Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Hasil perundingan antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia tidak boleh membuat kita cepat berpuas diri. Meski Freeport bersedia melaksanakan kewajiban divestasi, penguasaan 51 persen saham perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu nyatanya tidak mudah dijalankan.
Salah satunya terbentur valuasi harga saham, yang hingga kini belum mencapai titik temu. Pemerintah menaksir nilai 10,64 persen saham yang ditawarkan Freeport tahun lalu sekitar US$ 630 juta- Rp 1,1 miliar. Sedangkan Freeport mematok harga US$ 1,7 miliar atau Rp 22,1 triliun. Masalahnya, Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara tidak mengatur secara rinci valuasi harga divestasi saham pertambangan.
Dari sisi pendanaan, pembelian saham Freeport juga membutuhkan modal besar. Saat ini kepemilikan saham pemerintah di Freeport hanya 9,36 persen. Untuk mengambil alih 41,64 persen saham, dana yang mesti disiapkan- berdasarkan taksiran pemerintah- setidaknya Rp 32 triliun. Dengan anggaran yang pas-pasan saat ini, pemerintah pusat jelas tak bisa merogoh kocek sendiri.
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 menyebutkan, bila pemerintah pusat tak bersedia, pemerintah daerah akan memperoleh prioritas, disusul badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Bila mereka tak juga bersedia, perusahaan swasta nasional akan bertindak sebagai pembeli.
Pemerintah telah membentuk induk perusahaan dengan menggabungkan aset PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), PT Aneka Tambang (Antam), PT Bukit Asam, dan PT Timah. Aset keempatnya diperkirakan menembus Rp 100 triliun. Dengan aset jumbo, induk perusahaan pertambangan itu diharapkan bisa memperoleh kucuran kredit dari bank. Persoalannya, pembentukan holding tambang hingga kini berlarut-larut.
Tak mengherankan bila pemerintah kini menyiapkan skema baru, yakni membentuk Konsorsium Indonesia. Dalam konsorsium itu, PT Inalum kebagian 55 persen saham, BPJS Ketenagakerjaan mendapat 25 persen, dan pemerintah daerah 20 persen. Inalum dan BPJS akan menyediakan pinjaman penyertaan modal buat pemerintah daerah. Cara ini dimaksudkan untuk mencegah adanya pemburu rente di belakang pemerintah daerah.
Pemerintah tak boleh mengulangi kesalahan divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Newmont Nusa Tenggara. Rencana pemerintah melibatkan badan usaha daerah dalam kepemilikan Newmont berantakan karena kelompok usaha Bakrie berada di belakang perusahaan daerah tersebut. Perusahaan itu belakangan beralih kepemilikan. Sang "pengusaha swasta nasional" menangguk untung dari praktik jual-beli saham.
Proses pelepasan saham Freeport masih panjang. Itu sebabnya, pemerintah harus menguncinya dengan sejumlah perjanjian di awal, terutama soal valuasi harga saham. Jangan sampai upaya mengambil alih saham Freeport, yang semestinya ditujukan untuk kemakmuran seluruh rakyat, hanya menguntungkan segelintir orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini