Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengumumkan penemuan kembali satu jenis burung yang telah menghilang selama 172 tahun. Jenis yang dimaksud adalah burung Pelanduk Kalimantan atau Malacocincla perspicillata yang diduga mengalami kepunahan sejak 1848.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dirjen KSDAE Wiratno menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada mereka yang disebutnya sebagai citizen science, yaitu masyarakat yang bukan peneliti namun sukarela mengumpulkan dan menganalisa data ilmiah. Mereka disebutkannya berada di balik penemuan kembali satwa endemik tersebut di Kalimantan Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Satwa liar akan sejahtera sepenuhnya apabila hidup di alam habitatnya," katanya, Selasa 2 Maret 2021, sambil menegaskan janjinya, "Memerangi perburuan ilegal satwa liar yang dilindungi."
Pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan Pertama, Balai Taman Nasional Sebangau, Teguh Willy Nugroho, mengatakan burung pelanduk kalimantan yang ditemukan sesuai dengan digambarkan ahli ornitologi Prancis, Charles Lucien Bonaparte pada 1850. Gambaran itu sendiri berdasarkan spesimen yang dikumpulkan pada 1840-an oleh ahli geologi dan naturalis Jerman, Carl A.L.M. Schwaner, selama ekspedisinya ke Kalimantan.
Sejak saat itu, tidak ada spesimen atau penampakan lain yang dilaporkan. Selain itu, asal muasal spesimen masih menjadi misteri, bahkan pulau di mana spesimen tersebut diambil juga tidak jelas. Semua rujukan dan deskripsi morfologi burung penyanyi yang tergolong dalam keluarga Pellorneidae itu mengacu kepada satu spesimen tersebut.
IUCN mengklasifikasikan jenis burung Pelanduk Kalimantan dalam kelompok Rentan. Pada 2008, status burung tersebut berubah menjadi 'Kurang Data' berdasarkan penelitian terbaru yang menunjukkan kurangnya informasi yang dapat dipercaya. Dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P 106 Tahun 2018, burung itu belum masuk satwa dilindungi.
Awal mula burung tersebut ditemukan merupakan ketidaksengajaan oleh dua warga di salah satu wilayah di Kalimantan Selatan. Salah satu dari mereka merupakan anggota dari grup di media sosial bernama Galeatus, grup komunitas dan komunikasi mengenai seluk-beluk burung.
Setelah berdiskusi dan ditelaah oleh tim admin, mereka kemudian menghubungi ahli burung dari Birdpacker untuk mencari informasi lebih lanjut terkait dengan temuan tersebut. Terdapat perbedaan mencolok pada anatomi burung yang ditemukan dengan literasi yang ada, di antaranya pada warna iris mata, paruh, dan warna kaki.
"Itulah yang membuat identifikasi mengalami kesulitan saat pertama kali melihat morfologi burung ini," ujar Teguh yang juga salah satu penulis makalah mengenai burung itu.
Ia menegaskan temuan tersebut juga membuktikan bahwa keanekaragaman hayati Indonesia masih ada pada bagian-bagian terdalam hutan. Dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini, dia berpendapat, penting untuk dimanfaatkan membangun jaringan antara masyarakat lokal, peneliti pemula, peneliti profesional, serta berbagai pihak untuk dapat mengumpulkan informasi tentang keanekaragaman hayati di Indonesia.
"Jejaring ini dapat berdampak besar bagi kelestarian satwa di Indonesia,” ujar Teguh merujuk kepada jenis burung Pelanduk Kalimantan maupun spesies penting satwa endemik yang memiliki sedikit data.