KESADARAN akan Lingkungan Hidup ternyata sudah meluas. DPR jelas
tidak mengabaikannya. Tanpa bertele-tele DPR menyetujui RUU
tentang masalah lingkungan pekan lalu, hanya sedikit lebih
sebulan sejak pemerintah mengajukannya ke dewan itu. Hampir
tiada selisih pendapat yang menghambat pembicaraannya dalam DPR.
DPR mengolahnya secara khusus. Biasanya suatu RUU terlebih dulu
dibicarakan dalam komisi DPR yang bersangkutan. Sekali ini satu
panitia khusus (Pansus) menanganinya, suatu pertanda akan
urgensinya.
RUU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup, demikian disebut selengkapnya, disetujui DPR dengan suara
bulat untuk dijadikan UU. Tandatangan Presiden Soeharto diduga
akan segera menyusul untuk mengesahkannya.
Agaknya cita-cita dan semangat Lingkungan Hidup itu diterima
semua pihak. Seperti digambarkan Menteri Negara PPLH, Emil
Salim, "RUU ini lahir dalam suasana terlebumya loyalitas
kelompok dalam loyalitas tunggal demi kemajuan bangsa."
Berkata pula Drs Soeryadi dari fraksi PDI, Wakil Ketua Pansus
RUU Lingkungan Hidup: "Nilainya sangat strategis, bila
dihubungkan dengan pembangunan fisik yang terus meningkat."
Wakil Ketua Pansus lainnya, Drs. H. Ridwan Saidi dari fraksi PP
berkata, "Napas RUU ini menanggulangi sesuatu yang sudah
terjadi."
Juga Ketua Pansus, Drs. Imam Soedarwo dari fraksi KP berpendapat
bahwa hal ini sangat penting. Semua fraksi mendukung sekali RUU
itu, tentu saja, termasuk fraksi ABRI. 'Pembenahan lingkungan
hidup adalah tugas dan tanggungjawab kita bersama, " ucap Harry
Respati dari fraksi ABRI.
Dari luar DPR terdengar reaksi Prof. Ir. Otto Soemarwoto.
Masuknya RUU itu ke DPR "suatu langkah maju," kata Ketua Lembaga
Ekologi Unpad itu di Bandung. Namun waktu itu Otto menilai
beberapa pasal dalam RUU itu masih lemah.
Cukup Peka Misalnya, pasal 3. Agaknya Otto kurang setuju
terhadap ungkapan "keserasian dan keseimbangan". "Kalimat itu
terlalu populer," katanya. Soalnya lingkungan itu bersifat
dinamis dan selalu berubah, apalagi pembangunan pada dasarnya
mengubah keseimbangan. Para anggota DPR ternyata juga merasakan
ini, dan pasal 3 itu mengalami perubahan cukup drastis.
Juga Otto mengkritik pasal 14 "Setiap kegiatan yang mempunyai
dampak negatif terhadap lingkungan, perlu diperlengkapi dengan
analisis dampak lingkungan . . ." Ini, menurut Otto, reaktif
terhadap pembangunan, sedang mestinya bisa diperkirakan apakah
suatu kegiatan itu punya dampak atau tidak.
Para anggota DPR juga cukup peka menilai kelemahan itu. Dan
pasal 14 (menjadi pasal 16) pun mengalami perubahan redaksi.
"Setiap kegiatan . . ." menjadi "Setiap rencana yang
diperkirakan . . ." dan "dampak negatif" menjadi "dampak penting
. . ." Juga kata "perlu . . ." diganti hingga analisis mengenai
dampak lingkungan "wajib" melengkapi setiap rencana yang
diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan.
Selama pembahasan RUU itu oleh DPR, 10 lembaga swadaya
masyarakat yang tergabung dalam Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia, tak ketinggalan menyampaikan saran mereka pada
fraksi masing-masing dalam Pansus RUU itu. Segi yang disorot
Wahana itu antara lain soal peranan lembaga swadaya masyarakat
yang dulu sering disebut sebagai Ornop (Organisasi
non-pemerintah) dalam pelestarian dan cinta alam.
Dalam draft RUU itu pasal 16 menyebutkan, "Lembaga swadaya
masyarakat dimanfaatkan dan didayagunakan sebagai sarana
penunjang bagi pengelolaan lingkungan hidup". Gambaran pasif
terhadap lembaga swadaya masyarakat itu agaknya diubah menjadi
(pasal 19) "lembaga swadaya masyarakat berperan sebagai
penunjang bagi pengelolaan lingkungan hidup". Juga pengertian
"lembaga swadaya masyarakat" ditandaskan dalam ayat 12
(tambahan) pasal 1, sebagai "organisasi yang tumbuh secara
swadaya, atas kehendak dan keinginan sendiri, di tengah
masyarakat, dan berminat serta bergerak dalam bidang lingkungan
hidup". Seperti ditandaskan Imam Soedarwo, "Masyarakat tidak
cuma dilibatkan, tapi juga berperan aktif."
Wahana Lingkungan Hidup seperti dikemukakan sekretarisnya, Ny.
Erna Witulaar, semula melihat kurang jelasnya prosedur
penyelesaian ganti kerugian oleh pencemar kepada penderita.
Ketua Pansus RUU itu mengharapkan secepatnya pemerintah
mengeluarkan seperangkat Peraturan Pemerintah tentang masalah
itu. Sementara RUU yang disetujui itu sudah membenahi redaksi
pasal 17 (jadi pasal 20) yang meliputi masalah penggantian
kerugian.
Khususnya ancaman pidana dalam RUU Lingkungan ini yang
berasaskan "pencemar wajib mengganti kerugian dan memulihkan
lingkungan yang rusak," cukup tegas diuraikan dalam pasal 18
(menjadi pasal 22). Bagi yang sengaja merusak atau mencemarkan
lingkungan, yang merupakan kejahatan tersedia pidana penjara
maksimum 10 tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 100 juta.
Bagi yang lalai hingga merusak atau mencemarkan lingkungan, yang
merupakan pelanggaran, diancam pidana penjara maksimal 1 tahun
dan atau denda Rp 1 juta.
Karena ada ancaman pidana itu, Menteri PPLH Emil Salim
berpendapat selayaknya juga tersedia imbalan bagi yang mematuhi
atau berperan dalam melestarikan lingkungan hidup itu. Karenanya
dalam ayat 4 pasal 8 (jadi pasal 7) dicantumkan bahwa orang yang
demikian "dapat diberikan kemudahan-kemudahan tertentu". Tapi,
kata Drs. Soeryadi, "itu kan sudah tugas dan kewajiban mereka
mencegah pencemaran. Mengapa harus diberi fasilitas?" Hal ini
juga dipertanyakan oleh fraksi PP dan agaknya Pansus dapat
menyetujui pandangan itu hingga ayat itu dihapus sama sekali.
Tentu saja masalah lingkungan hidup tidak hanya soal pencemaran
saja. Masalahnya bahkan begitu luas hingga semua pengaturannya
sulit dituang dalam satu undang-undang. Setidaknya, "UU tentang
lingkungan hidup ini diharapkan merupakan payung dari segala
macam peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan hidup
itu," ujar Imam Soedarwo.
RUU yang sudah disetujui ini mengalami penambahan 4 pasal pada
naskahnya yang semula. Secara keseluruhan tak terjadi perubahan
prinsipil. Sebagian besar berupa perubahan redaksi dan bentuk
kalimat, bertujuan mempertegas dan memperjelas berbagai
persoalan. Tidak seperti produk hukum lazimnya, UU Lingkungan
ini memakai bahasa yang mudah dimengerti. DPR, dengan
persetujuan pemerintah, sengaja mengundang ahli dari Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Dep. P & K.
"Ini bukan cepat tetapi gegabah," kata Menteri Emil Salim.
Dijelaskannya persiapan RUU itu sudah sejak Pelita 11 (tahun
1970-an). Ada usaha menyusun inventarisasi banyak peraturan yang
menyangkut lingkungan hidup. Ada pula segala semacam seminar dan
diskusi. Dan UU ini, kata Emil Salim lagi, baru "langkah pertama
dari jalan yang panjang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini