Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMENANGAN Donald Trump dalam pemilihan umum Amerika Serikat pada Selasa, 5 November 2024, akan menjadikannya presiden ke-47 negara adidaya tersebut. Seiring dengan itu, Partai Republik, yang saat ini sudah sepenuhnya dikuasai loyalis Trump, juga akan menjadi mayoritas di Senat. Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat pun akan dikuasai Partai Republik. Ketiga institusi pemegang kekuasaan tertinggi di negara yang secara historis merupakan penghasil emisi karbon terbesar dunia itu akan dikuasai oleh kekuatan anti-iklim, bahkan penyangkal perubahan iklim (climate denier).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-29 (COP29) yang dimulai pada Senin, 11 November 2024, di Baku, Azerbaijan, sudah diliputi awan mendung ketidakpastian. Presiden Trump menyatakan dalam kampanyenya bahwa dia akan kembali membawa Amerika Serikat keluar dari Perjanjian Paris, seperti yang dilakukannya pada 2017. Bahkan kali ini dia juga menyatakan Amerika akan mundur dari Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tulisan ini akan membahas dampak perubahan politik di Amerika tersebut terhadap upaya dunia mengatasi krisis iklim. Secara khusus, perhatian perlu kita berikan pada kemampuan pendanaan iklim global. Sebab, target utama COP29 adalah menghasilkan komitmen pendanaan iklim baru yang diperlukan untuk mengatasi krisis iklim. Komitmen baru ini bertujuan memperbarui komitmen sebelumnya yang disepakati pada COP15 di Kopenhagen, Denmark, yaitu sebesar US$ 100 miliar per tahun.
Salah satu agenda utama Presiden Trump dalam menjalankan pemerintahan barunya di awal 2025 adalah membatalkan berbagai kebijakan pro-iklim Presiden Joe Biden, khususnya Inflation Reduction Act (IRA). IRA, yang merupakan kebijakan pro-iklim terpenting sepanjang sejarah Amerika, sejauh ini telah mengalokasikan US$ 361 miliar untuk membiayai berbagai upaya transisi energi, perlindungan iklim dan lingkungan, serta ekonomi hijau guna membawa Amerika kembali kepada komitmen iklim global sesuai dengan Perjanjian Paris.
IRA dan berbagai kebijakan pro-iklim lain Presiden Biden sebenarnya telah mendorong Amerika mencapai pengurangan emisi karbon sebesar 40 persen pada 2030. Sebaliknya, pembatalan berbagai kebijakan tersebut akan membuat Amerika menghasilkan tambahan emisi karbon sebesar 4 miliar ton pada 2030.
Dalam konteks pendanaan iklim, yang menjadi agenda utama COP29 Azerbaijan, komitmen global sangat tidak memadai untuk menjaga dunia tidak memanas lebih dari 1,5 derajat Celsius. Komitmen negara-negara Annex 2 UNFCCC untuk berkontribusi kolektif sebesar US$ 100 miliar per tahun sejak 2009 baru tercapai pada 2022. Sementara itu, Menteri Keuangan Amerika Janet Yellen menyatakan diperlukan US$ 3 triliun per tahun sampai 2050 agar dunia bisa mencapai target-target iklim sesuai dengan Perjanjian Paris. Pada COP29 ini target pendanaan iklim baru yang jauh lebih ambisius harus disepakati.
Terpilihnya Trump diperkirakan akan membatalkan semua komitmen Amerika untuk pendanaan iklim global. Selama ini Amerika memang belum pernah memenuhi komitmen pendanaan iklim “seharusnya”, yaitu US$ 44,6 miliar. Menurut laporan Overseas Development Institute (ODI Global 2024), sampai 2022, Amerika baru berkontribusi sebesar US$ 14,37 miliar atau hanya 32 persen dari kontribusi yang seharusnya. Tapi, pada 2022, Biden secara signifikan menambah kontribusi Amerika sebesar US$ 5 miliar dibanding pada tahun sebelumnya.
Dalam COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, pada 2023, Amerika memberikan komitmen sebesar US$ 3 miliar kepada Green Climate Fund, sebuah instrumen pendanaan iklim global yang krusial. Presiden Trump diperkirakan akan membatalkan komitmen ini. Pembatalan komitmen ini akan merusak kemampuan Green Climate Fund untuk mendanai aksi-aksi iklim di seluruh dunia. Sebab, Amerika merupakan salah satu kontributor terbesar.
Namun dunia sudah banyak berubah sejak 1992, ketika 23 negara maju Annex 2 ditetapkan. Pada 2020, Cina sudah menjadi penghasil emisi karbon terbesar dunia, melampaui Amerika. Menurut laporan World Resource Institute, pada 2024, Cina, walaupun tak berstatus negara Annex 2, diperkirakan telah berkontribusi sebesar US$ 44,92 miliar untuk pendanaan iklim di negara-negara Selatan pada periode 2013-2022, setara dengan 6,1 persen pendanaan total negara Annex 2 pada kurun waktu yang sama.
Di sisi lain, situasi genting krisis iklim serta ketidaksetaraan kemampuan antarnegara dalam menghadapi bencana iklim terus membayangi. Laporan terakhir Copernicus Climate Change Services menyebutkan bahwa “batas aman” iklim 1,5 derajat Celsius sudah secara konsisten terlewati tahun ini. Tahun 2024 kembali akan memecahkan rekor 2023 sebagai tahun terpanas.
Laporan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) yang diterbitkan bulan lalu pun menyebutkan bahwa target penurunan emisi karbon semua negara hanya sebesar 2,6 persen pada 2030. Padahal diperlukan penurunan emisi setidaknya sebesar 43 persen pada 2030 agar dunia bisa terhindar dari bencana-bencana iklim permanen.
Bencana iklim makin kerap terjadi dan skalanya makin besar, seperti banjir dahsyat di Valencia, Spanyol; badai-badai tropis di Filipina; dan banjir mahadahsyat di Pakistan pada 2022. Kapasitas ekonomi negara-negara miskin dan berkembang di wilayah selatan pun terbatas. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam perundingan untuk mencapai kesepakatan pendanaan iklim global baru.
Selain negara-negara maju, korporasi besar multinasional, khususnya industri bahan bakar fosil yang selama ini mengeruk keuntungan besar secara global, harus berkontribusi signifikan dalam pendanaan iklim global. Proposal Climate Damages Tax atau Pajak Kerusakan Iklim yang diusulkan Sindra Sharma-Khushal dan David Hillman pada 2024, bila diterapkan pada industri fosil di negara-negara Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), diperkirakan dapat menghasilkan pendanaan iklim sebesar US$ 900 miliar pada 2030.
Akhirnya, kemenangan Trump akan berdampak sangat serius pada penanganan krisis iklim global. Negara-negara pengemisi karbon besar harus menambal lubang besar yang ditinggalkan Amerika, baik dalam pencapaian target-target iklim maupun target pendanaan iklim. Indonesia pun sepertinya harus menanggalkan ekspektasi bahwa Amerika akan memimpin pendanaan transisi energi di Indonesia melalui skema Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo