Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Merauke - Deklarasi Merauke merupakan suara perlawanan terhadap perampasan tanah masyarakat adat atas nama pembangunan. Hal itu disampaikan Koordinator Solidaritas Merauke Franky Samperante saat menutup Konsolidasi Solidaritas Merauke di Petrus Vertenten Center, Merauke, pada Jumat, 14 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tugas kita ke depan adalah memperluas gerakan Solidaritas Merauke, menolak dan melawan Proyek Strategis Nasional (PSN) serta proyek-proyek lain yang mengatasnamakan kepentingan nasional, tetapi justru mengorbankan rakyat. Kita juga harus mendesak pertanggungjawaban negara dan korporasi atas perampasan ruang hidup serta menuntut pemulihannya,” ujar Franky.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang percepatan pembangunan PSN, proyek ini bukannya membawa kesejahteraan, tetapi justru memicu rentetan persoalan, terutama bagi masyarakat adat yang secara turun-temurun menguasai dan bergantung pada tanah serta hutan sebagai sumber kehidupan.
"Di bawah pemerintahan Prabowo, proyek ini berlanjut dengan penetapan 77 PSN baru. Meski beberapa proyek era Jokowi dicoret dari daftar, ancaman perampasan tanah serta pelanggaran hak-hak masyarakat tetap membayangi," katanya
Dia menjelaskan, laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebutkan bahwa PSN tidak ramah terhadap HAM dan memicu berbagai pelanggaran. Pembangunan yang dikebut telah merampas hak-hak mendasar rakyat, terutama hak atas tanah. Banyak aturan hukum diterabas, baik dalam proses maupun substansi, yang berujung pada pelanggaran HAM.
"Minimnya pelibatan masyarakat dalam perencanaan PSN membuat konflik agraria terus bermunculan. Pendekatan represif terhadap warga yang menolak proyek semakin menambah panjang daftar pelanggaran HAM di Indonesia. Instrumen pengawasan seperti izin lingkungan dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) juga dinilai tidak berjalan sebagaimana mestinya," katanya.
Peneliti Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Laksmi A. Savitri mengatakan di pemerintahan Prabowo saat ini militer terus ditambah. Bedanya, dulu Tentara Nasional Indonesia (TNI) datang ke tanah Papua dengan alasan berperang, sekarang ditambah lagi, yakni untuk mengawal Proyek Strategis Nasional (PSN). "Saya rasa militerisasi itu sudah lama terjadi di Papua, tetapi kali ini ditambah lagi. Contoh saja di Merauke ini ada penambahan dua batalyon untuk PSN," katanya.
Laksmi mengatakan pemerintah pusat selalu beranggapan bahwa tanah Papua ini sebagai objek pendapatan ekonomi. Tetapi mereka mengabaikan bahwa ada orang yang tinggal di tanah tersebut. "Bagi orang Papua, tanah itu adalah bagian dari mereka, jika diambil tanahnya, sama saja bunuh orang Papua," katanya kepada Tempo.
Menurutnya, pembangunan di Papua harus diserahkan kepada orang Papua, bukan mau pemerintah pusat saja. "Dengarkan dulu apa mau orang Papua, tetapi bukan elite politiknya," ucapnya.
Sementara itu, Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa sejak 2020 hingga 2024, setidaknya 103 ribu perempuan kehilangan sumber penghidupannya akibat perampasan tanah yang berkedok PSN. Hilangnya sumber air, pangan, dan protein dari hutan serta sungai memaksa perempuan bergantung pada bahan pangan yang harus dibeli, sehingga beban ekonomi rumah tangga semakin berat.
Sedikit informasi, Deklarasi Merauke adalah hasil pertemuan “Konsolidasi Solidaritas Merauke” yang berlangsung pada 11-14 Maret 2025 di Kota Merauke. Selama empat hari, lebih dari 250 masyarakat adat dan masyarakat lokal terdampak PSN, serta pelbagai organisasi masyarakat sipil, berkumpul untuk berbagi cerita tentang kejahatan negara korporasi dan kekerasan aparat militer dan polisi sebagai pengalaman kolektif.
Warga yang hadir merupakan masyarakat terdampak proyek food estate Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Keerom-Papua, Merauke dan Mappi, Papua Selatan; proyek Rempang Eco City di Kepulauan Riau; proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur; proyek geothermal Poco Leok di Nusa Tenggara Timur; industri ekstraktif hutan tanaman energi dan bioenergi di Jambi; berbagai proyek PSN di Fakfak dan Teluk Bintuni, Papua Barat, serta ekspansi perkebunan sawit di seluruh tanah Papua.