Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Padang - Ketua DPRD Provinsi Sumatera Barat, Muhidi, mendesak pemerintah provinsi segera berkoordinasi dan mengevaluasi keberadaan tambang emas ilegal. Hal ini menyusul longsornya tambang emas ilegal di di Nagari Sungai Abu, Kecamatan Hiliran Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, yang menewaskan 13 penambang, 27 September 2024 lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pemerintah Provinsi Sumatera Barat harus segera melakukan evaluasi terkait kejadian ini," kata Muhidi di Padang, Rabu, 9 Oktober 2024 seperti dilansir Antara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meskipun persoalan izin tambang emas berada di pemerintah pusat, kata Muhidi, pemerintah provinsi juga perlu bersikap atas keberadaan tambang-tambang ilegal itu agar kasus serupa tidak kembali terjadi.
Muhidi juga menilai perlunya evaluasi menyeluruh atas keberadaan tambang emas ilegal itu untuk melindungi lingkungan. "Jangan sampai target masyarakat mencari sumber perekonomian tapi justru merusak lingkungan dan lain sebagainya," katanya.
Secara terpisah, Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Provinsi Sumbar Audy Joinaldy menegaskan, pengawasan tambang mineral dan batu bara (minerba) berada di pemerintah pusat. Pemerintah provinsi hanya memiliki kewenangan mengawasi tambang galian C.
Namun Joinaldy menyatakan tidak akan tinggal diam mengingat kasus tanah longsor tambang emas di Ranah Minang bukan kali pertama terjadi, dan telah menimbulkan banyak korban jiwa. "Ke depan tidak mungkin dibiarkan begini terus karena kejadiannya berulang dan korbannya masyarakat," kata Audy seperti dikutip Antara.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatra Barat mencatat soal dampak lingkungan yang harus diperhatikan dari tambang emas ilegal di Solok itu terhadap hulu SUngai Batanghari.
"Antara tahun 2001 hingga 2023, wilayah tersebut kehilangan 4.580 hektar tutupan pohon, setara dengan penurunan sebesar 3,5% sejak tahun 2000," kata Kepala Divisi Penguatan Kelembagaan dan Hukum Lingkungan Walhi Sumbar Tomy Adam kepada Tempo, Rabu, 9 Oktober 2024.
Berdasarkan investigasi Walhi di Kabupaten Sijunjung, Dharmasraya dan Solok Selatan, kata Tomy, kehilangan tutupan pohon itu akibat aktivitas tambang emas ilegal di sepanjang aliran Sungai Batanghari. "Kehilangan tutupan ini juga didapatinya dekat Nagari Sungai Abu yang terjadi longsoran tambang beberapa minggu yang lalu," kata Tomy.
Tomy menambahkan, massifnya tambang emas di kawasan Sungai Abu itu dimulai sejak 2022. Luasan tambangnya lebih dari 10 hektare untuk satu titik tambang. Dari data citra satelit, titik tambangnya cukup banyak. Ia menilai maraknya penambangan ilegal di kawasan tersebut akibat lemahnya pengawasan, selain tidak adanya kebijakan yang jelas soal itu.