Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pasir telah menjadi material favorit bagi manusia untuk konstruksi bangunan rumah dan gedung-gedungnya. Tingkat kesukaan kepada material pasir bisa melonjak sebesar 45 persen dalam empat dekade ke depan. Perhitungan ini dilakukan tim peneliti yang mengatakan konsumsi yang gelap mata selama ini telah membahayakan lingkungan dan berisiko kelangkaan dari material kunci itu sendiri untuk ekpansi perkotaan di masa depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Permintaan yang terus tumbuh untuk pasir konstruksi--yang digunakan untuk membuat beton, kaca dan material konstruksi vital lainnya--telah terlihat berupa penambangan pasir yang juga meningkat. Laporan tim peneliti yang dipublikasikan dalam Jurnal Nature Sustainability, terbit online 24 Maret 2022, itu merujuk kerusakan ekologi di beberapa negara Asia dan Afrika sebagai dampak dari aktivitas tambang pasir yang disebut, 'tidak bermoral'. New Scientist, dalam laporannya, juga menyebut spesifik belasan pulau di Indonesia telah hilang karena sebab yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Xiaoyang Zhong dari Institut Ilmu Lingkungan, Leiden University, Belanda, berada di balik laporan studi itu. Dia dan sejumlah koleganya telah menghitung kalau tingkat permintaan material pasir global akan melompat dari 3,2 miliar ton per tahun pada 2020 ke 4,6 miliar ton pada 2060, dipimpin Afrika dan Asia sebagai pengisap yang terbesar. Angka-angka itu berdasarkan skenario perkembangan populasi dan pertumbuhan ekonomi, dan pemodelan menggunakan estimasi konsumsi beton dan kaca, dan proporsi luasan lantai yang dibutuhkan dalam setiap bangunan.
Tapi, tidak ada angka estimasi yang pasti dan bisa dipertanggungjawabkan untuk cadangan pasir yang tersisa di alam, sehingga tidak jelas apakah dunia bisa bertahan dengan peningkatan sebesar hasil studi itu. "Pasir, dan krisisnya yang telah terjadi di beberapa negara, telah terabaikan, menciptakan konsekuensi sosial dan lingkungan yang parah. Jika tidak bertindak sekarang, kita mungkin tak lagi punya cukup pasir untuk membangun kota-kota kita," kata Zhong.
Zhong dan timnya menemukan separuh dari proyeksi angka konsumsi pada 2060 tersebut bisa dihindari jika negara-negara menerapkan kebijakan yang sesuai. Dia menunjuk, antara lain, memperpanjang usia pakai gedung atau bangunan, menggunakan ulang beton bekas pakai, mendesain bangunan ringan dan memanfaatkan material alternatif seperti dinding kayu.
Menurut pemodelan yang dilakukan, satu reduksi terbesar konsumsi pasir konstruksi bisa datang dari efisiensi tata ruang: alokasi lebih sedikit lantai per orang dalam bangunan, berbagi kantor, dan lain sebagainya. "Sulit untuk mengatakan seberapa realistis semua itu untuk bisa diterapkan. Tapi kami ingin itu bisa dilakukan," kata Zhong.
Pekerja menggunakan pick untuk memecahkan batu dan pasir di sebuah tambang pasir di pinggiran Fond Parisien, Haiti 21 Maret 2018. REUTERS/Andres Martinez Casares
Studi dan pemodelan itu hanya melihat penggunaan pasir untuk kaca dan bangunan beton, jadi masih di bawah total kebutuhan pasir di masa depan. Data granular konsumsi pasir untuk 26 regional di dunia yang dipelajari juga dianggap masih berkekurangan, dan tidak cukup detail untuk dirinci sampai ke tingkat negara.
Namun, yang pasti, kegagalan untuk bertindak diyakini akan menambah berat beban lingkungan yang sudah tercipta pada cadangan pasir alam di sungai-sungai. Bukan hanya itu, kelangkaan pun bisa terjadi. "Luar biasa kalau tingkat permintaan yang semakin tinggi itu masih bisa dipenuhi," kata Zhong.
NEW SCIENTIST, NATURE
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.