SUATU malam, laki-laki setengah umur itu muncul di sebuah warung
kecil, di salah satu pojok Ibukota. Sendirian -- dan lebih
banyak termenung. Sesekali ia menulis pada secarik kertas. Lalu
merokok, mereguk bir -dan menulis lagi.
Malam sudah sangat larut, ketika tubuh kerempeng itu
terseok-seok memasuki sebuah gedung tua, membuka lipatan kertas
dari kantung--lantas menuliskannya di sebuah buku:
Selama bampir satu tahun aku melukis hanya dengan alat-alat yang
paling sederhana, yaitu dengan tinta dan kertas. Aku memang
belum mampu membeli alat-alat lukis lainnya, seperti cat minyak
atau cat air. Tapi untunglah sejak aku mulai terjun dalam dunia
senilukis aku telah mengambil satu sikap: dengan alat-alat
berupa apa pun yang ada, aku akan terus melukis. Sebab itulah
selama aku masih bisa melukis, walau dengan alat-alat lukis yang
paling sederhana pun, aku tetap merasa bahagia.
Suatu ketika catatan harian itu leih memperjelas sikapnya
sebagai pelukis:
Aku akhir-akhir ini setiap hari melukis. Setiap bangun tidur
selalu terasa ada dorongan-dorongan yang keras menguasai diriku
untuk melukis. Rasanya tidak tertahan-tahan. Aku sering
mengalami perasaanperasaan semacam ini. Pernah aku coba tahan,
karena ada keperluan lain yang harus kulakukan, tapi akibatnya
seluruh tubuhku jadi pegal dan ngilu. Dari pengalaman semacam
itu aku berusaha untuk mengetahui hal-hal yang menumbuhkan
dorongan-dorongan itu. Aku pikir, apakah ini yang dikatakan kata
hati, di mana aku harus setia padanya lebih dari yang lain.
Untuk mengetahui benar atau tidaknya aku coba turuti
dorongan-dorongan semacam itu. Selain itu aku coba supaya selalu
berada dalam situasi mendengarkan kata hati itu.
Lelaki yang selalu berpakaian sederhana dan ke mana-mana
bersandal jepit itu adalah pelukis Nashar, 54 tahun.
Renungan-renungan mengenai pengalaman dan sikapnya sebagai
pelukis (ditulis 1968-1974) sudah terbit sebagai edisi khusus
majalah Budaya Jaya pada akhir ]976 dengan judul Surat-surat
Malam. Dan sekarang ia sedang merampungkan autobiografinya yang
menurut rencana berjudul Nashar oleh Nashar.
Ikat Pinggang
Hampir setiap hari ia dapat dijumpai di Taman Ismail Marzuki,
Jakarta. Apalagi sejak 23 Februari - 6 Maret ia berpameran di
sana, menampilkan sekitar 60 lukisan acrylic di atas kertas. Di
TIM ia juga dikenal sebagai pengajar di Institut Kesenian
Jakarta jurusan senirupa.
Anggota Dewan Kesenian Jakarta ini - dilantik Kamis pekan lalu
-- sering pula menginap di salah satu ruang di TTM Tapi
"rumah"-nya yang utama adalah Balai Budaya, sebuah gedung tua di
Jalan Gereja Theresia, (Jakarta Pusat) yang biasa dipakai untuk
pameran lukisan atau kegiatan kesenian lainnya. Teman-temannya
sering menyebutnya sebagai "penghuni" Balai Budaya. Di gedung
ini ia tidur di meja tulis atau tiga buah kursi dijejer, atau
selembar tikar tua, atau kertas koran yang digelar di lantai. Ia
memang belum punya rumah.
Seniman bohemian-kah Nashar? Ia berkata: "Seorang seniman tidak
harus hidup bohemian. Saya hidup begini bukan sekarang saja,
melainkan sudah sejak kecil. Saya tak pernah tidur di kasur,
tak pernah dikasih uang jajan, tak pernah menikmati Lebaran.
Ayah saya sangat kejam."
Pelukis ini, anak sulung dari enam bersaudara, lahir dari
keluarga seorang pedagang di Pariaman, Sumatera Barat, pada 3
Oktober 1928. Tapi sejak berusia 8 tahun keluarganya pindah ke
Bandung dan beberapa tahun kemudian boyong ke Jakarta. Mula-mula
ayahnya menghendaki anak sulungnya masuk sekolah dagang, tapi
Nashar malah mogok. Karena itu ia ditugasi menunggu toko di
Kramat.
Tapi Nashar yang masih belasan tahun itu tak betah di toko orang
tuanya. Ia lebih senang menutup toko dan ngeloyor ke mana-mana.
Suatu hari--pada saat-saat terakhir penjajahan Jepang, 1944
--Nashar buru-buru menutup tokonya karena ingin menyaksikan
pameran lukisan Sudjojono di sebuah gedung di Harmoni. Di
sinilah pertama kali ia tertarik pada senilukis. "Padahal ketika
di SD dan sekolah menengah, nilai menggambar saya selalu tiga,"
katanya. Ia lantas mengikuti kursus melukis pada Sudjojono yang
ketika itu sudah terkenal.
"Hampir setiap hari saya belajar melukis, dari pagi hingga
petang," katanya. Setiap kali Nashar menunjukkan hasil kerjanya,
selalu pula Sudjojono menilai lukisan anak remaja itu masih
belum baik-baik juga. "Celakanya setiap kali pulang ke rumah ---
di kawasan Tanah Tinggi di kampung yang disebut Kota Paris
--ayah menyambut dengan cambukan ikat pinggang," tuturnya
mengenang. Habis, saya kan meninggalkan toko begitu saja,"
tambahnya sambil tertawa.
Di zaman revolusi kemerdekaan, orangtuanya pindah ke Yogyakarta.
Di sanalah Nashar bertemu dengan Affandi, dan kepada pelukis
besar itulah ia belajar tanpa menenal waktu. Belakangan ia
tertarik akan kegiatan Sudjojono, gurunya yang pertama, yang
ketika itu mendirikan kelompok Seniman Indonesia Muda (SIM) di
Madiun. Nashar bergabung dengan SIM.
Kini Nashar termasuk salah seorang pelukis terkemuka. Lebih
dikenal dengan sketsa-sketsanya yang lembut, lukisan-lukisan cat
minyaknya sering dinilai sebagai ungkapan "suasana hati yang
puitis". Tapi harga lukisannya relatif tak semahal pelukis lain.
Karya-karyanya tak ada pula yang dipajang di rumah kolektor
lukisan terkenal, melainkan dibeli (dengan harga cukup rendah)
oleh teman-temannya sendiri. Ribuan sketsa-sketsanya, yang
disimpan di rumah seorang kawan kini terancam musnah dimakan
ngengat.
Perkembangan senirupa Indonesia sekarang menurut Nashar: "Secara
horiontal senirupa kita kini lebih berkembang. Di tahun 60-an
orang melukis tak sebanyak sekarang. Tapi secara vertikal
memprihatinkan. Contohnya, para pelukis Gerakan Senirupa Baru
sekarang tinggal dua orang, Hardi dan Dede Eri Supria. Gerakan
mereka tanpa landasan dealisme kuat --hanya mulut saja.
Sementara itu banyak pelukis lebih baru bermunculan. Mereka bisa
melukis denpan enak dan bagus. Saya ingin mencoba seperti mereka
tapi tak bisa. Saya iri."
Menurut Nashar, dia adalah pelukis yang mengandalkan intuisi
ketika melukis -- seperti halnya Oesman Effendi, Affandi.
Artinya dalam melukis ia tidak terikat pada apa pun, tapi
semata-mata pada intuisinya yang muncul pada saat itu.
Mungkin karena itu Hardi salah seorang pelukis muda kelompok
Gerakan Senirupa Baru, melontarkan kritik terhadap pameran
Nashar di TIM minggu lalu. "Saya heran seorang pelukis seperti
Nashar memamerkan lukisan tanpa bingkai. Dengan bingkai, lukisan
bisa tampil lebih utuh," kata Hardi. Tapi, kata Nashar "Bingkai
dan sebagainya itu kan fisik, bukan esensi lukisan. Buat apa?"
Sebagaimana halnya Hardi, pelukis lain seperti Mustika juga
berpendapat, sebaiknya Nashar menunda pameran dua-tiga tahun
lagi agar lebih mengendap dan mantap. Mustika juga menyayangkan
"ambisi" Nashar menjadi pemikir dengan menulis
renungan-renungan. "Coba kalau biasa saja, tampil seperti apa
adanya seperti Affandi, dia akan lebih baik," katanya.
Mendengar kritik itu Nashar tertawa. "Berpikir adalah kesenangan
saya. Itu kan kodrat manusia. Saya ini memang manusia gelisah,
yang tak pernah berhasil menemukan apa yang saya cari, yaitu
misteri dan magi dalam jiwa manusia.
Dalam melukis saya berusaha menampilkan magi itu, tapi saya
sendiri belum menemukan apa yang saya cari tersebut," katanya.
Suka rnembaca biografi tokoh-tokoh seniman besar dunia--dan
mengaku sebagai murid filsuf Gandhi, Krishnamurti, Iqbal,
Alghazali dan pernah berbulanbulan mempelajari tafsir Al Quran
-pada 1973 Nashar memperkenalkan rumusan sikap kreatifnya yang
dikenal dengan Tiga-Non. Non-konsep: ketika akan melukis belum
punya gambaran apa-apa--percaya saja pada arus melukis.
Non-obyek: apa yang akan dilukis belum diketahui, karena tak ada
contoh percaya bahwa arus melukis itu mencari bentuknya sendiri.
Non-teknik: teknik apa yang akan diterapkan tak perlu
disiapkan--percaya bahwa arus melukis itu akan mencari tekniknya
sendiri sesuai dengan intuisi yang berkembang.
Bersamadi
Sejak beberapa tahun ini Nashar hidup seorang diri. Keempat
anaknya mengikuti ibunya. Tapi mereka punya kebanggaan
tersendiri terhadap sang ayah: setiap kali Nashar memamerkan
lukisan, anak-anaknya hadir. Yadi, anak sulungnya yang kini
bergabung dengan Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer, pernah
beberapa bulan belajar di Pesantren Pabelan, Jawa Tengah. Nashar
tak pernah mengarahkan anak-anaknya. "Terserah mau jadi apa, itu
hak mereka," katanya.
Pelukis ceking ini (tinggi 164 cm, berat 50 kg) ke mana-mana
lebih sering berjalan kaki. Tapi tak banyak di antara
teman-temannya yang tahu bahwa ia juga mampu menyembuhkan
beberapa penyakit. Ia pernah dalam waktu tiga bulan menyembuhkan
sakit polio yang diderita anak pelukis Ipe Maaruf. Juga
menyembuhkan penyakit TBC pelukis Darmaji (dari kelompok Sanggar
Bambu) dalam waktu lima minggu. Obatnya, biasanya hanya air
putih saja. "Tapi penyembuhan TBC itu saya pelajari dari Arif
Budiman," katanya.
Suatu saat eseis Arif Budiman diharuskan beristirahat di Puncak:
makan dan tidur teratur, jalanjalan, mengatur napas. Nashar
berkesimpulan, yang penting ialah menggugah kemampuan darah
putih untuk melawan penyakit. "Caranya dengan bersamadi,
mengatur napas, disertai niat yang kuat," katanya.
Selama satu setengah tahun (1963 Nashar mempelajari kebatinan
yang waktu itu banyak tumbuh di pelosok-pelosok Jakarta. "Tapi
mereka kebanyakan cari uang. Yang murni hanya satu-dua, di
antaranya Subud," katanya. Nashar sendiri sekarang sudah jarang
membuka praktek penyembuhan. "Saya sudah jarang menolong orang.
Kemampuan itu sudah banyak berkurang, karena jarang latihan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini