besar itu lebih menariknya sehingga ia memutuskan menerima tawaran tersebut. Tanpa sempat pulang ke rumah, meninggalkan sampan kecilnya di tengah laut, Usman masuk ke kapal. Di sana berkumpul sejumlah penumpang yang mengobrol dengan bahasa yang tak ia pahami.
Dari orang Makassar yang rupanya menjadi kapten kapal itu, Usman tahu mereka berasal dari negara-negara Timur Tengah yang sedang dilanda perang. Karena amat lelah dan tak berani bertanya lebih banyak, waktu itu ia masih 17 tahun, Usman tidur di dek. Ia terbangun beberapa jam kemudian, setelah matahari agak naik.
Kapal kayu itu terombang-ambing di tengah Samudra Hindia. "Untung cuaca cerah," ujar Usman. Saat masuk ke ruang kemudi, ia tak melihat ada yang mengemudikan kapal. Hanya ada tiga anak lain asal Indonesia yang sedang dikerumuni orang-orang Timur Tengah itu. Di antara mereka, tak ada orang Makassar yang mengajaknya naik ke kapal malam sebelumnya.
Ia raib. Tak satu pun penghuni kapal tahu nasibnya. Usman segera membuat keputusan. Ia mengambil alih kemudi kapal kayu itu. Meski masih remaja, ia terbiasa mengemudikan kapal layar. Yang membuatnya kagok adalah kapal yang ia kemudikan kini bertenaga mesin. Tapi, hanya dengan beberapa kali penyesuaian, Usman sudah bisa mengendalikannya.
Rupanya, orang-orang Timur Tengah itu tak peduli terhadap kapten kapal yang hilang. Mereka berdiri di belakang Usman sambil memegang kompas. Ia memerintahkan Usman terus mengarahkan kemudi ke tenggara, ke arah gugusan karang Pulau Ashmore. "Kalau arah kapal sedikit meleset, mereka marah-marah," tuturnya.
Tak tahu tujuan kapal dan maksud orang-orang ini, Usman pasrah di balik kemudi. Tiga anak Indonesia lain juga tak berani mendekatinya, apalagi mengajaknya mengobrol. Usman bahkan belum berkenalan, apatah lagi tahu nama dan asal mereka.
Ketika ia sedang tegang mengemudikan kapal, lamat-lamat terlihat kapal besar lain mendekat ke arahnya. Semula ia mengira, dari bendera yang berkibar di deknya, itu kapal dagang dari Australia yang hendak masuk ke Indonesia. Kapal besar itu terus mendekat, memotong jalur yang akan ia lalui. Di dek kapal terlihat orang-orang berdiri, mengokang senjata, lalu menodongkannya ke arah kapal mereka.
Kapal itu rupanya milik Angkatan Laut Australia. Para tentara mencium pergerakan kapal kayu yang dikemudikan Usman dan menghadangnya. Mereka masuk ke kapal dan menangkap semua orang yang ada di sana, termasuk Usman dan tiga anak buah kapal lain. Ketika mereka digiring ke kapal besar itu, Usman makin yakin orang Makassar yang mengajaknya semalam memang sudah raib. Setelah semua penumpang naik ke kapal besi itu, para tentara membakar kapal kayu tersebut.
Para tentara membawa penumpang kapal itu ke Pulau Christmas, sekitar tiga jam dari lokasi penangkapan. Di sini ada kantor imigrasi Australia. Satu per satu penumpang diperiksa soal dokumen diri, usia, dan asal negara. Usman, tentu saja, tak membawa apa-apa. Para petugas bertanya dalam bahasa Inggris, bahasa yang sama sekali tak ia pahami. Remaja yang tak pernah bersekolah ini manut saja ketika digiring ke dalam sel.
Imigrasi menahannya dengan tuduhan menjadi penyelundup imigran gelap. Usman mengetahui lamat-lamat tuduhan ini setelah mengobrol dengan sesama tahanan, terutama tiga anak buah kapal lain. Di situ Usman tahu bahwa para remaja seumurannya itu direkrut orang Makassar yang mengajaknya dengan cara serupa di Alor, kabupaten lain di NTT. "Di sini kami ditahan selama dua bulan," ucapnya.
Setelah itu, seperti tercatat dalam dokumen penangkapannya, Usman dipindahkan ke Perth, ke penjara yang lebih besar di daratan utama Australia. Rupanya, hakim sudah memutuskan bahwa Usman bersalah dengan vonis tiga tahun penjara. Pemeriksaan sinar-X oleh dokter di kantor imigrasi Christmas menyebutkan usia Usman telah lebih dari 18 tahun, sehingga ia masuk penjara bersama narapidana dewasa lain.
Usman hanya menjalani hukuman 2 tahun 9 bulan. Ia kemudian dibebaskan dan pulang ke NTT, melalui Bali dan Kupang, dengan pesawat. Sampai di Bali, ia ditemani petugas imigrasi Australia, lalu dijemput dan didampingi staf Kementerian Luar Negeri Indonesia hingga tiba di Rote Ndao. Ia kini kembali menjadi nelayan sembari menunggu peradilan atas gugatannya terhadap pemerintah Australia tentang kesalahan memasukkannya bersama tahanan dewasa. "Saya kapok, tak akan lagi ikut kapal menyelundupkan imigran," katanya.
Dalam catatan pemerintah Australia, Usman adalah satu di antara 274 anak buah kapal yang ditangkap polisi di perairan Australia pada 2008-2013 ketika mereka hendak menyelundupkan imigran gelap dari negara-negara berkonflik. Usman didakwa hendak menyelundupkan 80 imigran gelap asal Irak dan Afganistan. Dibantu kantor pengacara Lisa Hiariej, Usman menuntut ganti rugi Rp 50 miliargugatan kompensasi terbesar dibanding 55 anak lain yang menggugat hal sama.
Selama 2008-2013, para imigran dari pelbagai negara yang tengah berkonflik datang ke Indonesia untuk menyeberang ke Australia. Mereka menghubungi para pemilik kapal untuk dilayarkan ke sana. Pucuk dicita ulam tiba. Para pemilik kapal melihat peluang bisnis besar dalam permintaan itu. Mereka mematok biaya US$ 12 ribu atau sekitar Rp 145 juta per kepala untuk ongkos kapal.
Pemilik kapal umumnya orang Makassar, titik kumpul kebanyakan imigran. Mereka lalu mencari kapten dan anak buah kapal ke pulau-pulau kecil di perairan selatan, seperti Pelabuhan Ratu di Sukabumi, Jawa Barat, hingga Rote di NTT. Di antaranya Baco Ali, penduduk Oelaba lain yang bernasib sama seperti Ari Usman.
Ia juga tengah memancing ketika diminta naik ke kapal besar pada suatu malam 2012. Usianya ketika itu 14 tahun. Dari Rote, Baco dibawa lebih dulu ke Makassar, lalu kembali ke Rote membawa para imigran. Kapten yang merekrutnya juga menghilang di lautan ketika ia tengah tidur. "Dia kasih kami obat tidur," tuturnya. "Katanya supaya tidur kami nyenyak."
Baco dibebaskan di imigrasi Pulau Christmas karena petugas mengakui usianya masih di bawah 18 tahun. Uang Rp 3 juta pemberian 79 imigran asal Irak yang awalnya dirampas petugas dikembalikan karena ia menyatakan tak akan pulang ke Rote tanpa membawa uang itu. Petugas imigrasi menerbangkannya dengan pesawat dari Darwin ke Denpasar, lalu ke Kupang.
Para perekrut anak buah kapal yang menjadi kapten itu bekerja lumayan rapi. Muhammad Yamin Tong adalah kapten kapal yang menyelundupkan imigran ke Australia pada Oktober 2010. Ia orang Papela, Rote Timur, NTT. Waktu itu ia berusia 29 tahun, sudah menikah, dan punya tiga anak, tapi kelimpungan karena hasil memancing ikan tak lagi bisa diandalkan.
Mengajak adiknya, Ade Neo Tong, yang masih 16 tahun dan baru lulus sekolah menengah pertama, Yamin berlayar ke Makassar. Setiba di pelabuhan, ia bertemu dengan seseorang yang menawarinya sebuah pekerjaan dengan upah sangat besar. Dari situ, Yamin dan Ade dibawa memakai mobil selama satu jam perjalanan ke sebuah rumah besar dua lantai untuk dipertemukan dengan pemilik pekerjaan. "Dia itu bosnya," ujarnya.
Yamin hanya tahu nama si bos itu "Haji" karena anak buahnya memanggil begitu. Ketika Tempo menunjukkan fotonya dalam pertemuan, Agustus lalu, Yamin membenarkan orang tersebut yang ia temui di Makassar. Haji itu tak lain Saiful Rahim alias Daeng Tara. Ia kini mendekam di penjara untuk menjalani vonis lima tahun karena menyelundupkan imigran gelap asal Nepal ke Australia pada November 2017.
Di rumah Daeng Tara, kata Yamin, ia dijamu lumayan mewah. Tiap jam, tuan rumah bertanya apakah ia dan adiknya sudah makan. "Hanya dua larangannya: jangan memegang telepon dan sandal tak boleh ditaruh di teras." Sekali waktu, Daeng Tara bertanya apakah Yamin punya pengalaman mengemudikan kapal yang mengangkut kambing. "Saya jawab bisa karena di kampung sini kambing lumayan banyak," ucapnya.
Daeng Tara tertawa mendengar jawaban Yamin. Menurut dia, kata Yamin, kambing yang dimaksud adalah para imigran Timur Tengah, yang tengah menunggu di pelabuhan Kendari, Sulawesi Tenggara. Mereka tiba dua malam sebelumnya dan minta diantar ke daratan Australia. Tara berjanji membayarnya Rp 30 juta untuk sekali perjalanan jika bersedia mengantarkan para imigran itu.
Ada 37 imigran dari Irak yang akan ia bawa dengan kapal kayu ke Australia. Yamin sempat menawar agar upahnya dinaikkan karena risiko yang ia bayangkan membawa imigran gelap ke negeri orang. Ia sudah tiga kali ditangkap polisi perairan Australia karena mencari ikan melewati perbatasan.
Yamin tak tahu berapa para imigran membayar Tara. Tapi Husein Ishak, kapten lain asal NTT yang direkrut Daeng Tara, mengatakan bosnya mematok US$ 12 ribu per kepala imigran. Harga itu ia dengar dari pengakuan seorang imigran asal Iran. "Saya cuma dijanjikan Rp 25 juta," kata Husein, yang tertangkap polisi Australia pada 2009. "Itu pun yang dibayar cuma Rp 10 juta."
Kapal Yamin berangkat dari Kendari. Sebelum mesin menyala, datang ke kapalnya dua orang yang mengaku petugas kepolisian serta Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara. Yamin menduga ketahuan membawa imigran gelap yang ia sembunyikan di bawah dek. "Rupanya, mereka komplotan," ujarnya. "Petugas itu datang membawa perbekalan dan mengawal kapal melewati imigrasi."
Yamin menyangkal jika disebut merekrut anak-anak Rote atau Alor menjadi anak buah kapal. Ia hanya bersama adiknya ketika ditangkap polisi perairan Australia dan dijebloskan ke penjara berpengamanan maksimum di Sydney dengan vonis tiga tahun. Seperti Ari Usman, Yamin kapok berurusan lagi dengan imigran.
Daeng Tara, sementara itu, menyangkal tudingan menjadi penyelundup imigran gelap, apalagi merekrut kapten dan anak buah kapal di bawah umur. "Saya ini cuma penjual kapal," katanya ketika ditemui di penjara Takalar, Sulawesi Selatan, Agustus lalu.
Jejaring Pengantar Kambing
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo