Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Surabaya - Pemerintah seharusnya segera membuat aturan tata kelola hutan yang lebih jelas. Luas hutan Indonesia saat ini, yang tersisa seratusan juta hektare, bisa terus habis karena ketiadaan aturan yang jelas di mana sebagian program pemerintah pun kerap membuka lahan di hutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Yang terjadi saat ini food estate yang mengambil sepuluh juta hektare hutan, jalan tol dan tambang ambil hutan, apalagi IKN (Ibu Kota Nusantara),” ucap Mohammad Adib, dosen yang pada Kamis lalu, 27 Februari 2025, telah dikukuhkan sebagai Guru Besar Antropologi Ekologi Universitas Airlangga (Unair).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Adib, kondisi saat ini terjadi karena aturan tata kelola hutan masih tidak jelas. Khususnya penggunaan lahan hutan lindung, hutan tropis, dan hutan konservasi. Akibatnya, banyak aturan yang ditabrak untuk menjalankan program.
Adib juga menyoroti Presiden Prabowo Subianto yang menyatakan akan membuka 20 juta hektare hutan untuk proyek pangan dan energi. Menurut dia, itu akan mengancam ekologi jika tidak diperjelas penggunaan lahannya.
“Apalagi proyek food estate juga tidak nampak hasilnya. Jika ada lahan dibuka lagi, takutnya mengulangi kesalahan yang sama,” tutur Adib mengungkap keresahannya dalam konferensi pers Senin lalu, sebelum pengukuhannya sebagai Guru Besar.
Dia mengingatkan bahwa keberadaan hutan sangat krusial bagi umat manusia. Tak hanya menjadi paru-paru dunia, tapi hutan juga memberi rumah bagi keanekaragaman hayati.
Sayangnya, luas hutan di Indonesia disebut Adib semakin berkurang. Dia mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup yang antara lain menyatakan bahwa 48 persen dari 2,4 juta hektare hutan di Pulau Jawa telah rusak. “Ini berpeluang untuk punah hutannya,” kata Adib yang kemudian diulanginya dalam orasi ilmiahnya saat upacara pengukuhan Guru Besar.
Mohammad Adib saat memberikan orasi ilmiah pengukuhannya sebagai Guru Besar Antropologi Ekologi di Universitas Airlangga (Unair), 27 Februari 2025. FOTO/Dok. Unair
Adib menambahkan, pembukaan hutan kerap kali tidak melibatkan masyarakat lokal sebagai pelaku utama. Bahkan, masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan juga terancam karena pembukaan lahan itu. Tak aneh, menurutnya, jika terjadi konflik. “Mereka sudah lama tinggal di sana, tapi tiba-tiba banyak kendaraan besar (proyek)."
Kritik dilemparkan Adib saat dia menilai kerusakan hutan dan konflik yang marak terjadi saat ini disebabkan pula oleh penegakan hukum yang lemah. Masyarakat adat jadi bagian dari masyarakat bawah yang seringkali tidak mendapat keadilan. "Berbeda dengan kawan politik pemerintah yang selalu dilindungi," katanya.
Maka, Adib menyarankan agar pemerintah segera merealisasikan peraturan untuk tata kelola hutan yang melibatkan berbagai pihak. Termasuk akademisi hingga masyarakat dan organisasi masyarakat sipil. “Penegakan hukum juga penting. Jangan tumpul ke atas dan tajam ke bawah,” ujar Adib lagi.