Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Meski terlambat, langkah Kejaksaan Negeri Pematangsiantar, Sumatera Utara, menghentikan kasus penistaan agama yang menjerat empat tenaga kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah Djasamen Saragih, sudah benar. Namun keputusan ini tak bisa menghapus fakta bahwa polisi dan jaksa memang sempat menindaklanjuti kasus tersebut. Tindakan mereka menunjukkan masih ada persoalan serius dalam proses penegakan hukum di negeri ini.Â
Kasus ini bermula ketika seorang warga melaporkan empat tenaga kesehatan pria di RSUD Djasamen ke Kepolisian Resor Pematangsiantar. Gara-garanya, keempat petugas itu memandikan jenazah pasien perempuan yang meninggal akibat Covid-19, pada akhir September tahun lalu. Sang suami tak terima jenazah almarhumah istrinya dimandikan oleh pria bukan muhrim. Polisi lalu menjerat keempat terlapor itu dengan delik penodaan agama, yakni Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara. Mereka langsung berstatus tersangka dan dikenai tahanan kota sejak 18 Februari lalu.
Setelah penyidikan rampung, alih-alih mencegah proses hukum perkara ini berlanjut, Kejaksaan Negeri Pematangsiantar malah menguatkan hasil kerja polisi. Jaksa menyatakan pemberkasan perkara keempat tenaga kesehatan ini sudah lengkap dan bisa dilanjutkan ke tahap penuntutan. Barulah belakangan, setelah kasus ini menjadi viral di media sosial, Kepala Kejaksaan Negeri Pematangsiantar tergopoh-gopoh mengoreksi proses ini. Dia menyatakan ada tafsir yang keliru dalam penerapan Pasal 156a KUHP di perkara ini.Â
Â
Sejak awal, polisi dan jaksa memang seharusnya tak melanjutkan laporan warga soal penistaan agama ini. Para penegak hukum kita seharusnya paham bahwa tudingan penodaan agama kepada keempat tenaga kesehatan itu sama sekali tidak berdasar. Hukum agama tak bisa menjadi landasan untuk memidanakan seseorang. Meski begitu, kita tahu Pasal 156a KUHP memang kerap dijadikan pintu masuk untuk menggunakan aturan agama sebagai landasan hukum positif di Indonesia. Korban akibat pasal ini sudah banyak.Â
Sebuah lembaga kajian hukum, The Indonesian Legal Resource Center, mencatat ada 63 kasus penodaan agama yang diproses pengadilan sejak 1968 hingga 2014. Hampir semua terdakwa dinyatakan bersalah dan menerima hukuman. Jumlah ini belum menghitung kasus yang dialami Meiliana, warga Tanjungbalai, Sumatera Utara, yang dihukum 1,5 tahun penjara karena dituduh melecehkan Islam; serta hukuman kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang dibui setelah dituding melecehkan ayat Al-Quran.
Semua kasus itu punya pola serupa. Tindakan keras polisi biasanya terjadi untuk merespons unjuk rasa kelompok Islam garis keras. Dalam kasus Ahok, misalnya, polisi kalang kabut bergerak setelah ratusan ribu orang dengan bendera 212 berdemonstrasi di depan Istana Merdeka. Ini berbahaya. Penegakan hukum semacam ini bisa diartikan seolah-olah polisi dan jaksa di Indonesia bisa disetir oleh kekuatan massa. Â
Penerapan hukum secara serampangan seperti itu juga bisa menjadi yurisprudensi yang mengancam banyak orang. Ke depan, polisi dan jaksa harus selalu ingat bahwa mereka bekerja menegakkan hukum negara, bukan dalil agama. Sudah saatnya penggunaan pasal penistaan agama dihentikan.Â
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo