Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Seorang jurnalis menjadi korban kekerasan aparat kepolisian di Poco Leok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, NTT, pada Rabu 2 Oktober 2024. Dia mengaku mendapat perlakuan dicekik, dipukul, dan ditendang, juga ditahan dalam mobil, saat meliput unjuk rasa masyarakat adat setempat yang menolak perluasan proyek geothermal milik PLN ke wilayah kampung mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jurnalis itu, Herry Kabut, adalah juga Pemimpin Redaksi Floresa yang berbasis di Ruteng, Manggarai. Dia menyatakan bertolak ke Poco Leok setelah mendapat kabar adanya tiga warga ditangkap aparat keamanan dalam unjuk rasa 'jaga kampung' itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam keterangan tertulisnya yang berisi kronologis kekerasan tersebut yang diterima Tempo pada Jumat 4 Oktober 2024, Herry mengatakan kalau pada hari itu dia tiba di lokasi pukul 14 Wita. "Situasi sudah tenang di mana warga tidak lagi berkonfrontasi dengan aparat keamanan," tulisnya.
Dia mengaku mendapat perlakuan dicekik, dipukul, dan ditendang karena mengambil foto-foto dan dituduh memprovokasi masyarakat adat. Padahal, Herry menambahkan, saat itu tidak satu pun aparat keamanan maupun dari PLN dan pemda setempat yang menegur atau mengimbau untuk tidak mengambil foto dan video.
Warga Poco Leok, NTT melakukan aksi penolakan Proyek Geotermal Poco Leok dan harus berhadapan dengan aparat keamanan. Foto: Istimewa
Kekerasan bertambah hingga dia sempat ditahan di dalam mobil polisi untuk diinterogasi, lalu ponselnya juga disita dan isinya diperiksa, saat dia didapati tak membawa serta kartu pers. Penjelasan bahwa dia bisa memperlihatkan surat tugas dan membuktikan kalau dirinya Pemimpin Redaksi Floresa selalu dipotong dan tidak diindahkan, bahkan dijawab dengan kekerasan, antara lain tinju ke wajahnya.
"Pukulan-pukulan itu menyebabkan pelipis kiri saya bengkak dan lebam serta lutut saya terasa sakit. Cekikan mereka juga membuat rahang kanan dan area hidung saya terluka," tutur Herry sambil menyebut para pelaku kekerasan adalah anggota polisi berseragam, juga yang mengenakan baju bebas. Ada pula seorang yang dikenalinya sesama jurnalis.
Menurut Herry, dia baru dilepas pukul 18.00 Wita. Itu pun setelah ponselnya sempat disita dan diperiksa isinya. Sejumlah arsip foto, pesan, dan identitas yang ada di sana ditanyakan. Termasuk diarahkan dalam menjawab pesan yang masuk untuk menanyakan kabar keselamatannya saat itu.
Baca halaman berikutnya: harus bikin video klarifikasi dan ternyata direkam warga
Dia baru bisa ke luar dari mobil polisi setelah bersedia memenuhi permintaan membuat video klarifikasi kalau dirinya sempat ditahan karena tidak membawa kartu identitas dan dilepaskan dalam keadaan selamat. "Saya memberi klarifikasi di belakang mobil itu dan direkam oleh dua orang polisi, yang salah satunya ikut mengintimidasi dan memukul saya," tulis Herry.
Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Indonesia mengecam keras tindakan aparat kepolisian terhadap Herry. Dia menambahkan informasi dari warga bahwa Herry ditarik dan diangkut paksa ke dalam mobil sambil dianiaya. "Kejadian tersebut didokumentasi oleh warga setempat," kata Erick Tanjung, Koordinator KKJ Indonesia, Jumat, 4 Oktober 2024.
Erick menerangkan, proyek geotermal di Poco Leok merupakan kerja sama PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai. Proyek ini masuk daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). "PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai memaksa masuk ke wilayah Poco Leok untuk membuka akses jalan proyek Geothermal pada Rabu kemarin."
Kawasan Poco Leok di NTT. Shutterstock
Kedatangan itu, kata Erick, diiringi dengan aparat kepolisian, TNI Angkatan Darat, dan Satuan Polisi Pamong Praja. Seperti yang sudah dilakukan sejak awal, kedatangan pada hari itu pun mendapat adangan dari masyarakat adat hingga terjadi bentrokan.
"Berdasarkan informasi langsung yang diperoleh dari warga sekitar, aparat tidak memperbolehkan warga Poco Leok mengambil gambar," kata Erick.
Tempo telah berupaya meminta konfirmasi dari Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo dan Executive Vice President Komunikasi Korporat Gregorius Adi Trianto tentang peristiwa pada Rabu lalu tersebut. Namun, hingga berita ini diturunkan belum mendapat tanggapan.
Upaya konfirmasi atas kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian kepada masyarakat adat dan jurnalis juga sudah dilakukan melalui pesan WhatsApp ke Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Sandi Nugroho, dan Kepala Biro Penerangan Masyarakat, Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko. Keduanya juga belum memberi tanggapan.