Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Pulau Sumatera dan Kalimantan menjadi kawasan penghasil emisi terbesar secara nasional.
Secara keseluruhan produsen sekaligus konsumen jejak lingkungan terbesar di Indonesia adalah Pulau Jawa.
Pulau Jawa mendominasi produksi dan konsumsi barang produksi beremisi tinggi, penggunaan air, sekaligus menjadi eksportir jejak lingkungan terbesar.
TERKENAL sebagai daerah kaya sumber daya alam, Pulau Sumatera dan Kalimantan dianggap sebagai kawasan penghasil emisi terbesar nasional. Sebab, di daerah-daerah tersebut banyak aktivitas perkebunan dan pertambangan yang menyebabkan kerusakan lingkungan akibat deforestasi untuk alih fungsi lahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tapi, jika ditelisik lebih jauh, jejak emisi dan dampak kerusakan lingkungan yang dihasilkan di daerah itu sebenarnya tidak terlepas dari aktivitas perdagangan antardaerah. Wilayah lain konsumen hasil alam daerah sumber juga punya andil dalam jejak emisi dan kerusakan lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Penelitian kami yang dipublikasikan dalam jurnal Energy Nexus dan tersedia secara online pada 22 Oktober 2024 menganalisis bagaimana rekam jejak sebaran tiga jenis jejak lingkungan (environmental footprints), yakni air, penggunaan lahan, dan emisi gas rumah kaca—di berbagai provinsi di Indonesia. Kami mempertimbangkan sisi produksi atau lokasi di mana jejak lingkungan dihasilkan dan sisi konsumsi atau lokasi di mana jejak lingkungan dikonsumsi atau digunakan.
Jejak lingkungan ini menjadi indikator untuk menggambarkan dampak suatu aktivitas, baik konsumsi maupun produksi, terhadap lingkungan. Riset kami menunjukkan, meskipun banyak aktivitas pertanian di Pulau Sumatera dan Kalimantan, secara keseluruhan produsen sekaligus konsumen jejak lingkungan terbesar di Indonesia adalah Pulau Jawa.
Kenapa Pulau Jawa?
Hasil studi menunjukkan aktivitas ekonomi Indonesia—mencakup produksi produk ataupun jasa—secara total menghasilkan jejak emisi gas rumah kaca sebesar 476 juta ton setara karbon dioksida (CO2). Lalu produksi air sebanyak 105 miliar meter kubik (m3) dan penggunaan lahan pertanian seluas 60 juta hektare.
Dari total produksi tersebut, sebesar 415 juta ton setara CO2 emisi gas rumah kaca, 85 miliar m3 air, dan 50 juta hektare lahan pertanian dikonsumsi di dalam negeri. Sisanya dikonsumsi oleh negara lain melalui ekspor.
Studi ini menggunakan model ekonomi yang menggabungkan analisis input-output antarwilayah atau Environmentally-extended Interregional Input-Output Tahun 2016 dari Badan Pusat Statistik. Data ini memungkinkan kami mengevaluasi distribusi spasial jejak lingkungan di berbagai provinsi di Indonesia.
Grafik di atas menggambarkan jejak lingkungan per kapita atau ukuran dampak lingkungan yang dihasilkan oleh setiap individu di tingkat provinsi. Jika titik berada di atas garis diagonal, jejak lingkungan lebih banyak dihasilkan dari proses konsumsi ketimbang produksi. Begitu pun sebaliknya untuk titik yang berada di bawah garis. Kami membagi wilayah ke dalam enam kelompok pulau terbesar di Indonesia, yakni Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, serta Bali dan Nusa Tenggara.
Pada grafik emisi CO2 (paling kiri), terlihat kebanyakan provinsi berkumpul di sekitar garis diagonal. Tapi ada tiga titik ekstrem, yakni Pulau Jawa (penyumbang terbesar adalah DKI Jakarta) di titik tertinggi, baik dalam produksi maupun konsumsi.
Sedangkan titik ekstrem di bawah garis 45 derajat merepresentasikan Banten (Pulau Jawa) dan Kepulauan Riau (Pulau Sumatera) sebagai wilayah yang memproduksi emisi jauh lebih besar dibanding konsumsi—hal ini sehubungan dengan banyaknya jumlah pembangkit listrik tenaga uap batu bara di Banten dan kawasan industri yang besar di Kepulauan Riau.
Sementara itu, pada grafik penggunaan air (tengah) dan lahan pertanian (kanan), distribusi titik-titik tersebut cenderung tersebar di bawah garis 45 derajat. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu pengekspor air dan lahan pertanian di tingkat global.
Data ini didukung oleh analisis gambar di bawah, yang menunjukkan distribusi jejak lingkungan dan kaitannya dengan perdagangan antardaerah. Aliran berwarna abu-abu muda menunjukkan konsumsi domestik, sedangkan aliran berwarna abu-abu tua menunjukkan dinamika impor-ekspor jejak lingkungan atau perdagangan antardaerah.
Temuan paling mencolok dari gambar tersebut adalah Pulau Jawa mendominasi produksi dan konsumsi barang produksi beremisi tinggi, penggunaan air, sekaligus menjadi eksportir jejak lingkungan terbesar. Sedangkan Pulau Sumatera dan Kalimantan merupakan produsen utama jejak lahan pertanian dengan Pulau Jawa sebagai importir dalam negeri terbesar produk-produk intensif lahan pertanian.
Daerah Kaya Berkontribusi Lebih Besar terhadap Krisis Iklim
Penelitian ini juga mencoba melihat korelasi konsumsi emisi gas rumah kaca, air, dan lahan pertanian dengan produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita sebagai proksi tingkat pembangunan daerah.
Terlihat PDRB per kapita berbanding lurus dengan produksi emisi gas rumah kaca dan penggunaan air. Makin tinggi pendapatan daerah, makin banyak CO2 yang dikonsumsi dan air yang digunakan. Temuan ini sesuai dengan temuan dalam beberapa penelitian sebelumnya, yakni daerah yang lebih kaya, seperti perkotaan, memiliki gaya hidup dan pola konsumsi yang lebih intensif emisi.
Kesimpulannya, peningkatan polusi CO2 dan penggunaan air meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi. Meski tidak selalu bergantung pada pertanian, daerah kaya sumber daya alam mendatangkan produk-produk pertanian dari luar daerah untuk konsumsi di daerah tersebut. Hal ini merupakan tantangan besar bagi Indonesia yang memiliki komitmen untuk mencapai emisi nol bersih setidaknya pada 2060.
Implikasi terhadap Kebijakan Publik
Kerusakan lingkungan yang terjadi di daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Sumatera dan Kalimantan, juga disebabkan oleh tingginya angka konsumsi dan permintaan dari tempat lain, seperti Pulau Jawa.
Karena itu, daerah-daerah yang merupakan produsen jejak lingkungan tinggi perlu mengimplementasikan kebijakan yang menyasar produsen. Misalnya menciptakan kawasan industri emisi nol bersih serta menegakkan atau mewajibkan standar lingkungan, seperti standar industri hijau yang lebih ketat dan mewajibkan eco-labelling.
Untuk daerah-daerah konsumen jejak lingkungan yang tinggi, kebijakan harus dititikberatkan pada konsumsi dan pengadaan untuk memastikan kemudahan akses terhadap produk yang berkelanjutan, seperti subsidi barang rendah karbon atau, sebaliknya, pajak karbon. Dua hal ini tentu relevan untuk Pulau Jawa karena pulau ini merupakan produsen dan konsumen jejak lingkungan terbesar di Indonesia.
Perlu dicatat bahwa kondisi ini terjadi karena kebijakan pembangunan yang Jawa-sentris atau pola pembangunan yang terpusat di Pulau Jawa. Saat ini lebih dari setengah populasi di Indonesia tinggal di Pulau Jawa, dengan kontribusi PDRB sebesar 55 persen.
Untuk itu pejabat pemerintah daerah, terutama yang baru dilantik, harus mereformasi tata kelola pemerintahan daerah dan membuahkan kebijakan-kebijakan yang lebih bertanggung jawab serta berkelanjutan. ●