Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Di Indonesia, media sosial juga punya peran sangat signifikan dalam mempengaruhi opini publik.
Kabar baiknya, bagi pengguna X di Indonesia (dan pegiat demokrasi secara umum), ruang publik di X terlihat resistan terhadap narasi tandingan serta pengalihan isu.
Kondisi berbeda terjadi di TikTok, konten tandingan malah memicu pengalihan isu.
PADA 2020, penelitian Pew Research Center memprediksi penggunaan teknologi digital, terutama media sosial, oleh publik akan melemahkan demokrasi dalam waktu sepuluh tahun. Hal ini di antaranya disebabkan oleh kecepatan dan kemampuan teknologi mendistorsi kenyataan, dampak turunnya jurnalisme, serta dampak meningkatnya kapitalisme dan monetisasi dari pengawasan ruang-ruang digital publik.
Namun sepertiga responden penelitian juga berharap teknologi digital bisa menguatkan demokrasi selama kita bisa menemukan cara untuk melawan manipulasi informasi yang disebarkan oleh “info warriors”1 dan kekacauan yang diakibatkan olehnya.
Sebelumnya, muncul fenomena yang disebut "techlash", suatu kondisi ketika pengguna Internet mulai khawatir akan disrupsi teknologi digital terhadap demokrasi. Fenomena ini mencuat pada 2016, berbarengan dengan peristiwa Brexit di Inggris serta terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat pada tahun yang sama (dan sekarang pada 2024). Kedua hal ini terjadi tentunya tidak lepas dari peran Internet dan media sosial dalam mempengaruhi opini publik serta hasil politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2016, peran media sosial, seperti Facebook, memungkinkan manipulasi informasi, termasuk disinformasi dan berita palsu, untuk menyebar secara sangat cepat serta mencapai audiens yang luas. Konten yang sengaja menyesatkan, membangkitkan emosi, atau mempengaruhi persepsi pemilih tersebar luas, menciptakan ketakutan dan kebingungan di kalangan masyarakat tentang isu-isu seperti imigrasi, ekonomi, serta identitas nasional.
Selain itu, penggunaan microtargeting dan algoritma di media sosial untuk menargetkan pesan serta emosi tertentu pada pemilih memungkinkan manipulasi yang lebih dalam terhadap opini publik. Hal ini membahayakan proses pengambilan keputusan yang otonom dan berdasarkan informasi.
Kemudian, pada 2024, kejadian yang sama terjadi lagi di Amerika Serikat, yang berujung pada terpilihnya Trump sebagai presiden. Hal ini terjadi di luar dugaan banyak ahli politik, termasuk Allan Lichtman, sejarawan terkemuka di Amerika yang berhasil memprediksi hasil pemilihan Presiden AS dalam sembilan dari sepuluh pemilu terakhir.
Sistem matematika yang dipakai Lichtman memprediksi Kamala Harris akan mengalahkan Trump. Namun tampaknya sistem Lichtman, yang berdasarkan statistik mandat partai di dewan perwakilan AS, ekonomi, kebijakan dalam negeri dan luar negeri, serta ada-tidaknya kerusuhan sosial, gagal memprediksi hasil pemilu AS tahun ini karena sistem itu tidak mengikutkan pengaruh media sosial ke politik.
Pada pemilu AS tahun ini, berdasarkan laporan, media sosial X (Twitter) dan akun pemiliknya (Elon Musk) menjadi platform virtual untuk kampanye Trump. Selain itu, algoritma X mengutamakan konten pro-Trump untuk dinaikkan di lini masa para pengguna X. Adapun Wall Street Journal menggambarkan X sebagai platform yang mempunyai posisi unik dalam pengaruhnya ke politik.
Twitter dan TikTok: Dua Dunia Berbeda
Di Indonesia, media sosial juga punya peran sangat signifikan dalam mempengaruhi opini publik, termasuk dalam kontestasi pemilihan presiden yang baru saja berlangsung dan kejadian-kejadian besar yang terjadi sesudahnya. Termasuk saat terjadi demonstrasi “Peringatan Darurat” di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi dan kampanye “Terima Kasih Jokowi” tiga pekan sebelum pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden RI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, jika melihat dua ruang digital publik yang sering dipakai untuk diskusi dan kontestasi isu-isu politik di Indonesia, yaitu X (Twitter) serta TikTok, kita akan seperti dibawa ke dua dunia berbeda. Ibaratnya, jika hanya menyimak X, kita melihat adanya kemungkinan pemilu presiden dilangsungkan dalam dua putaran. Sementara itu, di TikTok terlihat adanya kemungkinan pemilu berjalan satu putaran saja. Fenomena dua dunia ini pun terus berlanjut setelah pemilu.
Berdasarkan data dari media sosial (X dan TikTok) yang kami kumpulkan di Monash Data and Democracy Research Hub pada periode peringatan darurat (20-23 Agustus 2024) serta periode sebelum pelantikan Prabowo (1-14 Oktober 2024), terlihat adanya usaha untuk mempengaruhi opini publik dan efeknya ke politik melalui tanda pagar tandingan terhadap aspirasi rakyat. Tagar-tagar yang bermunculan antara lain #Indonesiabaikbaiksaja dan #RUUperampasanaset untuk menandingi #Peringatandarurat, serta #TerimakasihJokowi sebagai peredam emosi negatif yang meluap terhadap Joko Widodo menjelang pelantikan Prabowo.
Dari analisis data yang kami peroleh, terdapat pola yang menunjukkan bahwa tagar-tagar tandingan ini tidak muncul secara organik, melainkan tampak sebagai upaya orkestrasi narasi. Dari analisis pada jam-jam konten tandingan tersebut muncul di X, terlihat pola bahwa konten tandingan itu dimasukkan saat jam kerja, yakni pukul 09.00-17.00, lalu memuncak pada waktu tertentu, pukul 13.00-14.00.
Sementara itu, konten media sosial lain biasanya konstan naik sepanjang hari, bahkan di luar jam kerja. Perbedaan ini lebih menonjol lagi di TikTok. Konten tandingan (#Indonesiabaikbaiksaja) muncul sepanjang hari (termasuk saat jam kerja), sedangkan konten yang ditandingi (#Peringatandarurat) hanya muncul di jam luar kerja.
Waktu konten “Indonesia baik-baik saja” dicuitkan di X.
Waktu konten “peringatan darurat” dicuitkan di X.
Waktu konten tandingan “Terima kasih Jokowi” dicuitkan di X.
Waktui konten umum tentang Jokowi dicuitkan di X.
Waktu konten #Indonesiabaikbaiksaja muncul di TikTok.
Waktiu konten #peringatandarurat muncul di TikTok.
Sentimen tandingan #Indonesiabaikbaiksaja di X, sentimen positif (hijau) di tiap jamnya berusaha mengalahkan sentimen negatif (merah).
Sentimen konten #peringatandarurat (kanan) di X, di mana sentimen negatif mendominasi sepanjang periode 20-23 Agustus 2024.
Sentimen tandingan “Terima kasih Jokowi” di X, di mana sentimen positif (hijau) mengalahkan sentimen negatif (merah) di tiap jam.
Sentimen umum mengenai Jokowi di X, di mana sentimen negatif sangat mendominasi sepanjang periode 1-14 Oktober 2024.
Dari segi sentimen, konten tandingan ini juga memiliki sentimen yang berbalik 180 derajat dari konten yang ditargetkan. Konten tandingan ini biasanya bernada positif dibanding konten targetnya yang jauh lebih banyak bernada negatif.
Kabar baiknya, bagi pengguna X di Indonesia (dan pegiat demokrasi secara umum), ruang publik di X terlihat resistan terhadap narasi tandingan serta pengalihan isu ini. Seperti membuang garam ke lautan, konten tandingan di antaranya “Indonesia baik-baik saja” ataupun “Terima kasih Jokowi” tidak berdampak terhadap diskusi publik mengenai peringatan darurat ataupun mengenai Jokowi di X (Gambar 6).
Jumlah cuitan tandingan “Indonesia baik-baik saja” di X hanya sekitar 53 ribu dari 31 ribu akun. Adapun cuitan peringatan darurat di X sebanyak 6,75 juta dari 123 ribu akun, lebih dari 100 kali lipat jumlah cuitan tandingan. Begitu juga kampanye “Terima kasih Jokowi” yang hanya sekitar 46 ribu cuitan dari 6.000 akun di X. Jumlah ini jauh lebih kecil dibanding percakapan umum tentang Jokowi di X yang mendominasi pada periode yang sama: 660 ribu cuitan dari 95 ribu akun.
Konten tandingan “Indonesia baik-baik saja” (biru) di X tidak berdampak pada volume konten “peringatan darurat" (kuning) yang jauh lebih signifikan.
Konten tandingan “Terima kasih Jokowi” (kuning) di X tidak ada dampaknya terhadap volume konten umum tentang Jokowi (biru) yang jauh lebih signifikan.
Kondisi berbeda terjadi di TikTok, di mana konten tandingan malah memicu pengalihan isu. Tagar tandingan seperti #Indonesiabaikbaiksaja mendapat perhatian yang lebih dari isu diskusi dan kontestasi awal #Peringatandarurat. Hal ini terlihat dari segi volume komentar di video-video konten tandingan tersebut.
Sebagai perbandingan, meskipun jumlah video konten tandingan #Indonesiabaikbaiksaja di TikTok hanya sepersepuluh dari jumlah video #Peringatandarurat, konten tandingan tersebut mendapat jauh lebih banyak perhatian dibanding isu peringatan darurat sendiri. Tiap video tandingan #Indonesiabaikbaiksaja mendapat rata-rata 200 komentar, lima kali lipat lebih banyak daripada rata-rata jumlah komentar yang didapatkan oleh video #Peringatandarurat (rata-rata 40 komentar).
Video tandingan #Indonesiabaikbaiksaja juga dibagikan hampir 1,5 kali lipat lebih banyak di TikTok (rata-rata video tersebut dibagikan 64 kali) dibanding video #Peringatandarurat yang rata-rata hanya dibagikan 47 kali di TikTok. Artinya, upaya orkestrasi narasi lebih berhasil di TikTok. Untuk mendapatkan jumlah perhatian yang sama, hanya sedikit konten tandingan yang dibutuhkan.
Perbedaan X dan TikTok
Dari analisis kami, diskusi, ide, aspirasi, dan kontestasi publik di X tampak lebih beragam serta resistan terhadap pengalihan isu. Sementara itu, di TikTok, konten-konten itu tampak seragam, one dimensional, dan dengan tujuan yang sama.
Pertanyaannya sekarang adalah, kenapa bisa terjadi perbedaan tajam antara X dan TikTok? Hal ini butuh penelitian dan investigasi lebih lanjut. Apakah fenomena dua dunia berbeda ini terjadi karena segmen pengguna dan audiens yang berbeda? Ataukah karena algoritma yang dipakai oleh kedua platform ini juga berbeda? Apakah memang X merupakan platform yang mendukung kebebasan berpendapat seperti yang sudah lama dielu-elukan oleh Elon Musk? Tentu saja tidak.
Yang mungkin terjadi adalah algoritma platform X bergantung pada kepentingan Musk di negara tersebut. Di Amerika Serikat, pada pemilu 2024 yang baru saja berlangsung, X dipakai untuk memenangkan Trump lewat algoritma dan fitur for your page atau FYP-nya. Terpilihnya Trump membuka pintu bagi Musk untuk mendapatkan banyak hal: nilai saham Tesla naik 12 persen (menambahkan US$ 12 miliar ke kekayaan Elon Musk) dan kebijakan Trump yang pro-bisnis akan membawa semakin banyak manfaat bagi perusahaan-perusahaan Musk. Bahkan, Musk telah ditunjuk oleh Trump untuk masuk ke kabinetnya.
Sementara itu, di negara-negara yang memiliki undang-undang anti-kebebasan berbicara, seperti Brasil, Turki, India, dan Uni Emirat Arab, X pernah dipakai untuk memblokir atau membatasi konten dari akun-akun tertentu yang mengkritik pemerintah negara-negara tersebut. Tidak mengherankan tentunya sesudah X melakukan hal-hal ini, Turki mengundang Tesla untuk membuat pabrik di negara tersebut, begitu juga dengan India.
Lalu, kondisi X di Indonesia yang masih cukup mendukung kebebasan berpendapat itu disebabkan oleh posisi Elon Musk yang tak terlalu peduli terhadap kepentingan pemerintah ataupun kondisi politik di Indonesia? Apa pun alasannya, dari data yang ada sekarang, bagi publik di Indonesia, platform X masih terlihat sebagai ruang demokrasi publik yang relatif “aman” dari isu kapitalisme, monetisasi, dan pembatasan ruang digital. Paling tidak, hal ini akan terjadi selama publik Indonesia dan ruang demokrasinya berada di luar radar Elon Musk.
Dalam laman Transparency Center, TikTok menyatakan platform tersebut dapat mengakomodasi permintaan pemerintah sebuah negara untuk menghapus ataupun membatasi konten. Pada 2019-2023, permintaan pemerintah untuk memoderasi konten TikTok semakin tinggi. Pada 2023 saja, jumlahnya mencapai lebih dari 10 ribu permintaan. Catatan TikTok juga menunjukkan pemerintah Indonesia pernah mengajukan 351 permintaan untuk mencabut ataupun membatasi akun.
Isu mengenai pengaruh pemerintah terhadap ruang publik digital harus terus kita pantau dan kawal. Kita harus menjaga ruang publik digital kita agar terus terbuka untuk segala aspirasi, diskusi, dan kontestasi yang bebas dari manipulasi informasi. Sebab, demokrasi membutuhkan ruang publik yang bebas agar dapat terus berkembang.
1 Menariknya, isu manipulasi informasi oleh “info warriors” atau disebut juga dengan “information warfare” tidak mempunyai terjemahan langsung ataupun laman Wikipedia dalam bahasa Indonesia (mungkin karena kita lebih nyaman memanggil kelompok ini dengan sebutan “buzzer”). Sedangkan “surveillance capitalism” atau kapitalisme pengawasan, di mana pengawasan ruang-ruang digital publik dimonetisasi punya laman Wikipedia-nya sendiri dalam bahasa Indonesia.
Dialektika Digital merupakan kolaborasi Tempo bersama KONDISI (Kelompok Kerja Anti Disinformasi Digital di Indonesia). KONDISI beranggotakan para akademikus, praktisi, dan jurnalis yang mendalami dan mengkaji fenomena disinformasi di Indonesia. Dialektika Digital terbit setiap pekan.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.