Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Pabrik Biomassa: Penyebab Deforestasi Hutan Alam Gorontalo

Pabrik biomassa berpotensi membabat 693.795 hektare hutan Gorontalo. Bahan baku pelet kayu untuk ekspor itu dari deforestasi.

8 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAPAL kargo Lakas milik perusahaan Filipina, Sealynx Shipmanagement Inc, akhirnya bisa kembali berlayar menuju perairan Laut Cina Selatan pada Sabtu, 24 Agustus 2024. Kapal buatan tahun 2015 yang mengangkut di antaranya 10.545 ton biomassa jenis pelet kayu itu sempat ditangkap oleh kapal patroli Badan Keamanan Laut (Bakamla) Republik Indonesia, Kapal Negara (KN) Gajah Laut 404, pada dinihari 16 Agustus 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KN Gajah Laut 404 yang dikomandani Letnan Kolonel Agus Tri Haryanto menghentikan kapal Lakas karena bergelagat mencurigakan. Kapal itu berlayar di perairan Teluk Tomini, Gorontalo, tanpa mengibarkan bendera Indonesia. Saat pemeriksaan, kapal yang bertujuan akhir Pelabuhan Fushiki, Jepang, itu tidak dilengkapi surat keterangan asal, surat pernyataan pengiriman, dan hasil pengujian kualitas produk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Berdasarkan laporan Forest Watch Indonesia, kami bersama Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Sulawesi Seksi Wilayah III Manado melakukan pemeriksaan dan penangkapan terhadap kapal Lakas,” kata pejabat Hubungan Masyarakat Bakamla yang enggan namanya ditulis kepada Tempo pada Jumat, 23 Agustus 2024. 

Kapal kargo umum yang dibuat oleh Shin Kurushima Dockyard Co Ltd itu lantas dikandangkan di Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Bakamla menyebutkan kapal Lakas kemudian dilepas setelah nakhoda dan agen kapal dapat menunjukkan tiga dokumen yang dimaksud. Mereka memaparkan bahwa pelet kayu yang hendak diekspor telah mendapat izin berlayar dari syahbandar Pelabuhan Gorontalo, balai karantina, bea-cukai, kepabeanan, dan imigrasi.

Bakamla tidak menemukan pelanggaran hukum yang dilakukan kapal Lakas, sehingga diperbolehkan kembali berlayar. Pejabat Bakamla itu menjelaskan, mereka hanya memberikan peringatan untuk nakhoda agar di kemudian hari membawa dokumen ketika berlayar. “Kami juga sudah memeriksa muatan dan dokumen wood pellet.”

Burhanuddin, Direktur Operasional PT Biomassa Jaya Abadi (PT BJA)—perusahaan yang memproduksi pelet kayu yang dibawa kapal Lakas—mengatakan perusahaannya bukan sekali ini mengekspor pelet kayu. Ia menjelaskan, sejak November 2022 hingga terakhir Agustus 2024, ada 21 kali ekspor pelet kayu. “Artinya secara prosedural selama ini oke. Kalau sudah berlayar pasti punya surat persetujuan untuk berlayar. Izin tidak akan terbit kalau (dokumen) belum lengkap,” ujar Burhanuddin, yang menemui Tempo di Jakarta, Rabu, 28 Agustus 2024.

Berdasarkan pemantauan di situs web VesselFinder, kapal Lakas sudah tiba di Pelabuhan Fushiki pada 2 September 2024. Kapal bertonase kotor 9.926 ton dan memiliki panjang keseluruhan 119,930 meter itu kemudian berangkat dari Pelabuhan Fushiki pada 4 September 2024 menuju Pelabuhan Dalian, Cina, yang diperkirakan tiba pada 8 September 2024.

Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putra Prayoga menceritakan bahwa PT BJA merupakan perusahaan yang memproduksi pelet kayu untuk pasar luar negeri. “Perusahaan ini tercatat di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai satu-satunya eksportir pelet kayu (wood pellet) di Provinsi Gorontalo,” kata Anggi. 

Untuk memproduksi pelet kayu, PT BJA menerima pasokan kayu dari PT Inti Global Laksana (PT IGL) yang memegang izin hutan tanaman energi (HTE) seluas 11.680 hektare dan PT Banyan Tumbuh Lestari (PT BTL) dengan area konsesi HTE seluas 15.493 hektare. Wilayah konsesi keduanya berdampingan dengan pabrik milik PT BJA. “Hasil investigasi kami menemukan perusahaan-perusahaan itu memanfaatkan kayu hasil penebangan hutan alam yang bukan berasal dari kegiatan rehabilitasi,” ujarnya.

Area konservasi di dalam konsesi hutan tanaman energi PT Banyan Tumbuh Lestari di Kabupaten Pahuwato, Gorontalo. (Dok. Burhanuddin Direktur Operasional PT BJA)

Pemanfaatan hutan alam ini menjadi masalah karena perusahaan bioenergi tersebut merupakan bagian dari rencana pemerintah mengurangi emisi gas rumah kaca. Caranya, pemerintah mendorong produksi bahan bakar terbarukan berbasis kayu sebagai sumber energi alternatif menggantikan batu bara. Ini merupakan bagian dari target mengurangi emisi sesuai dengan Nationally Determined Contribution atau NDC, yakni emisi nol bersih pada 2060. 

Kenyataannya, menurut Anggi, pemberian izin konsesi bioenergi di Gorontalo itu justru berpotensi menimbulkan deforestasi 693.795 hektare hutan alam yang tersisa di provinsi tersebut. Apalagi pemberian konsesi justru difokuskan membabat rimba. Semestinya industri bioenergi dibangun berbasis kayu tanaman yang tak merusak lingkungan. “Masalahnya, 65 persen area konsesi PT BTL dan PT IGL berupa hutan alam yang terancam digunduli untuk produksi pelet kayu,” tutur Anggi. 

Direktur Kehutanan Yayasan Auriga Nusantara Supintri Yohar menjelaskan, sejak beroperasi pada 2020-2023, PT BTL dan PT IGL disinyalir telah membabat 972 hektare hutan alam di area konsesinya. Hal ini belum ditambah penggundulan hutan seluas 270 hektare dalam rentang Januari-Mei 2024. “Sampai saat ini pembabatan hutan alam dimungkinkan bertambah karena perusahaan terus berproduksi pelet kayu,” ucap Supintri. 

Pembukaan hutan alam itu dilihat secara langsung oleh Supintri ketika ia berkunjung ke Gorontalo beberapa bulan lalu. Kata dia, 100 persen pelet kayu yang diproduksi PT BJA berasal dari tumpukan kayu alam seperti meranti dan berbagai jenis lain dari wilayah konsesi PT BTL dan PT IGL. Adapun pohon hutan tanaman energi yang disiapkan perusahaan adalah gamal, tapi masih dalam tahap pembibitan dan belum bisa dipanen. 

Temuan itu berbanding terbalik dengan komitmen PT BJA yang menggaungkan sumber energi terbarukan untuk mengurangi emisi karbon dan mendorong bisnis keberlanjutan. Dalam situs resmi mereka, perusahaan yang berkantor di Kelapa Lima, Popayato Timur, Kabupaten Pohuwato, itu berjanji menggunakan lahan secara bertanggung jawab dengan memanfaatkan area yang telah ditentukan. 

Supintri menyebutkan PT BJA menjadi salah satu perusahaan biomassa paling produktif memproduksi wood pellet. Pada tahun lalu, mereka melaporkan telah menggunakan 93.976 meter kubik kayu bulat hasil penebangan hutan alam yang disulap menjadi pelet kayu. Sepanjang 2023, perusahaan memproduksi 83.041 ton pelet kayu dari target 100 ribu ton per tahun. Menurut Supintri, sepenuhnya hasil produksi PT BJA diekspor ke Jepang dan Korea Selatan. 

Pada 2024, perusahaan menargetkan akan memproduksi 320 ribu ton pelet kayu per tahun. Target tersebut dimungkinkan tercapai mengingat hingga Agustus 2024 PT BJA berhasil mengekspor 67 ribu ton. Kata Supintri, rencana tersebut sangat realistis lantaran perusahaan memiliki kapasitas industri 900 ribu ton per tahun. “Ekspor terakhir mereka pada pertengahan Agustus lalu sebesar 10,5 ribu ton pelet kayu dengan nilai mencapai Rp 176 miliar.”

Menurut hitungan Supintri, selama ini PT BJA sudah mengekspor seratusan ribu ton pelet kayu ke Jepang yang dikirim ke Hanwa Co Ltd, yang merupakan salah satu pemegang saham di PT BJA.

Burhanuddin membenarkan ihwal ekspor PT BJA ke Jepang dan Korea Selatan. Ia memperlihatkan selembar kertas berisi data dokumen V-Legal dan pemberitahuan ekspor barang (PEB) atas 21 kali pengiriman pelet kayu tersebut. Dokumen V-Legal adalah bukti penjaminan legalitas kayu atau produk kayu dengan tujuan ekspor. Pengiriman ke-21 pada 14 Agustus 2024, misalnya, memiliki dokumen V-Legal nomor 24.01984-00290.014-ID-JP dan PEB nomor 600112 dengan jumlah 10.545.805 kilogram senilai US$ 1.413.137,87.

Ihwal penebangan hutan alam seperti yang dituduhkan FWI dan Auriga, Burhanuddin menyebut hal itu sebagai perbedaan pemahaman. Ia tidak ingin memakai istilah hutan karena konsesi HTE PT IGL dan PT BTL sudah menjadi hak guna usaha. “HTE ini bisnis masa depan. Nanti semua bahan baku pelet kayu dipasok dari tanaman gamal. Tapi, untuk mencapai itu, kita harus bangun kebun dulu, harus membersihkan lahan,” tuturnya. 

“Apakah pemanfaatan tanaman alam sebelumnya itu bertentangan dengan prinsip energi terbarukan dan keberlanjutan yang diusung PT BJA selama ini, itu kita harus melihat dari sudut pandang yang komprehensif,” dia menambahkan. Menurut dia, ada 2,7 juta bibit gamal yang siap tanam. “Coba bayangkan, dari tanaman alam yang jadi HGU tadi ditanami gamal dengan kerapatan 5.000 pokok per hektare. Dengan jarak tanam 2 x 1 meter, ia punya perakaran yang sangat bagus dalam mengkonservasi tanah, air tanah, dan lainnya.”

•••

PT Banyan Tumbuh Lestari dan PT Inti Global Laksana semula bergerak di industri perkebunan kelapa sawit dalam wilayah konsesi yang sama. Bisnis ini dimulai ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melepaskan area itu dari kawasan hutan. Pada 2013-2014, PT BTL mendapatkan izin hak guna usaha (HGU) seluas 15.493 hektare dan PT IGL memperoleh izin HGU seluas 11.860 hektare. 

Pada 2020, pemerintah membatalkan pelepasan hutan dan memasukkan kembali area konsesi PT BTL dan PT IGL ke kawasan hutan. Pembatalan ini berujung pada pencabutan izin konsesi yang dimiliki PT BTL dan PT IGL bersama ratusan perusahaan lain dari berbagai provinsi pada 2022. Izin tersebut dicabut oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar melalui Surat Keputusan Nomor 01 Tahun 2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan.

Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Sakti Wahyu Trenggono, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Jumat, 26 Juli 2024. TEMPO/Imam Sukamto 

Sebelum pencabutan izin sawit, pada 2020, KLHK memberikan izin lain di lokasi yang sama kepada PT BTL dan PT IGL. Izin merujuk pada perubahan komoditas dari perkebunan sawit menjadi industri tanaman gamal dan kalindra. Di dalam konsesi tersebut juga disiapkan industri pengolahan kayu yang dioperasikan oleh PT Biomassa Abadi Jaya (PT BJA). Kementerian Kelautan dan Perikanan pun memberikan izin persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut di Pantai Lalape, Teluk Tomini, seluas 179,89 hektare sebagai pelabuhan khusus. 

Direktur Kehutanan Yayasan Auriga Nusantara Supintri Yohar melihat bahwa PT BJA dan anak usahanya seolah-olah mendapatkan privilese dari pemerintah. Karena alasan tersebut, ia tergelitik menguliti kepemilikannya berbasis akta perusahaan yang dilaporkan pada Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. “Kami menemukan ada empat pemegang sahamnya, dua di antaranya berbentuk badan usaha,” tutur Supintri. 

Garibaldi Thohir di Jakarta, [Dok. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo

Dua badan usaha yang dimaksud Supintri adalah PT Sekawan Artha Lestari dan PT Hijau Energi Bersama. Di dalam PT Hijau Energi Bersama ternyata ditemukan nama kakak Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir yang juga Direktur Utama Adaro Energy Indonesia, Garibaldi Thohir. Pria yang akrab disapa Boy Thohir itu duduk sebagai pemegang saham PT Hijau Energi Bersama. 

Selain itu, Supintri mendapati nama Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono yang juga sebagai pemegang saham di PT Hijau Energi Bersama. Auriga juga menemukan perusahaan lain sebagai pemegang saham PT Hijau Energi, yakni PT Surya Nuansa Ceria, yang semua sahamnya dimiliki oleh PT Saratoga Investama Sedaya dan PT Saratoga Sentra Business. 

Tempo berupaya meminta konfirmasi kepada Rahmi Hayati dari bagian Hubungan Masyarakat Saratoga Group. Dia menjelaskan sedang berkoordinasi di lingkup internal. Rahmi juga memberi jawaban bahwa kapal Lakas yang sempat ditangkap telah diizinkan kembali berlayar. “Aku coba sampaikan, ya (ke lingkup internal perusahaan),” ucap Rahmi. 

Pendiri PT Konten Media Berjejaring—sebuah kantor konsultan Saratoga Group—Kun Wahyu Winasis mengarahkan Tempo agar menghubungi Burhanuddin, yang mewakili PT BJA. Selain itu, dia meminta waktu untuk membagikan informasi ini kepada pihak Saratoga. “Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan ini, lebih tepat ditanyakan ke Pak Burhanuddin di PT BJA,” ujar Kun ketika ditanyai ihwal komitmen anak usaha Saratoga yang diduga melakukan pembukaan hutan alam di area konsesi untuk kebutuhan pelet kayu.

Tempo juga berupaya mendapatkan penjelasan dari Garibaldi Thohir dan Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Tbk Febriati Nadira. Namun keduanya tak memberikan jawaban hingga artikel ini ditulis. 

Menteri Kelautan Sakti Wahyu Trenggono juga tidak memberi penjelasan. Permintaan konfirmasi terhadapnya dilakukan melalui juru bicara Menteri Kelautan, Wahyu Muryadi. “Saya cek,” katanya singkat. Sedangkan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK Dida Migfar Ridha dan Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK Nuke Mutikania belum memberi jawaban atas pertanyaan Tempo ihwal penebangan hutan alam di area konsesi dua anak usaha PT BJA.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Irsyan Hasyim berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Hilang Hutan Gorontalo Tergerus Pelet Kayu"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus