Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBERAPA puluh tahun yang lalu, saya membaca sebuah cerita yang aneh, ditulis dengan menyentuh dan menarik, berakhir dengan suram. Cerita tentang bayang-bayang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seseorang telah menerjemahkannya dari bahasa Denmark. Kemudian saya tahu dongeng ini, Skyggen, salah satu dongeng Hans Christian Andersen yang dilupakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panjangnya tak sampai 5.000 kata, tapi banyak isi yang ganjil yang merangsang pertanyaan.
Syahdan, seorang terpelajar, dan agaknya pintar, datang dari tanah dingin ke sebuah negeri yang panas terik. Matahari membuat jangat manusia sewarna mahogani—bahkan ada yang jadi Habsi. Si terpelajar pun tak bisa asyik berjalan-jalan di siang hari; ia lebih banyak tinggal dalam rumah, dengan tirai jendela diturunkan.
Tapi panas tetap menjerang dan ia menderita. Tubuhnya kian kurus kering, kulitnya mengisut. Bayang-bayangnya mengerdil. Hanya di waktu malam ia merasa hidup kembali—juga bayang-bayangnya, yang bahkan tampak menjulang tinggi bila kandil dinyalakan.
Di kota itu, semua tampil ceria hanya di waktu malam.
Kecuali satu rumah di gang sempit itu, yang terletak di seberang. Tak ada gerak. Tak ada bunyi. Tak ada sinar. Tapi di balkonnya kembang-kembang mengorak tumbuh. Artinya, pasti ada yang tiap hari menyiraminya. Bahkan, di malam hari, dari dalam rumah yang ganjil itu terdengar musik.
Tak ada yang tahu siapa yang memainkan lagu. Tak ada yang tahu siapa gerangan tinggal di sana. Dari hari ke hari hanya ada tanda tanya.
Sampai pada suatu malam, sang terpelajar dari utara itu terjaga dari tidur. Karena jendela kamarnya terbuka (ia ingin menikmati embusan angin), ia sempat melihat, sekilas: di balkon rumah seberang itu bunga-bunga tampak semarak, seakan-akan menyala. Dan, di tengahnya, berdiri seorang gadis, ramping, cantik.
Sang terpelajar pun meloncat dari tempat tidur, dan mengintip. Tapi di momen itu gadis itu raib, dan kembang-kembang meredup.
Di malam berikutnya, sang terpelajar duduk di balkon. Kandil menyala terang di belakangnya. Maka bayang-bayangnya muncul—panjang, bahkan sampai ke dinding rumah di seberang gang.
Sang terpelajar melihat, hanya bayang-bayangnya yang tampak pas di rumah itu. Diam-diam ia berharap, bayang-bayangnya akan masuk ke dalam rumah asing itu dan nanti, bila kembali, bisa menceritakan apa yang ia saksikan.
Katanya setengah melucu kepada si bayang-bayang: Teruslah masuk. Sehabis itu kembalilah. Dan ia mengangguk dan si bayang-bayang mengangguk.
Tapi tak ada laporan.
Bahkan esoknya, di saat sarapan, ia tak melihat bayang-bayangnya. Gumamnya, “Aku tak punya bayang-bayang lagi.”
Kesimpulannya: bayang-bayangnya patuh masuk ke rumah di seberang gang itu—tapi tak pulang. Juga ketika di malam harinya sang terpelajar menyalakan kandil, dan balkon terang benderang, tak ada bayang-bayang yang muncul. Tiap malam demikian. Pada akhirnya ada juga sebuah bayang-bayang baru yang mendampinginya, tapi kecil....
Dongeng Andersen hanya akan kocak andai berhenti di sini. Tapi cerita berlanjut, berujung murung, dan kita termangu.
Setelah sekian waktu tinggal di negeri terik, sang terpelajar pulang ke negerinya. Ia menulis buku tentang apa yang benar, yang baik, yang indah. Tapi ia melarat, kerempeng, hingga orang mengatakan, “Kau seperti bayang-bayang.”
Dan pada suatu senja, sesuatu terjadi: bayang-bayangnya yang dulu hilang muncul, berpakaian serba hitam, mentereng, dengan tubuh yang gemuk, dan angkuh.
Si bayang-bayang bercerita, di dalam rumah di seberang gang yang dulu dimasukinya, ia menyaksikan sang gadis, yang tak lain adalah “Puisi itu sendiri”. Ia memutuskan tinggal di sana serasa 3.000 tahun, dan melihat semuanya, mengetahui semuanya—dan ia berubah jadi manusia.
Sejak itu ia malu sebab tak berbusana sehelai pun. Ia hanya keluar di malam hari. “Aku lari naik dan turun… mengintip yang tak bisa diintip orang lain, melihat apa yang tak dapat dan tak seharusnya dilihat.”
Dengan pengetahuan itu, ia ditakuti. Orang memberinya gelar profesor, pakaian lengkap, mata uang emas, sebutan sebagai pria paling tampan. Kini ia bisa memandang rendah sang terpelajar yang hidupnya miskin dan hanya bisa menulis tentang dunia yang indah dan baik dan lurus. Ia terbukti lebih mampu dan berkuasa, juga untuk membalik posisi. Sang terpelajarlah yang akhirnya jadi bayang-bayangnya, yang mengikutinya ke mana saja—seraya digertak untuk tak membuka rahasia masa lalu.
Pada akhirnya si bayang-bayang menikah dengan seorang putri kerajaan. Ketika pesta besar dicanangkan, rahasia itu pun tertutup selamanya. Sang terpelajar, yang hanya menulis bahwa dunia baik, benar, dan indah, sudah dibinasakan.
Dongeng berakhir. Atau tidak. Kita bertanya terus: isyarat apakah yang diniatkan di sini? Bahwa pengetahuan bisa membebaskan, tapi juga menakutkan—sebuah kekuatan yang melanggengkan hubungan tuan-dan-hamba, meskipun peran berubah? Atau bahwa dunia adalah hipokrisi yang dilihat bayang-bayang: keji dan palsu?
Saya belum bisa menjawab. Saya masih menikmati cerita ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo