Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Si penghuni gedung tua

Lukisan karya nashar dipamerkan di tim jakarta. di kenal sebagai "penghuni balai budaya". mulai melukis dengan alat-alat sederhana. lukisan yang dipamerkan tidak berbingkai.(tk)

6 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU malam, laki-laki setengah umur itu muncul di sebuah warung kecil, di salah satu pojok Ibukota. Sendirian -- dan lebih banyak termenung. Sesekali ia menulis pada secarik kertas. Lalu merokok, mereguk bir -dan menulis lagi. Malam sudah sangat larut, ketika tubuh kerempeng itu terseok-seok memasuki sebuah gedung tua, membuka lipatan kertas dari kantung--lantas menuliskannya di sebuah buku: Selama bampir satu tahun aku melukis hanya dengan alat-alat yang paling sederhana, yaitu dengan tinta dan kertas. Aku memang belum mampu membeli alat-alat lukis lainnya, seperti cat minyak atau cat air. Tapi untunglah sejak aku mulai terjun dalam dunia senilukis aku telah mengambil satu sikap: dengan alat-alat berupa apa pun yang ada, aku akan terus melukis. Sebab itulah selama aku masih bisa melukis, walau dengan alat-alat lukis yang paling sederhana pun, aku tetap merasa bahagia. Suatu ketika catatan harian itu leih memperjelas sikapnya sebagai pelukis: Aku akhir-akhir ini setiap hari melukis. Setiap bangun tidur selalu terasa ada dorongan-dorongan yang keras menguasai diriku untuk melukis. Rasanya tidak tertahan-tahan. Aku sering mengalami perasaanperasaan semacam ini. Pernah aku coba tahan, karena ada keperluan lain yang harus kulakukan, tapi akibatnya seluruh tubuhku jadi pegal dan ngilu. Dari pengalaman semacam itu aku berusaha untuk mengetahui hal-hal yang menumbuhkan dorongan-dorongan itu. Aku pikir, apakah ini yang dikatakan kata hati, di mana aku harus setia padanya lebih dari yang lain. Untuk mengetahui benar atau tidaknya aku coba turuti dorongan-dorongan semacam itu. Selain itu aku coba supaya selalu berada dalam situasi mendengarkan kata hati itu. Lelaki yang selalu berpakaian sederhana dan ke mana-mana bersandal jepit itu adalah pelukis Nashar, 54 tahun. Renungan-renungan mengenai pengalaman dan sikapnya sebagai pelukis (ditulis 1968-1974) sudah terbit sebagai edisi khusus majalah Budaya Jaya pada akhir ]976 dengan judul Surat-surat Malam. Dan sekarang ia sedang merampungkan autobiografinya yang menurut rencana berjudul Nashar oleh Nashar. Ikat Pinggang Hampir setiap hari ia dapat dijumpai di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Apalagi sejak 23 Februari - 6 Maret ia berpameran di sana, menampilkan sekitar 60 lukisan acrylic di atas kertas. Di TIM ia juga dikenal sebagai pengajar di Institut Kesenian Jakarta jurusan senirupa. Anggota Dewan Kesenian Jakarta ini - dilantik Kamis pekan lalu -- sering pula menginap di salah satu ruang di TTM Tapi "rumah"-nya yang utama adalah Balai Budaya, sebuah gedung tua di Jalan Gereja Theresia, (Jakarta Pusat) yang biasa dipakai untuk pameran lukisan atau kegiatan kesenian lainnya. Teman-temannya sering menyebutnya sebagai "penghuni" Balai Budaya. Di gedung ini ia tidur di meja tulis atau tiga buah kursi dijejer, atau selembar tikar tua, atau kertas koran yang digelar di lantai. Ia memang belum punya rumah. Seniman bohemian-kah Nashar? Ia berkata: "Seorang seniman tidak harus hidup bohemian. Saya hidup begini bukan sekarang saja, melainkan sudah sejak kecil. Saya tak pernah tidur di kasur, tak pernah dikasih uang jajan, tak pernah menikmati Lebaran. Ayah saya sangat kejam." Pelukis ini, anak sulung dari enam bersaudara, lahir dari keluarga seorang pedagang di Pariaman, Sumatera Barat, pada 3 Oktober 1928. Tapi sejak berusia 8 tahun keluarganya pindah ke Bandung dan beberapa tahun kemudian boyong ke Jakarta. Mula-mula ayahnya menghendaki anak sulungnya masuk sekolah dagang, tapi Nashar malah mogok. Karena itu ia ditugasi menunggu toko di Kramat. Tapi Nashar yang masih belasan tahun itu tak betah di toko orang tuanya. Ia lebih senang menutup toko dan ngeloyor ke mana-mana. Suatu hari--pada saat-saat terakhir penjajahan Jepang, 1944 --Nashar buru-buru menutup tokonya karena ingin menyaksikan pameran lukisan Sudjojono di sebuah gedung di Harmoni. Di sinilah pertama kali ia tertarik pada senilukis. "Padahal ketika di SD dan sekolah menengah, nilai menggambar saya selalu tiga," katanya. Ia lantas mengikuti kursus melukis pada Sudjojono yang ketika itu sudah terkenal. "Hampir setiap hari saya belajar melukis, dari pagi hingga petang," katanya. Setiap kali Nashar menunjukkan hasil kerjanya, selalu pula Sudjojono menilai lukisan anak remaja itu masih belum baik-baik juga. "Celakanya setiap kali pulang ke rumah --- di kawasan Tanah Tinggi di kampung yang disebut Kota Paris --ayah menyambut dengan cambukan ikat pinggang," tuturnya mengenang. Habis, saya kan meninggalkan toko begitu saja," tambahnya sambil tertawa. Di zaman revolusi kemerdekaan, orangtuanya pindah ke Yogyakarta. Di sanalah Nashar bertemu dengan Affandi, dan kepada pelukis besar itulah ia belajar tanpa menenal waktu. Belakangan ia tertarik akan kegiatan Sudjojono, gurunya yang pertama, yang ketika itu mendirikan kelompok Seniman Indonesia Muda (SIM) di Madiun. Nashar bergabung dengan SIM. Kini Nashar termasuk salah seorang pelukis terkemuka. Lebih dikenal dengan sketsa-sketsanya yang lembut, lukisan-lukisan cat minyaknya sering dinilai sebagai ungkapan "suasana hati yang puitis". Tapi harga lukisannya relatif tak semahal pelukis lain. Karya-karyanya tak ada pula yang dipajang di rumah kolektor lukisan terkenal, melainkan dibeli (dengan harga cukup rendah) oleh teman-temannya sendiri. Ribuan sketsa-sketsanya, yang disimpan di rumah seorang kawan kini terancam musnah dimakan ngengat. Perkembangan senirupa Indonesia sekarang menurut Nashar: "Secara horiontal senirupa kita kini lebih berkembang. Di tahun 60-an orang melukis tak sebanyak sekarang. Tapi secara vertikal memprihatinkan. Contohnya, para pelukis Gerakan Senirupa Baru sekarang tinggal dua orang, Hardi dan Dede Eri Supria. Gerakan mereka tanpa landasan dealisme kuat --hanya mulut saja. Sementara itu banyak pelukis lebih baru bermunculan. Mereka bisa melukis denpan enak dan bagus. Saya ingin mencoba seperti mereka tapi tak bisa. Saya iri." Menurut Nashar, dia adalah pelukis yang mengandalkan intuisi ketika melukis -- seperti halnya Oesman Effendi, Affandi. Artinya dalam melukis ia tidak terikat pada apa pun, tapi semata-mata pada intuisinya yang muncul pada saat itu. Mungkin karena itu Hardi salah seorang pelukis muda kelompok Gerakan Senirupa Baru, melontarkan kritik terhadap pameran Nashar di TIM minggu lalu. "Saya heran seorang pelukis seperti Nashar memamerkan lukisan tanpa bingkai. Dengan bingkai, lukisan bisa tampil lebih utuh," kata Hardi. Tapi, kata Nashar "Bingkai dan sebagainya itu kan fisik, bukan esensi lukisan. Buat apa?" Sebagaimana halnya Hardi, pelukis lain seperti Mustika juga berpendapat, sebaiknya Nashar menunda pameran dua-tiga tahun lagi agar lebih mengendap dan mantap. Mustika juga menyayangkan "ambisi" Nashar menjadi pemikir dengan menulis renungan-renungan. "Coba kalau biasa saja, tampil seperti apa adanya seperti Affandi, dia akan lebih baik," katanya. Mendengar kritik itu Nashar tertawa. "Berpikir adalah kesenangan saya. Itu kan kodrat manusia. Saya ini memang manusia gelisah, yang tak pernah berhasil menemukan apa yang saya cari, yaitu misteri dan magi dalam jiwa manusia. Dalam melukis saya berusaha menampilkan magi itu, tapi saya sendiri belum menemukan apa yang saya cari tersebut," katanya. Suka rnembaca biografi tokoh-tokoh seniman besar dunia--dan mengaku sebagai murid filsuf Gandhi, Krishnamurti, Iqbal, Alghazali dan pernah berbulanbulan mempelajari tafsir Al Quran -pada 1973 Nashar memperkenalkan rumusan sikap kreatifnya yang dikenal dengan Tiga-Non. Non-konsep: ketika akan melukis belum punya gambaran apa-apa--percaya saja pada arus melukis. Non-obyek: apa yang akan dilukis belum diketahui, karena tak ada contoh percaya bahwa arus melukis itu mencari bentuknya sendiri. Non-teknik: teknik apa yang akan diterapkan tak perlu disiapkan--percaya bahwa arus melukis itu akan mencari tekniknya sendiri sesuai dengan intuisi yang berkembang. Bersamadi Sejak beberapa tahun ini Nashar hidup seorang diri. Keempat anaknya mengikuti ibunya. Tapi mereka punya kebanggaan tersendiri terhadap sang ayah: setiap kali Nashar memamerkan lukisan, anak-anaknya hadir. Yadi, anak sulungnya yang kini bergabung dengan Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer, pernah beberapa bulan belajar di Pesantren Pabelan, Jawa Tengah. Nashar tak pernah mengarahkan anak-anaknya. "Terserah mau jadi apa, itu hak mereka," katanya. Pelukis ceking ini (tinggi 164 cm, berat 50 kg) ke mana-mana lebih sering berjalan kaki. Tapi tak banyak di antara teman-temannya yang tahu bahwa ia juga mampu menyembuhkan beberapa penyakit. Ia pernah dalam waktu tiga bulan menyembuhkan sakit polio yang diderita anak pelukis Ipe Maaruf. Juga menyembuhkan penyakit TBC pelukis Darmaji (dari kelompok Sanggar Bambu) dalam waktu lima minggu. Obatnya, biasanya hanya air putih saja. "Tapi penyembuhan TBC itu saya pelajari dari Arif Budiman," katanya. Suatu saat eseis Arif Budiman diharuskan beristirahat di Puncak: makan dan tidur teratur, jalanjalan, mengatur napas. Nashar berkesimpulan, yang penting ialah menggugah kemampuan darah putih untuk melawan penyakit. "Caranya dengan bersamadi, mengatur napas, disertai niat yang kuat," katanya. Selama satu setengah tahun (1963 Nashar mempelajari kebatinan yang waktu itu banyak tumbuh di pelosok-pelosok Jakarta. "Tapi mereka kebanyakan cari uang. Yang murni hanya satu-dua, di antaranya Subud," katanya. Nashar sendiri sekarang sudah jarang membuka praktek penyembuhan. "Saya sudah jarang menolong orang. Kemampuan itu sudah banyak berkurang, karena jarang latihan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus