Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kerusakan hutan alam di hulu tiga Daerah Aliran Sungai Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane mencapai 2.300 hektare sepanjang 2017 sampai 2023. Deforestasi setara 850 kali luas lahan Gedung Sate di Bandung ini dianggap sebagai salah satu faktor penyebab banjir berulang dan semakin besar di Jabodetabek seperti yang terjadi sepanjang pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Temuan Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkap kalau sisa hutan di hulu DAS Ciliwung saat ini hanya 14 persen dari total luas hulu DAS, sedangkan hutan di hulu DAS Cisadane tinggal 21 persen. Adapun Kali Bekasi--yang berhulu di Kali Cikeas dan Kali Cileungi--lebih parah karena ditemukan tinggal 4 persen. Seluruh hulu DAS sungai-sungai itu berada di wilayah Kabupaten Bekasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juru kampanye FWI Tsabit Khairul Auni mengatakan, hutan memiliki fungsi menyimpan air di dalam tanah. Keberadaan hutan dapat menahan air hujan agar tidak run-off atau langsung terbuang ke sungai. Sebaliknya, kerusakan hutan akibat alih fungsi akan mendorong meluapnya sungai sehingga menyebabkan banjir saat turun hujan deras merata dari hulu ke hilir.
Seperti yang terjadi pada pekan lalu, hujan dengan intensitas tinggi menyebabkan aliran Sungai Ciliwung meluap dan merendam sejumlah area permukiman dan jalur utama yang menghubungkan Bogor dengan Kawasan Puncak. Pada gilirannya, Jakarta dan sekitarnya, terutama Bekasi, turut terdampak parah. Mereka yang berada di hilir atau muara tak hanya banjir karena hujan deras, tapi juga karena lonjakan debit dari hulu alias banjir kiriman.
"Konversi lahan DAS yang masif menjadi lahan terbangun semakin memperparah situasi," kata Tsabit dalam keterangan tertulis dari FWI, Selasa 11 Maret 2025. Dia menyebut, "Lahan terbangun baik dalam bentuk vila, obyek wisata beserta fasilitas
pendukung seperti rest area, permukiman, dan infrastruktur jalan menyebabkan air hujan sulit terinfiltrasi ke dalam tanah dan meningkatkan terjadinya banjir."
Bencana banjir yang telah terjadi sepanjang pekan lalu menegaskan bahwa Jabodetabek butuh ekosistem hutan sebagai penyangga kehidupannya. Sayangnya, Juru Kampanye FWI Anggi Putra Prayoga menambahkan, hutan tidak lagi dilihat sebagai fungsi, melainkan komoditas yang selalu dikalahkan untuk berbagai kepentingan.
Kebijakan Pro Deforestasi
Apa yang terjadi dengan nasib hutan di tiga DAS di atas, menurut Anggi, tak lepas dari kebijakan pemerintahnya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) sebenarnya telah memandatkan setidaknya 30 persen dari luas DAS merupakan kawasan hutan. Ada tiga fungsi hutan yang dibedakan, yakni lindung, produksi, dan konservasi.
Peta wilayah terdampak banjir di Jakarta dan Bekasi awal Maret 2025 dan peta deforestasi kawasan hulu sungainya. Dok. FWI
Sayangnya, kata Anggi, Kementerian Kehutanan telah menunjuk hutan di tiga wilayah DAS (Ciliwung, Kali Bekasi, Cisadane) setidaknya sekitar 23 ribu hektare sebagai kawasan hutan produksi. Hutan produksi lebih mengedepankan hasil hutan kayu dibanding hasil hutan bukan kayu seperti jasa lingkungan. "Artinya kebijakan yang ada justru mendorong perusakan, bukan perlindungan hutan," ujarnya.
Tata Ruang Bogor Memperparah Deforestasi
Catatan FWI juga menekankan bahwa perubahan kebijakan tata ruang juga turut memfasilitasi alih fungsi hutan dan lahan di ketiga hulu sungai tersebut di Kabupaten Bogor. Setidaknya terjadi penyusutan kawasan lindung dalam rencana pola ruang Kabupaten Bogor. Luasnya diperkirakan mencapai 71.595 hektare dari kawasan lindung ke kawasan budidaya.
FWI memaparkan, Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor yang saat ini berlaku memiliki kawasan lindung yang lebih sedikit dibandingkan dengan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2016 tentang RTRW Kabupaten Bogor yang berlaku sebelumnya.
Peta tutupan lahan di Puncak 2017 dan 2024 yang menunjukkan susutnya hutan alam dan, sebaliknya, lahan terbuka dan terbangun dan perkebunan bertambah. Dok. FWI
Di Kawasan Puncak Bogor, kawasan perkebunan teh dan kawasan hutan produksi merupakan kawasan lindung pada Perda RTRW sebelumnya sehingga pembangunan sangat dibatasi. Konsekuensinya, perkebunan teh di kawasan Puncak Bogor yang berada di atas Hak Guna Usaha (HGU) juga berfungsi sebagai daerah resapan air.
"Perubahan peruntukan ruang menjadi kawasan budidaya seperti pada Perda RTRW saat ini memungkinkan pembangunan lebih bebas dan terang-terangan," kata Anggi. Konversi kebun teh terjadi secara besar-besaran di Kawasan Puncak Bogor, disebutnya, untuk memenuhi ambisi pembangunan wisata. "Mengalihfungsikan daerah resapan air seperti yang terjadi pada objek wisata Hibisc Fantascy Puncak," kata Anggi.
Secara spesifik, analisis FWI menemukan perubahan signifikan terhadap kondisi tutupan hutan dan lahan di Kawasan Puncak Bogor 2017 hingga 2024. Dari total kerusakan hutan alam 310 hektare di Kecamatan Megamendung dan Kecamatan Cisarua, sekitar 208,76 hektare telah beralih menjadi perkebunan, sekitar 26,64 hektare menjadi lahan terbangun, dan 75,33 hektare beralih menjadi lahan terbuka.
Pilihan Editor: Begini Bogor Beberkan Porsi Perizinan Pusat dan Daerah di Eiger Adventure Land Puncak