Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menganggap pengajuan penundaan European Union Deforestation Regulation (EUDR) selama 12 bulan tidak akan memperbaiki tata kelola komoditas di Indonesia. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, mengatakan rencana baru tersebut tidak menimbulkan dorongan terhadap Pemerintah Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tidak ada jaminan (pemerintah) memperbaiki semua tata kelola di (negara) kita," kata Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, dalam sebuah diskusi di Jakarta Selatan, Senin, 7 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Uni Eropa mengajukan penundaan kebijakan EUDR yang mulanya akan diterapkan pada 30 Desember 2024. Regulasi anti-deforestasi itu berhubungan dengan perdagangan komoditas legal yang ditujukan untuk meminimalisir deforestasi.
Menurut Uli, penegakan hukum terhadap korporasi yang merugikan lingkungan di Indonesia masih minim. Alih-alih semakin tegas, regulator justru memberi kelonggaran, misalnya berupa kebijakan pemutihan lahan perusahaan kelapa sawit. Padahal, kata dia, EUDR seharusnya menjadi momentum perbaikan tata kelola komoditas Indonesia.
"Tidak mungkin kita ngomong bebas deforestasi, (sedangkan) di satu sisi wilayah masyarakat adat selalu,” kata Uli.
Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia yang terdiri dari 45 organisasi di bidang lingkungan juga mendesak pemerintah untuk memperbaiki tata kelola komoditas. Pemerintah Indonesia yang memiliki berbagai komitmen internasional ihwal lingkungan juga dianggap tak seharusnya ikut mengajukan penundaan EUDR.
"Penolakan pemerintah Indonesia terhadap pemberlakuan EUDR itu tidak relevan dengan semangat perbaikan tata kelola komoditas apapun," ucapnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, sebelumnya mengungkapkan sejumlah kekhawatiran mengenai EUDE, salah satunya soal pemintaan geo-location. Uni Eropa tetap meminta informasi geo-location yang merinci meski Indonesia sudah menawarkan dashboard nasional untuk mengecek komoditas.
“Kalau negara kita diakses secara koordinat oleh orang luar, ini masalah keamanan,” ujar Airlangga, dikutip dari Antara pada 3 Oktober lalu. Menurut dia, Uni Eropa juga masih keberatan dengan pola tata kelola komoditas yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia.
Ada juga kekhawatiran soal standardisasi. Sejauh ini, EUDR tidak mau mengakui standar lain. Padahal, Indonesia memiliki standar keberlanjutan yang disebut Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Standar ini mirip Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) di Malaysia, atau Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) di kawasan Tetapi, EUDR tidak mau mengakui standar lain.
Pilihan Editor: Spesifikasi Fadi-1, Rudal yang Ditembakkan Hizbullah ke Pangkalan Militer Haifa Israel