Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketua Delegasi Indonesia COP29 Hashim Djojohadikusumo mengumumkan perolehan pendanaan energi terbarukan senilai 1,2 miliar euro.
Dana itu bukan agenda COP29, melainkan bagian dari target Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PLN 2021-2030.
Di COP29, pemerintah seharusnya memanfaatkan dana publik yang dikumpulkan dari negara-negara maju dalam bentuk hibah atau mekanisme penghapusan utang.
BAGI Fabby Tumiwa, pengumuman Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-29 (COP29) di Baku, Azerbaijan, Hashim Djojohadikusumo, ihwal perolehan pendanaan energi terbarukan senilai 1,2 miliar euro bukan hal mengejutkan. “Saya melihat pemerintah hanya mau pamer. Padahal itu perjanjian pinjaman untuk kelistrikan yang bisa dilakukan di Jakarta,” kata Fabby, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), pada Rabu, 27 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penandatanganan perjanjian itu dilakukan PT PLN (Persero) dengan Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW)—bank pembangunan dan investasi milik pemerintah Jerman. Kerja sama tersebut menyepakati pengembangan proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) pumped storage dan transmisi yang menghubungkan ke pembangkit hijau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada waktu yang sama, PLN juga meneken kerja sama dengan United Kingdom Export Finance, Sembcorp Utilities Pte Ltd, PT Transportasi Gas Indonesia, serta Global Energy Alliance for People and Planet. Lima penandatanganan proyek energi terbarukan bertajuk “Leading the Charge: Strategic Partnership to Catalyze Decarbonization” ini digelar di Paviliun Indonesia untuk COP29 di Blue Zone, Area E, Kompleks Stadion Olimpiade Baku, pada Rabu, 13 November 2024.
Kesepakatan tersebut merupakan bagian dari target pemerintah yang termaktub dalam Dokumen Kebijakan dan Investasi (CIPP). Dokumen itu mensyaratkan bauran energi terbarukan mencapai 44 persen pada 2030. Pemerintah kemudian memasukkan dokumen itu ke proyek kemitraan global yang dinamai Kemitraan Transisi Energi yang Adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP) dengan target pendanaan US$ 97,3 miliar.
Paviliun Indonesia di Konferensi Perubahan Iklim COP29 UNFCCC, Baku, Azerbaijan, 13 November 2024. ANTARA/Andika Wahyu
Menurut Fabby, pemerintah baru berhasil merealisasi pendanaan sekitar US$ 20 miliar atau setara dengan Rp 300 triliun. Jadi masih dibutuhkan tambahan pendanaan untuk memenuhi target bauran energi terbarukan. Apalagi pemerintah meningkatkan target bauran energi terbarukan menjadi 51,6 persen pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. “Jadi kerja sama senilai 1,2 miliar euro itu bukan berasal dari agenda COP29, melainkan bagian untuk memenuhi target RUPTL.”
Selain mempersoalkan klaim yang berlebihan itu, Fabby mempertanyakan komitmen pemerintah membangun 75 gigawatt pembangkit energi terbarukan dalam 15 tahun ke depan. Ambisi tersebut dinilai masih berupa angan-angan lantaran belum dimasukkan dalam Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional Kedua atau Second Nationally Determined Contribution (Second NDC) yang akan submit pada awal tahun depan. Semestinya pemerintah segera memasukkannya ke Second NDC agar dapat diketahui berapa besaran emisi yang dapat ditekan hingga 2035.
Untuk mencapai target ambisius tersebut, kata Fabby, semestinya pemerintah membangun 5-6 gigawatt pembangkit energi terbarukan setiap tahun. Kenyataannya, pemerintah justru dipastikan gagal mengejar target 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025. Target tersebut sulit terkejar karena tahun ini bauran energi terbarukan pada pembangkit listrik masih berkisar 14 persen.
Seretnya realisasi bauran energi terbarukan terjadi karena pemerintah tak kunjung membereskan hambatan-hambatan program. Misalnya, masalah proyek pembangkit yang tidak layak kredit untuk mengakses produk keuangan perbankan. Hal ini disebabkan oleh regulasi yang tak menarik bagi swasta untuk berinvestasi membangun pembangkit. “Masalah kedua karena lelang pembangunan pembangkit di PLN tidak dilakukan berkala dan terjadwal serta tak sampai 5 gigawatt per tahun,” ucap Fabby.
Aksi menyikapi pertemuan COP29 Azerbaijan di Depan Kantor Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Jakarta, 18 November 2024. TEMPO/Amston Probel
Masalah ketiga, seharusnya pemerintah membuat kebijakan yang memperkenankan swasta membangun energi terbarukan tanpa perlu mengandalkan PLN. Persoalannya, industri kelistrikan masih dimonopoli oleh PLN sehingga semua pembangkit energi terbarukan yang dibangun harus dikelola melalui transmisi PLN. Padahal pemerintah dapat mengejar target bauran energi terbarukan melalui mekanisme power wheeling atau ketentuan yang memungkinkan pemilik pembangkit listrik menyalurkan listrik ke konsumen menggunakan jaringan transmisi yang sudah ada.
Masalah keempat, Fabby mengindikasikan kemampuan PLN memobilisasi pendanaan sangat rendah sehingga muskil untuk mengejar target 51,6 persen bauran energi terbarukan pada 2030. Pasalnya, kemampuan PLN menerbitkan surat utang tak cukup untuk mendanai target 100 gigawatt pada 2040. Penerbitan surat utang bisa dikejar bila PLN dilebur ke dalam Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara yang bakal dibentuk pemerintah.
Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo menjelaskan, pemerintah berkomitmen mengakselerasi transisi energi. Selama dua pekan di Azerbaijan, dia telah menggalang kolaborasi dan kerja sama bilateral di tingkat global. “Kami memiliki strategi baru selama lima tahun ke depan dengan target pertumbuhan ekonomi minimal 8 persen secara berkelanjutan,” ucap Hashim pada Kamis, 14 November 2024.
Hashim menargetkan beragam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dilakukan Indonesia akan mendatangkan US$ 255 miliar. Selain memobilisasi sumber daya global—dalam hal keuangan, teknologi, dan investasi—pemerintah akan mencapai target net zero emission pada 2060. Salah satunya dengan membangun 42 gigawatt pembangkit listrik tenaga bayu dan surya—bagian dari target 100 gigawatt pada 2040.
Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengatakan kolaborasi senilai 1,2 miliar euro ini bertujuan menstabilkan pasokan listrik dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. “Kesepakatan hibah juga mencakup pendanaan studi dampak lingkungan dan sosial bagi proyek-proyek PLTA ini, memastikan pelaksanaan yang berkelanjutan,” ujar Darmawan dalam keterangannya pada Senin, 18 November 2024.
DIPERPANJANG lebih dari 30 jam, Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau COP29 di Baku, Azerbaijan, berakhir dengan kebuntuan kesepakatan. Puluhan negara miskin dan berkembang meminta negara maju meningkatkan pendanaan iklim mencapai US$ 1,3 triliun per tahun pada 2035. “Namun permintaan tersebut tidak disetujui. Hingga akhir, COP29 memutuskan pendanaan sebesar US$ 300 miliar per tahun pada 2035,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik.
Usulan pendanaan iklim yang dimaksudkan Iqbal merupakan bagian dari mekanisme New Collective Quantified Goal (NCQG)—kewajiban negara maju membantu negara miskin dan berkembang memberikan dukungan finansial dalam upaya aksi mitigasi dan adaptasi iklim. Target pertama disepakati pada 2009 dengan nilai US$ 100 miliar per tahun pada 2025 dan kini diperbarui. Hal ini merupakan amanat Perjanjian Paris pada 2015.
Iqbal menceritakan negara-negara miskin dan berkembang sempat memprotes karena nilai kesepakatan cuma US$ 300 miliar per tahun atau dinilai terlampau kecil dibanding kebutuhan. Mereka kemudian melakukan aksi walkout dari ruang sidang sesaat sebelum konferensi ditutup pada Ahad, 24 November 2024.
“Bagi negara-negara kepulauan kecil dan pesisir yang tergabung dalam Alliance of Small Island States (AOSIS), mereka memprotes karena tak jelas akan mendapatkan berapa dari keseluruhan dana iklim per tahun,” tutur Iqbal. AOSIS rentan tersisihkan lantaran potensi karbon mereka sangat kecil dibanding negara berkembang, seperti Indonesia atau negara-negara di Afrika.
Sekretaris Eksekutif Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) Simon Stiell tak memungkiri bahwa terjadi negosiasi alot untuk mencapai sebuah kesepakatan. Meski begitu, ia memuji hasil negosiasi yang disebut sebagai polis asuransi bagi umat manusia atas pemanasan global. “Kesepakatan ini akan terus menumbuhkan ledakan energi bersih dan melindungi miliaran jiwa,” ucap Simon.
Kesepakatan pendanaan US$ 300 miliar per tahun dinilai cukup untuk menggaransi rata-rata kenaikan suhu bumi sebesar 1,5 derajat Celsius setelah Revolusi Industri. Namun harapan tersebut sepertinya akan berat tercapai, mengingat rata-rata kenaikan suhu bumi telah mencapai 1,61 derajat Celsius dalam setahun terakhir. Bila tak ada aksi mitigasi, kenaikan diprediksi mencapai 3,5 derajat Celsius pada 2060.
Selain itu, COP29 menyepakati perdagangan karbon yang bakal dikelola oleh PBB dan mensyaratkan negara-negara seperti Indonesia untuk mempersiapkan pasar. Menurut Iqbal, mekanisme ini sarat akan praktik pencucian hijau (greenwashing) atau legalisasi atas rencana negara maju untuk terus menciptakan emisi melalui mekanisme offset karbon.
Perahu tongkang batu bara di Sungai Mahakam, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, 12 Januari 2024. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies Bhima Yudhistira Adhinegara juga mewanti-wanti pemerintah untuk serius mendapatkan bagian dari pendanaan US$ 300 miliar per tahun pada 2035. Menurut dia, pemerintah semestinya membuka ruang pendanaan transisi energi yang lebih progresif. “Langkah ini lebih konkret daripada skema Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP) yang cenderung berupa utang,” katanya.
Utang melalui mekanisme JETP justru bakal menjadi beban fiskal Indonesia untuk mencapai target transisi energi 100 gigawatt pada 2040. Pemerintah seharusnya memanfaatkan dana publik yang dikumpulkan dari negara-negara maju dalam bentuk hibah atau mekanisme penghapusan utang sehingga pemerintah berfokus pada pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Pendanaan yang berbentuk hibah juga bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan proyek-proyek pembangkit listrik berbasis surya, mikrohidro, bayu, transmisi, serta baterai penyimpanan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
M. Faiz Zaki berkontribusi dalam penulisan artikel ini