Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

"payung" demi lingkungan kita

Ruu tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup disetujui dpr untuk dijadikan undang-undang. mengalami penambahan 4 pasal pada naskah semula. (ling)

6 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KESADARAN akan Lingkungan Hidup ternyata sudah meluas. DPR jelas tidak mengabaikannya. Tanpa bertele-tele DPR menyetujui RUU tentang masalah lingkungan pekan lalu, hanya sedikit lebih sebulan sejak pemerintah mengajukannya ke dewan itu. Hampir tiada selisih pendapat yang menghambat pembicaraannya dalam DPR. DPR mengolahnya secara khusus. Biasanya suatu RUU terlebih dulu dibicarakan dalam komisi DPR yang bersangkutan. Sekali ini satu panitia khusus (Pansus) menanganinya, suatu pertanda akan urgensinya. RUU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, demikian disebut selengkapnya, disetujui DPR dengan suara bulat untuk dijadikan UU. Tandatangan Presiden Soeharto diduga akan segera menyusul untuk mengesahkannya. Agaknya cita-cita dan semangat Lingkungan Hidup itu diterima semua pihak. Seperti digambarkan Menteri Negara PPLH, Emil Salim, "RUU ini lahir dalam suasana terlebumya loyalitas kelompok dalam loyalitas tunggal demi kemajuan bangsa." Berkata pula Drs Soeryadi dari fraksi PDI, Wakil Ketua Pansus RUU Lingkungan Hidup: "Nilainya sangat strategis, bila dihubungkan dengan pembangunan fisik yang terus meningkat." Wakil Ketua Pansus lainnya, Drs. H. Ridwan Saidi dari fraksi PP berkata, "Napas RUU ini menanggulangi sesuatu yang sudah terjadi." Juga Ketua Pansus, Drs. Imam Soedarwo dari fraksi KP berpendapat bahwa hal ini sangat penting. Semua fraksi mendukung sekali RUU itu, tentu saja, termasuk fraksi ABRI. 'Pembenahan lingkungan hidup adalah tugas dan tanggungjawab kita bersama, " ucap Harry Respati dari fraksi ABRI. Dari luar DPR terdengar reaksi Prof. Ir. Otto Soemarwoto. Masuknya RUU itu ke DPR "suatu langkah maju," kata Ketua Lembaga Ekologi Unpad itu di Bandung. Namun waktu itu Otto menilai beberapa pasal dalam RUU itu masih lemah. Cukup Peka Misalnya, pasal 3. Agaknya Otto kurang setuju terhadap ungkapan "keserasian dan keseimbangan". "Kalimat itu terlalu populer," katanya. Soalnya lingkungan itu bersifat dinamis dan selalu berubah, apalagi pembangunan pada dasarnya mengubah keseimbangan. Para anggota DPR ternyata juga merasakan ini, dan pasal 3 itu mengalami perubahan cukup drastis. Juga Otto mengkritik pasal 14 "Setiap kegiatan yang mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan, perlu diperlengkapi dengan analisis dampak lingkungan . . ." Ini, menurut Otto, reaktif terhadap pembangunan, sedang mestinya bisa diperkirakan apakah suatu kegiatan itu punya dampak atau tidak. Para anggota DPR juga cukup peka menilai kelemahan itu. Dan pasal 14 (menjadi pasal 16) pun mengalami perubahan redaksi. "Setiap kegiatan . . ." menjadi "Setiap rencana yang diperkirakan . . ." dan "dampak negatif" menjadi "dampak penting . . ." Juga kata "perlu . . ." diganti hingga analisis mengenai dampak lingkungan "wajib" melengkapi setiap rencana yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan. Selama pembahasan RUU itu oleh DPR, 10 lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, tak ketinggalan menyampaikan saran mereka pada fraksi masing-masing dalam Pansus RUU itu. Segi yang disorot Wahana itu antara lain soal peranan lembaga swadaya masyarakat yang dulu sering disebut sebagai Ornop (Organisasi non-pemerintah) dalam pelestarian dan cinta alam. Dalam draft RUU itu pasal 16 menyebutkan, "Lembaga swadaya masyarakat dimanfaatkan dan didayagunakan sebagai sarana penunjang bagi pengelolaan lingkungan hidup". Gambaran pasif terhadap lembaga swadaya masyarakat itu agaknya diubah menjadi (pasal 19) "lembaga swadaya masyarakat berperan sebagai penunjang bagi pengelolaan lingkungan hidup". Juga pengertian "lembaga swadaya masyarakat" ditandaskan dalam ayat 12 (tambahan) pasal 1, sebagai "organisasi yang tumbuh secara swadaya, atas kehendak dan keinginan sendiri, di tengah masyarakat, dan berminat serta bergerak dalam bidang lingkungan hidup". Seperti ditandaskan Imam Soedarwo, "Masyarakat tidak cuma dilibatkan, tapi juga berperan aktif." Wahana Lingkungan Hidup seperti dikemukakan sekretarisnya, Ny. Erna Witulaar, semula melihat kurang jelasnya prosedur penyelesaian ganti kerugian oleh pencemar kepada penderita. Ketua Pansus RUU itu mengharapkan secepatnya pemerintah mengeluarkan seperangkat Peraturan Pemerintah tentang masalah itu. Sementara RUU yang disetujui itu sudah membenahi redaksi pasal 17 (jadi pasal 20) yang meliputi masalah penggantian kerugian. Khususnya ancaman pidana dalam RUU Lingkungan ini yang berasaskan "pencemar wajib mengganti kerugian dan memulihkan lingkungan yang rusak," cukup tegas diuraikan dalam pasal 18 (menjadi pasal 22). Bagi yang sengaja merusak atau mencemarkan lingkungan, yang merupakan kejahatan tersedia pidana penjara maksimum 10 tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 100 juta. Bagi yang lalai hingga merusak atau mencemarkan lingkungan, yang merupakan pelanggaran, diancam pidana penjara maksimal 1 tahun dan atau denda Rp 1 juta. Karena ada ancaman pidana itu, Menteri PPLH Emil Salim berpendapat selayaknya juga tersedia imbalan bagi yang mematuhi atau berperan dalam melestarikan lingkungan hidup itu. Karenanya dalam ayat 4 pasal 8 (jadi pasal 7) dicantumkan bahwa orang yang demikian "dapat diberikan kemudahan-kemudahan tertentu". Tapi, kata Drs. Soeryadi, "itu kan sudah tugas dan kewajiban mereka mencegah pencemaran. Mengapa harus diberi fasilitas?" Hal ini juga dipertanyakan oleh fraksi PP dan agaknya Pansus dapat menyetujui pandangan itu hingga ayat itu dihapus sama sekali. Tentu saja masalah lingkungan hidup tidak hanya soal pencemaran saja. Masalahnya bahkan begitu luas hingga semua pengaturannya sulit dituang dalam satu undang-undang. Setidaknya, "UU tentang lingkungan hidup ini diharapkan merupakan payung dari segala macam peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan hidup itu," ujar Imam Soedarwo. RUU yang sudah disetujui ini mengalami penambahan 4 pasal pada naskahnya yang semula. Secara keseluruhan tak terjadi perubahan prinsipil. Sebagian besar berupa perubahan redaksi dan bentuk kalimat, bertujuan mempertegas dan memperjelas berbagai persoalan. Tidak seperti produk hukum lazimnya, UU Lingkungan ini memakai bahasa yang mudah dimengerti. DPR, dengan persetujuan pemerintah, sengaja mengundang ahli dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Dep. P & K. "Ini bukan cepat tetapi gegabah," kata Menteri Emil Salim. Dijelaskannya persiapan RUU itu sudah sejak Pelita 11 (tahun 1970-an). Ada usaha menyusun inventarisasi banyak peraturan yang menyangkut lingkungan hidup. Ada pula segala semacam seminar dan diskusi. Dan UU ini, kata Emil Salim lagi, baru "langkah pertama dari jalan yang panjang."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus