Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Greenpeace Anggap RDF Rorotan Solusi Palsu, Kritik Penggunaan Deodorizer

Proses RDF Plant Rorotan dianggap menghasilkan polusi udara yang semakin memperburuk kondisi lingkungan dan kesehatan masyarakat.

25 Maret 2025 | 06.11 WIB

Operator eskavator memindahkan sampah ke mesin pengolahan sampah di Refuse Derived Fuel (RDF) Plant Rorotan, Jakarta, 25 Februari 2025. RDF Plant Rorotan yang dibangun dengan biaya Rp1,28 triliun tersebut diproyeksikan mampu mengolah sampah sebanyak 2.500 ton per hari dikonversi menjadi bahan bakar alternatif sehingga mengurangi beban TPST Bantar Gebang. Antara/Sulthony Hasanuddin
Perbesar
Operator eskavator memindahkan sampah ke mesin pengolahan sampah di Refuse Derived Fuel (RDF) Plant Rorotan, Jakarta, 25 Februari 2025. RDF Plant Rorotan yang dibangun dengan biaya Rp1,28 triliun tersebut diproyeksikan mampu mengolah sampah sebanyak 2.500 ton per hari dikonversi menjadi bahan bakar alternatif sehingga mengurangi beban TPST Bantar Gebang. Antara/Sulthony Hasanuddin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Greenpeace Indonesia mengkritik operasional Refuse Derived Fuel atau RDF Plant oleh Pemerintah Jakarta di Rorotan, Jakarta Utara. Fasilitas tersebut tetap berjalan walau belum ada solusi menghilangkan bau menyengat yang mengganggu masyarakat sekitar dan menimbulkan Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Selain tidak menyelesaikan akar masalah, proses RDF juga menghasilkan polusi udara yang signifikan, yang semakin memperburuk kondisi lingkungan dan kesehatan masyarakat,” kata Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak dalam keterangan tertulisnya, dikutip pada Senin, 24 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Menurut Greenpeace, pemerintah harus fokus pada solusi pengolahan sampah berbasis pemilahan dari sumbernya dan sesuai hierarki pengelolaan sampah. RDF yang menghasilkan bahan bakar alternatif, kata Leonard, bukan jalan keluar instan untuk pengelolaan sampah di Jakarta.

Leonard mengatakan, teknologi RDF di Bantargebang hanya mampu mengolah 1.500 hingga 2.000 ton sampah per hari. Sedangkan limpahan sampah yang diterima mencapai 7.500 sampai 8.000 ton per hari.

Selain itu, dia menambahkan, riset dari International Pollutants Elimination Network mengungkap pengolahan sampah melalui RDF rata-rata mengandung hingga 50 persen limbah plastik campuran, yang tergolong limbah berbahaya. Saat dibakar, sebagai bahan bakar alternatif, justru tindakan itu menyebabkan pencemaran udara karena plastik dapat melepaskan zat berbahaya ke udara.

Juru Kampanye Isu Plastik dan Perkotaan Greenpeace Indonesia Ibar Akbar menilai, pemerintah selalu mengandalkan teknologi mahal tanpa fokus pada pengurangan sampah dari sumbernya. “Ini bukan solusi yang nyata dan justru memperburuk dampak lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat,” ujarnya.

Tempat Pengolahan Sampah Terpadu di Rorotan, Jakarta Utara, yang akan beroperasi sebagai RDF Plant. Dok. DLH Jakarta

Greenpeace meminta pemerintah untuk mampu beralih ke solusi yang lebih berkelanjutan, dari pengelolaan sampah berbasis pemilahan hingga penerapan ketat penggunaan kemasan plastik sekali pakai. Menurut Ibar, penanggulangan sampah di hilir tidak akan berdampak signifikan apabila rantai sumber pencemaran atau di hulu tidak diputus lebih dulu.

“Pemerintah harus serius dalam menerapkan regulasi pengurangan plastik sekali pakai, termasuk insentif untuk sistem guna ulang (reuse) sebagai langkah serius untuk mengurangi dampak limbah plastik,” tutur Ibar. 

Menurut Greenpeace, penggunaan deodorizer dan filter pada RDF hanya mengurangi bau sampah tanpa penanganan yang signifikan terhadap polusi udara yang dihasilkan. Masyarakat sekitar dicemaskannya malah akan mengalami gangguan kesehatan yang lebih buruk, tidak hanya ISPA atau iritasi mata, namun juga pada kulit.

Organisasi lingkungan itu menilai masalah utama dari bau menyengat di RDF Plant Rorotan adalah sampah yang tidak terpilah dan dalam kondisi kotor. Proyek RDF juga kurang transparan, tidak melibatkan partisipasi masyarakat, dan tanpa kajian mendalam hingga mengorbankan warga.

Sebelumnya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Asep Kuswanto mengatakan, 800 ton sampah lama di bunker RDF Plant Rorotan akan dipindah ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Kota Bekasi. Pengosongan itu diharapkan bisa mengurangi bau dari fasilitas RDF.

Asep mengatakan pola operasi optimal RDF Plant Rorotan yang sebelumnya diklaim karena menggunakan teknologi maju juga masih dicari. “Kami akan memastikan sistem deodorizer pada timbunan sampah di bunker telah beroperasi optimal sepanjang waktu,” tutur Asep, Kamis, 20 Maret 2025.

Oyuk Ivani Siagian berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

M. Faiz Zaki

Menjadi wartawan di Tempo sejak 2022. Lulus dari Program Studi Antropologi Universitas Airlangga Surabaya. Biasa meliput isu hukum dan kriminal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus