Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Keputusan Janggal di Pulau Reklamasi

Pemerintah DKI Jakarta memberi harga jual tanah pulau reklamasi terlalu murah. Nilai jual obyek pajak (NJOP) Rp 3,1 juta per meter persegi yang diberikan sebagai alas pengembang membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sangatlah janggal.

14 September 2017 | 01.00 WIB

Keputusan Janggal di Pulau Reklamasi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Pemerintah DKI Jakarta memberi harga jual tanah pulau reklamasi terlalu murah. Nilai jual obyek pajak (NJOP) Rp 3,1 juta per meter persegi yang diberikan sebagai alas pengembang membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sangatlah janggal.

Bandingkan dengan peruntukan di kawasan hunian eksklusif dan komersial yang ada di bibir pantai lainnya. Juga lahan hasil reklamasi. NJOP di kawasan Pantai Indah Kapuk milik pengembang yang sama, Agung Sedayu, misalnya, berkisar Rp 10-16 juta per meter persegi. Sedikit ke arah timur, menjorok ke arah laut dari urukan reklamasi, yakni Jalan Pantai Mutiara, Pluit, nilainya Rp 18-20 juta per meter persegi.

DKI beralasan pulau reklamasi saat ini masih kosong. Alasan itu bisa ditangkis lewat isi penjelasan Pasal 1 Undang-Undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Satu di antara tiga cara menentukan NJOP yang tidak ada transaksi sebelumnya adalah menyontek wilayah di dekatnya dengan peruntukan yang sama.

Dalam rancangan perda tata ruang pulau reklamasi, peruntukan pulau yang diuruk PT Kapuk Naga Indah itu sudah jelas. Pengembang akan menjual hampir separuh tanah pulau tersebut untuk tujuan komersial, yakni perumahan, bisnis, dan lapangan golf 27 hole. Coba tengok pemasaran yang sudah dilakukan oleh anak usaha kelompok Agung Sedayu itu di situs web-nya, www.golfisland-pik.com.

Pulau seluas 312 hektare itu pun saat ini tidak kosong-kosong amat. Beberapa kali Tempo ke pulau itu, dikuatkan hasil perbandingan citra foto satelit, terlihat sejumlah bangunan dan fasilitas yang terus dibangun. Bahkan pembangunan berlangsung ketika masih berlaku sanksi moratorium dan raperda tata ruang yang belum rampung dibahas.

Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat harus transparan tentang proses penetapan NJOP hingga sertifikasi tanah pulau reklamasi ini. Pemerintah DKI tidak boleh didikte oleh pengembang. NJOP sebesar Rp 3,1 juta ini diduga kuat sudah lama dirancang pengembang.

Dalam berita acara pemeriksaan Sugianto Kusuma alias Aguan di KPK atas tersangka suap reklamasi Mohamad Sanusi pada April tahun lalu, nilai tersebut sudah disebutkan bos Agung Sedayu itu. Aguan membenarkan berkomunikasi dengan Ketua DPRD Prasetyo Edi untuk meminta penetapan NJOP sebesar Rp 3 juta.

Indikasi lain bahwa penetapan NJOP didikte pengembang adalah pembayaran BPHTB senilai lebih dari Rp 400 miliar langsung dilakukan keesokan harinya. Angka itu berasal dari rumus 5 persen dari NJOP. Pada hari yang sama juga sudah terbit sertifikat hak guna bangunan untuk pengembang.

Berbagai kejanggalan sudah cukup menjadi alasan untuk melibatkan KPK dalam urusan pulau reklamasi tersebut. Sudah sepantasnya KPK menelisik proses yang serba kilat dan janggal itu. Pulau reklamasi mungkin sulit dibatalkan, termasuk oleh Gubernur Jakarta yang baru. Tapi pemerintah Jakarta, sebagai pemilik hak kelola, harus bisa menunjukkan kuasanya demi kepentingan rakyat Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus