Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membenarkan adanya ekspor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dari Indonesia. KLHK menetapkan kuotanya dari tahun ke tahun. Pada 2023, misalnya, besar kuota ekspor itu sebanyak 1.780 ekor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Realisasi ekspor tahun lalu sejumlah 322 ekor dari habitat alam dan 1.080 ekor dari hasil pengembangbiakan di Pulau Deli (Island Colony Breeding) dan merupakan satwa introduced," kata Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Satyawan Pudyatmoko, menjelaskan kepada TEMPO pada Rabu, 20 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satyawan menambahkan bahwa pemanfaatan monyet ekor panjang hasil penangkaran pada 2021 sebanyak 120 ekor. Jumlahnya meningkat dua kali lipat pada 2022. Sedangkan pada 2023 dicatatnya angka ekspor 193 ekor pada 2023.
Menurut dia, pemanfaatan monyet ekor panjang dilakukan untuk tujuan biomedis dalam memproduksi vaksin. Pemanfaatan berasal dari delapan unit penangkar monyet ekor panjang yang saat ini terdaftar di KLHK. Mereka tersebar di Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Sulawesi Selatan.
Satyawan meyakinkan bahwa keputusan penetapan kuota tangkap alam untuk biomedis sudah berdasarkan rekomendasi dari otoritas ilmiah yaitu Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). "Sesuai hasil survei potensi dengan tetap berdasarkan prinsip kehati-hatian dan memperhatikan keberlangsungan populasi spesies tersebut di alam," ucap Satyawan.
Untuk kuota ekspor dan pemanfaatan, kata dia, ditetapkan berdasarkan beberapa referensi dan hasil survei di beberapa lokasi yaitu Pulau Jawa, Sumatera Selatan, Pulau Deli, Sumatera Selatan, Bonerate-Sulawesi Selatan, dan lokasi lainnya, belum menunjukkan data atau kriteria bahwa spesies monyet ekor panjang harus dilindungi.
"Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999, syarat spesies dilindungi ketika terjadi penurunan signifikan populasi di alam; ukuran populasi kecil; sebaran populasi terbatas (endemik)," kata Satyawan. Karenanya, dia menambahkan, berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor P.106/MenLHK/Setjen/Kum.1/12/2018, "Monyet ekor panjang termasuk jenis tidak dilindungi."
Berdasarkan data Red List IUCN 7 Maret 2022, monyet ekor panjang secara global termasuk kategori endangered (terancam), yang sebelumnya adalah vulnerable (rentan). Salah satu pertimbangannya adalah adanya indikasi ancaman perdagangan yang 'extremelly unsustainable'. Tapi, kata Satyawan, "Status tersebut merupakan status global yang kemungkinan akan berbeda dengan status nasional Indonesia."
Seniman Wanggi Hoed bersama Koalisi Primates Fight Back melakukan aksi teatrikal di Car Free Day kawasaki Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu, 28 Januari 2024. Aksi tersebut dalam rangkaian Hari Primata Indonesia dengan mensosialisasikan sekaligus menyadarkan kepada masyarakat tentang isu eksploitasi monyet, selain itu mereka juga menuntut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menetapkan monyet ekor panjang dan beruk sebagai satwa dilindungi. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Dalam konteks nasional, menurut Satyawan, monyet ekor panjang memiliki sebaran di Sumatera, Nias, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kepulauan Batu, Bawean, Kepulauan Kangean, Karimata, Karimun Jawa, Lombok, Nusa Tenggara, Sumba, Kalimantan, Bali, Jawa dan Timor. Spesies ini juga tercatat sebagai spesies yang diintroduksi ke Pulau Kabeana dan Papua.
Ia menyebutkan monyet ekor panjang juga tercatat dijumpai keberadaannya dan merupakan spesies yang diintroduksi ke wilayah Sulawesi, Papua, Pulau Tinjil dan Deli yang bukan merupakan sebaran alaminya.
"Satwa tersebut termasuk Appendix II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yang berarti belum terancam punah tetapi hal itu dapat dikecualikan dengan dilakukan pengendalian perdagangan secara ketat melalui mekanisme kuota," tuturnya.
Baca halaman berikutnya: Hampir seribu monyet ekor panjang dijual ke amerika lebih dari Rp 13 miliar
Hampir Seribu Monyet Ekor Panjang Dihargai Amerika Lebih dari Rp 13 Miliar
Sebelumnya, Action for Primates, sebuah proyek advokasi primata non-manusia yang berbasis di Inggris, menyerukan Amerika Serikat untuk berhenti mengimpor monyet ekor panjang dari Indonesia. Menurut Action for Primates, sebanyak 1.402 monyet ekor panjang yang ditangkap dari alam liar di Indonesia diimpor oleh industri penelitian dan pengujian AS sepanjang 2023 lalu.
"Informasi tersebut terungkap menyusul permintaan Kebebasan Informasi yang diajukan kepada otoritas AS yang mengungkapkan hal itu pada 2023," tulis rilis Action for Primates pada Senin, 11 Maret 2024.
Rincian data impor yang dilakukan Amerika Serikat, yakni 322 individu pada 17 Mei, 540 ekor pada 31 Mei, dan 540 ekor lagi pada 27 Desember. Semuanya disebutkan hasil tangkapan di alam liar.
"Jumlah ini meningkat hampir 40 persen sejak 2022, ketika AS mengimpor 870 ekor monyet ekor panjang hasil tangkapan liar dan 120 ekor kera ekor panjang hasil penangkaran," kata Action for Primates.
Sedangkan kuota ekspor terakhir yang dilaporkan pemerintah Indonesia kepada CITES, organisasi yang mengawasi perdagangan satwa liar dunia, pada November 2022. Jumlah kuota saat itu adalah 1.680 ekor monyet. Angka inilah yang diduga dipakai oleh pemerintah Indonesia untuk melakukan ekspor pada 2023.
“Ada kemungkinan kalau monyet ekor panjang tangkapan alam liar yang diekspor ke AS pada 2023 berasal dari kuota 2022,” kata salah satu pendiri Action for Primates, Sarah Kite, menjawab TEMPO pada 14 Maret 2024.
Menurut Sarah, belum ada informasi publik mengenai perusahaan pengekspor dan pengimpor dari perdagangan pada 2023. Namun, Sarah menyebutkan dua perusahaan Indonesia yang mengekspor monyet pada 2022 adalah CV Inquatex dan CV Primaco Indonesia.
CV Inquatex mengekspor 870 ekor monyet ekor panjang liar ke Primate Products di Florida, AS. Ekspor ini bernilai US$ 739.500 atau sekitar Rp 11,5 miliar. Sementara itu, CV Primaco Indonesia mengekspor 120 ekor monyet ekor panjang hasil kembang biak di penangkaran kepada Charles River Laboratories. Total harganya adalah US$ 120 Ribu atau Rp 1,9 miliar.
Aktivis dari Primates Fight Back melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta, Rabu, 13 September 2023. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Sarah meminta pemerintah Indonesia untuk menghentikan penangkapan, pengembangbiakan, dan ekspor monyet ekor panjang untuk industri riset dan pengujian. “Kami juga meminta pemerintah AS untuk melepaskan diri dari kekejian ekstrem ini dengan melarang seluruh impor monyet dari Indonesia,” ucap Sarah.
Sarah juga mengatakan bahwa isu perdagangan monyet ekor panjang sedang disorot oleh CITES AS. Hal ini dilakukan setelah terdapat investigasi oleh United States Fish and Wildlife Service (USFWS) terhadap ekspor dan perdagangan monyet dari Kamboja. Meskipun fokus utamanya Kamboja, kata Sarah, negara lain yang menjadi habitat monyet ekor panjang juga menjadi sorotan, termasuk Indonesia.
Terkait kuota ekspor yang didapatnya, pihak CV Inquatex dan CV Primaco Indonesia belum juga memberikan penjelasannya sampai artikel ini dibuat.