KASET video, yang terutama jadi hiburan orang kaya, ternyata
bisa pula mengundang kekhawatiran. "Pengaruh kaset video sama
jahatnya dengan narkotika," ujar Wakil Ketua Komisi I DPR
Santoso Tossany, dalam acara dengar pendapat Komisi I dengan
Badan Sensor Film (BSF) di Auditorium BSF, 20 Februari silam.
Pemakaian kaset video belakangan ini bukan lagi terbatas di
kalangan berada. Tapi, menurut anggota Fraksi Karya itu, sudah
menjalar ke seluruh lapisan masyarakat. Malah ia menuduh adanya
usaha-usaha merusak moral masyarakat melalui video. Sebaliknya
pemerintah, dianggap Santoso, segan menangani masalah ini. "
Berapa persen yang berisikan sadisme dan pornografi di satu
pihak, dengan yang berisikan ilmu pengetahuan atau ilmiah di
pihak lain?" tanya Santoso.
Dia tidak sendiri. Ketua Pelaksana BSF, Thomas Sugito, yang
berwenang melakukan penyensuran menyatakan: tidak ada satu pun
kaset video yang berisikan ilmu pengetahuan. "Semua cerita
menyerempet sadisme, pornografi atau sejenis dengan itu,"
katanya.
Banyak kesulitan BSF menyensur kaset video, kata Sugito pula.
Antaranya, yang diserahkan kepada BSF itu hanya kopi. "Jadi
tidak dapat diketahui apakah pemotongan di BSF benar-benar
dilakukan terhadap video yang akan diedarkan," ujarnya. Padahal
pengawasan dalam peredaran sulit dilakukan.
Kesulitan utama dikeluhkan Sugito karena adanya dua tangan yang
melakukan penyensuran. Yaitu Kejaksaan Agung dan BSF. "Ini
menyenangkan produsen video, sebab semakin banyak tangan semakin
banyak pula lubang yang ada," katanya.
Apalagi, menurut Sugito, antara kedua instansi itu terdapat
"ganjalan" pada pangkal tolak penilaian terhadap video.
Kejaksaan melihatnya sebagai barang cetakan, sebab itu merasa
berhak melakukan sensur. Sementara BSF sesuai dengan kriteria
Unesco menganggap video sebagai barang audio v*ual, sama dengan
film. "Yang paling baik itu hanya satu tangan," katanya.
"Kejaksaan cukup menindak kalau ada penyelundupan atau
pelanggaran."
Anak Tiri
Prosedur sebuah kaset video dari luar negeri sampai ke peredaran
memang berliku. Seorang pengusaha video mengimpor master kopi
dari luar negeri, atau membeli film dalam negeri, Untuk yang
dari luar, setelah melaluipmtu Bea Cukai, pengusaha itu harus
membuat dua kopi untuk Kejaksaan Agung. Di Kejaksaan Agung kopi
itu diperiksa apakah "bertentangan atau tidak dengan Pancasila
dan UUD 45".
Lolos dari Kejaksaan Agung, kaset video itu dikirimkan ke BSF.
"Setiap bulan BSF menerima 150 judul dari Kejaksaan Agung," ujar
Kadiono, Sekretaris BSF. Di instansi itu, kopi kaset video harus
antre dulu untuk disensur. Setelah melalui gunting sensur, satu
kopi dikembalikan ke Kejaksaan Agung. dan satu kopi tinggal di
BSF. Pengusaha kaset video mengambil kopi dari Kejaksaan Agung,
dan baru bisa memproduksinya setelah mendapat izin produksi dari
Departemen Perindustrian. "Jadi yang dilakukan BSF itu menerima
dari Kejaksaan Agung, menyensurnya, dan mengembalikan kepada
Kejaksaan Agung," ujar Thomas Sugito
Sugito juga menyebutkan, sejak September 1981 ada 1.689 judul
yang diterima BSF dari Kejaksaan Agung. Dari jumlah itu sudah
disensur 1.268 judul, dan 208 judul ditolak. Sisanya masih
tertunda, "masih menunggu rekomendasi dari asosiasi importir
film," ujar Kadiono. Semenjak 1 Januari lalu, BSF menambah lagi
prosedur untuk kaset video itu, yaitu setiap kopi yang akan
disensur harus ada rekomendasi dari asosiasi itu. Kata Kadiono,
rekomendasi tersebut perlu, karena asosiasi film dianggap lebih
memahami masalah peredaran film.
Anehnya jalan yang berliku itu tidak membuat pengusaha video
keberatan. "Kami tidak keberatan dengan adanya dua instansi,"
ujar Soenarto Wirjowidagdo, Ketua Asosiasi Pengusaha Video
Indonesia (Aspevi) yang membawahkan sembilan perusahaan rekaman
video. Ia malah keberatan kalau wewenang itu diserahkan hanya
kepada BSF. "Sebab kami dianaktirikan BSF," ujarnya.
Ketua pengusaha video ini menunjukkan data: betapa banyak kaset
video yang ditolak BSF, "padahal dalam bentuk film sudah
beredar." Dan film itu BSF juga yang menynsur. Soenarto
menunjuk lagi peraturan baru BSE, bahwa semua kaset video harus
melalui rekomendasi asosiasi film, itu cukup aneh. "Kami yang
swasta harus minta rekomendasi pada orang swasta juga," katanya.
Lalu kritik BSF, bahwa kaset video melulu sadisme dan porno,
dinilai Soenarto sebagai "menampar muka BSF sendiri, dan tidak
berdasar." Sebab semua kaset video itu tidak akan beredar kalau
tidak melalui BSF. "BSF mengakui kaset video disensur lebih
ketat dari film, tapi sekarang dikatakan yang beredar porno dan
sadis. Kan aneh," ujarnya.
Pengontrolan kaset video menurut Soenarto sebenarnya lebih
gampang daripada mengontrol film. Sebab, pada sampul setiap
kaset video yang beredar ditulls nama perusahaan dan izin semua
instansi yang menanganinya. "Cukup BSF membeli sebuah saja, yang
dianggapnya menyimpang dari sensur, dan mencocokkannya dengan
arsip yang ada di BSF. Kalau terbukti ada yang disambung
kembali, perusahaannya bisa diskors atau dicabut izinnya," kata
Soenarto. Sebaliknya ia menuduh, jika sebuah film disambung
kembali, BSF tidak bisa membuktikan. "Paling setelah menonton,
BSF memanggil importir film," ujar Soenarto lagi.
Hanya Taktik
Malah Soenarto melihat film lebih merusak. "Sebab film
dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat, sampai diputar di
lapangan, sementara sebuah kaset video harganya Rp 30 ribu. Yang
bergaji Rp 100 ribu saja tidak bisa membeli," katanya. Kalangan
atas yang menonton video dianggap Soenarto lebih mampu menahan .
ekses daripada penonton di bioskop misbar (gerimis bubar.
Kritik yang dilancarkan sekarang ini, dianggap Soenarto hanya
taktik BSF untuk memonopoli semua wewenang perizinan. Sebab itu
pekan ini Soenarto sibuk meminta Komisi I untuk mendengar pula
pendapat para pengusaha video di DPR.
Kejaksaan Agung yang ikut dipersoalkan, tidak banyak komentar.
"Tunggu saja," kata Jaksa Agung Ismail Saleh.
Tapi sementara itu, kaset video dengan film cabul mudah didapat
di pasaran gelap--sekarang juga. Santoso Tossany, anggota DPR
itu, mungkin hanya tak tahu bahwa seorang anak bisa membawa
sesuatu dalam tasnya sepulang dari sekolah atau rumah teman --
dan memasangnya di pesawat video di rumah, sementara orang
tuanya tak ada.
Barang selundupan memang cerita popler untuk banyak negeri. Dan
tiba-tiba soalnya berada di luar perdebatan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini