Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kesiapan Indonesia Menghadapi Transformasi Akal Imitasi

Satrya Wibawa

Satrya Wibawa

 

Duta Besar, Wakil Delegasi Tetap Indonesia untuk UNESCO. Staf Pengajar Departemen Komunikasi FISIP dan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.

Teknologi artificial intelligence atau AI terus berkembang. Bagaimana kesiapan Indonesia mengimplementasikan AI?

10 Februari 2025 | 06.00 WIB

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Kehadiran DeepSeek dan ChatGPT mendorong negara-negara untuk memasukkan AI ke dalam strategi nasional mereka.

  • Indonesia dinilai memiliki potensi besar, tapi masih tertinggal dalam infrastruktur digital dan kesenjangan literasi.

  • Agar siap mengimplementasikan AI, Indonesia harus memperkuat literasi digital masyarakat.

KOTA Paris di Prancis akan menjadi pusat perhatian dunia dengan diselenggarakannya AI Action Summit hari ini dan besok (10-11 Februari 2025). Acara ini merupakan pertemuan puncak yang membahas masa depan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI)—penulis lebih suka menyebutnya sebagai akal imitasi—dari perspektif etika, keberlanjutan, dan pemerataan akses.

Acara yang dihadiri oleh beberapa pemimpin dunia ini merupakan lanjutan dari pertemuan sebelumnya di Bletchley Park (2023) dan Seoul (2024), dengan fokus pada penciptaan tata kelola AI yang inklusif di tengah persaingan geopolitik antara Cina dan negara-negara Barat. Momentum AI Summit ini bertepatan dengan diskursus persaingan antara DeepSeek—model AI asal Cina yang mengandalkan efisiensi biaya serta arsitektur mixture-of-experts (MoE)—dan ChatGPT buatan OpenAI yang mendominasi pasar global.

Kehadiran DeepSeek cukup menggegarkan karena merontokkan saham beberapa perusahaan teknologi. Pemerintah sejumlah negara juga mengeluarkan tindakan politis berupa larangan penggunaan DeepSeek di lembaga pemerintahan (Kompas, 6 Februari 2025). Persaingan antara DeepSeek dan ChatGPT menjadi cerminan kompleksitas pengembangan AI di tingkat global.

DeepSeek, dengan biaya pelatihan rendah, sekitar US$ 5,6 juta dan berfokus pada tugas teknis, seperti matematika dan pengkodean, menawarkan alternatif open-source yang terjangkau bagi negara berkembang. Sementara itu, ChatGPT, meski membutuhkan biaya operasional miliaran dolar, tetap unggul dalam kemampuan percakapan alami dan integrasi aplikasi luas. 

Dua model akal imitasi tersebut mendorong negara-negara memasukkan AI ke dalam strategi nasional, baik untuk meningkatkan produktivitas ekonomi maupun memperkuat posisi geopolitik. Hal ini tidak hanya mencerminkan perlombaan teknologi, tapi juga mempertegas pentingnya kedaulatan digital sebagai alat pengaruh ekonomi-politik. Di tengah dinamika global ini, Indonesia dihadapkan pada pertanyaan mendasar: sejauh mana kesiapan kita menghadapi gelombang transformasi AI dalam hampir semua lini?  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pertanyaan serupa juga menjadi tema acara yang dilaksanakan oleh UNESCO bersamaan dengan AI Summit: "Preparing AI for the World-Preparing the World for AI". Di balik kemajuan tersebut, muncul kekhawatiran akan kesenjangan teknologi, bias algoritma, serta ancaman keamanan data—isu-isu yang memerlukan regulasi ketat dan kesadaran kolektif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

UNESCO menyampaikan Konsensus Beijing 2019 yang memberikan pedoman penggunaan AI dan kemajuan pendidikan serta dokumen Rekomendasi untuk Etika dalam Penggunaan AI yang sudah diadopsi oleh 193 negara pada 2021. UNESCO juga sudah mengeluarkan seri kerangka kerja dan panduan untuk mengantisipasi dan meningkatkan kesadaran dunia mengenai pentingnya hal ini. 

Sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang menempuh tahapan AI Readiness Assessment oleh UNESCO pada Oktober 2024, Indonesia punya data awal untuk memahami kesiapan itu. Asesmen ini mengevaluasi kesiapan Indonesia dalam lima dimensi: regulasi, sosial-budaya, ekonomi, pendidikan, dan infrastruktur. Hasilnya, Indonesia dinilai memiliki potensi besar, tapi masih tertinggal dalam infrastruktur digital dan kesenjangan literasi.

Kesenjangan itu terlihat dari kecepatan Internet di luar Jawa yang hanya 24,6 Mbps, jauh di bawah rata-rata global. Selain itu, hanya 14 persen perusahaan di Indonesia yang sudah sepenuhnya mengadopsi AI. Berbagai indikator tersebut menunjukkan rendahnya kematangan teknologi ini di Indonesia. Asesmen tersebut juga menyoroti kurangnya dukungan pemerintah terhadap program riset tentang AI dibanding negara tetangga dan regional Asia.

Sebelumnya pemerintah melalui Strategi Nasional Kecerdasan Buatan (Stranas KA) 2020-2045 merancang peta jalan untuk mengintegrasikan AI secara bertanggung jawab. Dokumen ini menekankan empat pilar utama: etika, kebijakan, infrastruktur, dan data. Sayangnya implementasinya masih terhambat oleh infrastruktur digital yang timpang—hanya 60 persen wilayah Indonesia yang terjangkau Internet—dan minimnya regulasi spesifik untuk tata kelola AI.

Pada 2023, Kementerian Komunikasi dan Informatika juga menerbitkan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika AI serta mengintegrasikan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi serta revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menjamin transparansi dan perlindungan data. Namun upaya ini berisiko stagnan jika tidak didukung anggaran memadai, kolaborasi antarlembaga, dan partisipasi aktif masyarakat. Tantangan yang dihadapi Indonesia pada akhirnya bukan hanya mengejar kemajuan teknologi, melainkan juga memastikan masyarakat siap menghadapi transformasi teknologi ini. 

Di tengah upaya melalui pembuatan regulasi, realitas di lapangan menunjukkan prioritas utama Indonesia seharusnya bukan sekadar mengadopsi teknologi atau menarik investor untuk pengembangan teknologi AI, melainkan juga membangun fondasi literasi digital yang merata. Survei Kantar (2025) mengungkapkan bahwa 59 persen masyarakat Indonesia menggunakan AI untuk aktivitas harian, seperti penyuntingan konten (74 persen) dan analisis data (53 persen). 

Ironisnya, dari 68 persen populasi usia produktif yang diproyeksikan jumlahnya memuncak pada 2030, hanya 9 juta orang yang dianggap sebagai talenta digital kompeten. Data ini mengkonfirmasi asumsi bahwa literasi digital bukan sekadar kemampuan teknis, melainkan juga fondasi untuk memanfaatkan AI secara kritis, kreatif, dan bertanggung jawab. 

Generasi muda, yang akan mendominasi populasi Indonesia dalam beberapa tahun mendatang, harus dibekali kemampuan berpikir analitis, pemahaman etis, dan kesadaran akan risiko digital. Langkah konkret untuk mencapai tujuan itu adalah mengintegrasikan literasi digital ke dalam kurikulum pendidikan di semua jenjang, dengan penyesuaian konteks lokal. 

Kurikulum pendidikan (Kurikulum 2013 ataupun Kurikulum Merdeka) sebetulnya sudah memberikan ruang untuk mengakomodasi tuntutan ini. Data Kementerian Komunikasi dan Digital menunjukkan skor Indeks Masyarakat Digital Indonesia 2024 tercatat 43,34 atau naik dibanding pada 2023 yang sebesar 43,18. Namun skor di bawah 50 ini menunjukkan kemampuan pemahaman digital masyarakat Indonesia masih di bawah standar. 

Peran Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi menjadi vital untuk mengintegrasikan literasi digital dalam kurikulum sekolah ataupun pendidikan tinggi. Pemerintah juga perlu memperkuat peran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) atau mengawal riset AI berbasis kebutuhan lokal, seperti mitigasi bencana atau optimasi sektor pertanian. Kita bisa belajar dari Singapura yang memasukkan penguatan digital literasi dalam kurikulum sekolah dan universitas sebagai kolaborasi antara Kementerian Pendidikan dan Kementerian Media dan Informasi sejak 2020. 

Penguatan literasi digital ini akan menjadi langkah berkelanjutan dalam upaya menjaga kedaulatan digital negara kita. Upaya pengetatan batasan usia pengakses media sosial yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Digital patut diapresiasi, sejalan dengan upaya serupa yang dilakukan Australia dan Singapura serta banyak negara Eropa lainnya. Namun upaya tersebut akan sia-sia jika Indonesia tidak menguatkan fondasi berupa penguatan literasi digital. Langkah ini harus paralel dan kolaboratif untuk implementasi penguatan transformasi AI. 

Indonesia perlu mencontoh negara seperti Singapura dan Estonia yang berhasil membangun tata kelola AI berbasis partisipasi publik. Singapura menerapkan AI Governance Framework yang melibatkan sektor swasta, akademikus, dan masyarakat dalam menyusun kebijakan. Sementara itu, Estonia menggunakan sistem digital citizenship untuk memastikan transparansi penggunaan data.

Pemerintah, selain mengambil peran regulator, perlu memberikan ruang-ruang kebebasan untuk pemangku kepentingan lain. Kolaborasi serupa bisa diwujudkan melalui forum multi-pemangku kepentingan yang mengawasi pengembangan AI serta memastikan prinsip keadilan dan keberlanjutan. Dengan demikian, tata kelola AI bukan hanya menjadi urusan administratif, tapi juga alat untuk memastikan teknologi bekerja demi kesejahteraan masyarakat.  

Kesiapan Indonesia menghadapi AI tidak diukur dari seberapa canggih teknologi yang diadopsi, melainkan dari kedewasaan masyarakat dalam memanfaatkannya. AI Summit 2025 di Paris seharusnya menjadi pengingat bahwa tata kelola AI yang berkelanjutan dimulai dari masyarakat yang kritis dan kreatif. Crawford (2021) menegaskan bahwa AI bukan teknologi netral karena dibentuk oleh keputusan manusia dan struktur sosial, sehingga memerlukan akuntabilitas, pertimbangan etis, serta dukungan hukum dan kajian ilmiah yang relevan.

Dengan memperkuat literasi digital dan tata kelola yang partisipatif, bonus demografi 2030 bisa menjadi momentum emas untuk mencapai kedaulatan teknologi tanpa kehilangan identitas budaya.

Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus