Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup menggelar Apel Siaga Pengendalian Kebakaran Lahan Tahun 2025 di Kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Serpong, Tangerang Selatan, Banten pada Senin, 24 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apel ini dihadiri antara lain wakil dari TNI, Polri, BNPB, BMKG, dan pemerintah daerah, dipimpin Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq. "Kebakaran lahan tidak hanya mengancam lingkungan tetapi juga berkontribusi signifikan terhadap krisis iklim global," kata Hanif dalam siaran persnya, Senin, 24 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Hanif, Indonesia memiliki komitmen kuat untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,2 persen dengan dukungan internasional sesuai target Nationally Determined Contributions (NDC) 2030, serta mencapai Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat. Ia menyebutkan salah satu kontribusi terbesar dalam pengurangan emisi berasal dari pengendalian kebakaran lahan.
Hanif menegaskan pentingnya aksi pencegahan kolaboratif yang melibatkan seluruh elemen bangsa. Kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, masyarakat, dan akademisi sangat penting untuk menciptakan sistem pencegahan yang efektif.
Hanif juga menyoroti pentingnya pengawasan menyeluruh di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di daerah dengan potensi kebakaran tinggi. Berdasarkan data Satelit Terra/Aqua (NASA) per 23 Februari 2025, terdapat 59 titik panas dengan tingkat kepercayaan tinggi dan 32 kejadian kebakaran di berbagai wilayah Indonesia.
Meskipun terdapat penurunan hotspot sebesar 53,17 persen dibandingkan 2024, kata Hanif, potensi kebakaran lahan tetap tinggi. Provinsi dengan potensi kebakaran tertinggi meliputi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Papua, Papua Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.
Indonesia memiliki sejarah panjang soal kebakaran lahan di Indonesia seperti pada 1981/1982, 1997/1998, 2007, 2013, 2015, dan 2019. Kata Hanif, ini menjadi pengingat akan pentingnya kesiapsiagaan. "Pengawasan harus dilakukan secara menyeluruh, terutama di wilayah dengan tingkat kerawanan tinggi. Setiap titik panas harus ditangani dengan cepat melalui patroli darat, udara, dan pemanfaatan teknologi terbaru," ujarnya.
Langkah-langkah strategis yang harus diambil meliputi identifikasi wilayah rawan, peningkatan koordinasi lintas sektor, pengawasan berbasis teknologi, edukasi masyarakat, hingga penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran lahan.
Dalam menghadapi musim kemarau 2025, KLH/BPLH menyerukan seluruh pihak memperkuat sinergi pencegahan. Menurut Hanif, edukasi dan kampanye publik harus digencarkan di kawasan rawan kebakaran. Ia juga mengingatkan monitoring prakiraan cuaca secara berkala juga menjadi langkah penting dalam upaya mitigasi. Pemerintah menyiapkan sumber daya manusia, sarana, dan prasarana yang memadai untuk mendukung pengendalian kebakaran di wilayah rentan.
Menurut Hanif, kebakaran lahan berdampak langsung pada kesehatan masyarakat, ketahanan pangan, dan stabilitas ekonomi nasional. "Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan dalam mencegah kebakaran lahan," kata dia.