Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUNIA akan menggelar konferensi iklim (COP 29) di Baku, Azerbaijan, pada 11-12 November 2024. Ini sekaligus menjadi konferensi negara peserta pertama bagi pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk menunjukkan seberapa ambisius aksi iklim Indonesia kali ini di kancah internasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertanyaan kemudian muncul: apakah pemerintahan baru ini hanya melanjutkan komitmen iklim Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo? Adakah gebrakan baru yang lebih ambisius untuk mengejar target penurunan emisi dan adaptasi sesuai dengan kesepakatan konferensi?
Kerangka Aksi Menuju COP 29
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu melihat lagi keputusan COP 28 di Dubai, Uni Emirat Arab, tahun lalu, dan kerangka aksi Presidensi COP 29.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu poin penting dari COP 28 adalah perjanjian yang mensinyalkan “beginning of the end” atau awal dari babak akhir era bahan bakar fosil. Kesepakatan ini mengisyaratkan negara-negara di seluruh dunia wajib mengakhiri ketergantungan terhadap bahan bakar fosil sebagai sumber energi.
Ini penting agar negara-negara dapat memangkas emisi karbon sebesar 43 persen pada 2030 dibanding jumlah emisi pada 2019 sebagai patokan. Namun, alih-alih berkurang, emisi Indonesia kemungkinan besar akan terus meningkat karena penggunaan batu bara yang masih dominan pada pembangkit listrik.
Menurut data Dewan Energi Nasional, bauran energi nasional 2023 masih didominasi oleh batu bara, yaitu sebesar 40,46 persen; diikuti oleh minyak bumi (30,18 persen); gas bumi (16,28 persen); dan energi baru terbarukan (13,09 persen). Batu bara juga masih mendominasi pasokan bahan bakar untuk pembangkit listrik, yaitu sebesar 67 persen
Menuju COP 29, Presidensi Azerbaijan menyiapkan tiga kerangka aksi yang perlu diperhatikan oleh negara-negara anggota. Pertama, prioritas utama yang tidak bisa ditawar lagi, yakni mencegah pemanasan bumi tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius pada 2030 dengan mengurangi emisi secara mendalam, cepat, dan berkelanjutan.
Kedua, rencana Presidensi COP 29 didasarkan pada dua pilar paralel, yaitu peningkatan ambisi iklim dan mewujudkannya menjadi aksi nyata dalam pengurangan emisi, adaptasi iklim, serta kompensasi kerugian dan kerusakan loss and damage.
Ketiga, Presidensi COP 29 juga berupaya memastikan konferensi yang inklusif—melibatkan sebanyak-banyaknya pemangku kepentingan internasional dan mendengarkan semua suara serta aspirasi.
Presiden Prabowo Subianto memberikan keterangan pers menjelang kunjungan ke luar negeri, di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, 8 November 2024. TEMPO/Subekti
Visi Prabowo dan Komitmen Iklim Indonesia
Pemerintahan Prabowo-Gibran idealnya membuat kebijakan yang berkaca pada hasil kesepakatan COP 28 dan kerangka COP 29. Harapannya, posisi Indonesia dapat makin relevan dalam proses negosiasi iklim di Azerbaijan dan selanjutnya.
Komitmen iklim pemerintahan Prabowo-Gibran tecermin dari misi Asta Cita yang digembar-gemborkan ketika kampanye. Setidaknya Asta Cita menjadi gambaran umum seperti apa arah kebijakan iklim pemerintahan Prabowo-Gibran.
Dokumen itu menyebutkan secara jelas bahwa perubahan iklim adalah salah satu dari delapan tantangan strategis bangsa Indonesia. Nah, Prabowo-Gibran seharusnya menjawab tantangan strategis tersebut dengan program prioritas atau program hasil cepat terbaik.
Sayangnya, tidak seperti program makan siang gratis, program ihwal penanganan perubahan iklim tidak masuk delapan program hasil cepat terbaik. Selain itu, Prabowo tidak memiliki misi spesifik untuk perubahan iklim. Dalam misi kedua, misalnya, dokumen tersebut menyinggung ekonomi hijau dan ekonomi biru yang disandingkan dengan misi sistem pertahanan keamanan.
Dalam misi kedelapan, Prabowo juga menyebutkan penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan. Namun lagi-lagi misi ini harus berbagi dengan isu budaya dan toleransi.
Sedikit Harapan
Secercah harapan perihal ambisi pengurangan emisi dapat ditemukan pada salah satu dari 17 program prioritas. Dalam program bernomor 11, Prabowo-Gibran menjanjikan percepatan target net zero emission alias nol emisi gas rumah kaca.
Tentunya ini angin segar apabila pemerintahan Prabowo-Gibran berani meningkatkan target net zero pada 2050, bukan 2060 atau lebih cepat seperti yang tercantum dalam NDC Indonesia pada 2022.
Selain itu, pemerintahan Prabowo-Gibran berkomitmen mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil dan mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Syaratnya, langkah tersebut harus didasarkan pada asas keadilan dan keberimbangan.
Pekerja berkomunikasi dengan operator alat berat pada proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Adaptasi Masih Sepi
Adaptasi perubahan iklim menjadi isu yang masih absen dalam dokumen visi-misi Prabowo-Gibran. Dokumen itu tidak menyebutkan secara eksplisit tentang adaptasi.
Padahal isu ini juga krusial. Sebab, ratusan pulau Indonesia berisiko tenggelam akibat perubahan iklim. Ini belum termasuk ancaman kebakaran hutan dan lahan, banjir, krisis air, serta krisis pangan karena suhu yang memanas.
Selain berfokus pada upaya pengurangan emisi, pemerintah perlu memberikan perhatian pada aksi adaptasi. Tujuannya untuk membantu masyarakat rentan menghadapi dampak negatif iklim yang sudah dirasakan saat ini.
Menurut hasil COP 26 di Glasgow, Skotlandia, negara-negara anggota didorong untuk menyeimbangkan aksi mitigasi dan adaptasi menjadi 50 : 50, termasuk untuk pendanaannya.
Namun Indonesia masih memiliki kecenderungan untuk menitikberatkan alokasi anggaran bagi mitigasi. Menurut laporan dari Badan Kebijakan Fiskal pada 2023, komposisi anggaran 2019 dan 2020 paling banyak untuk mitigasi, yaitu sebesar Rp 54,35 triliun dan Rp 41,65 triliun. Sedangkan untuk adaptasi hanya Rp 39,2 triliun dan Rp 33,3 triliun.
Pada 2021, komposisi alokasi anggaran adaptasi meningkat drastis dibanding mitigasi, yaitu Rp 94,01 triliun untuk adaptasi dan Rp 12,34 triliun untuk mitigasi. Peningkatan signifikan ini berasal dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang mengalokasikan Rp 88,4 triliun untuk adaptasi pada 2021.
Peningkatan signifikan terjadi karena adanya perubahan penandaan anggaran. Pendanaan untuk preservasi dan konstruksi jalan serta jembatan, yang semula ditandai sebagai aksi mitigasi, diubah menjadi aksi adaptasi pada 2021. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada penambahan anggaran secara signifikan untuk peningkatan kapasitas adaptasi masyarakat rentan.
Langkah Aksi Menuju COP 29
Pemerintahan baru Prabowo-Gibran perlu mematok target iklim Indonesia yang lebih ambisius, misalnya target untuk net zero emission pada 2050 atau bahkan lebih cepat.
Pemerintah juga perlu memasukkan program pengakhiran PLTU dalam komitmen terbaru. Harapannya, program ini dapat diawasi bukan hanya oleh pemangku kepentingan di level nasional, melainkan juga internasional.
Prabowo juga perlu meningkatkan ambisi untuk memperkuat ketahanan menghadapi perubahan iklim dalam komitmen terbaru. Pemerintah perlu menyadari bahwa adaptasi sama pentingnya dengan mitigasi perubahan iklim.
Untuk mencapai COP 29 yang lebih inklusif, Prabowo perlu menggali sebanyak-banyaknya aspirasi dari pemangku kepentingan di level nasional dan lokal. Ini termasuk dari aktivis lingkungan dan kelompok rentan, seperti petani, perempuan, anak muda, masyarakat adat, serta masyarakat miskin. Sembari berpartisipasi dan mengumumkan janji-janji dalam COP, pemerintah perlu mendengarkan sekaligus menjamin keamanan mereka ketika menyampaikan aspirasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini tayang pertama kali di The Conversation.