Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TELAH banyak menikam paus,Ā Aloysius Tapoona menolak niat pemerintah menetapkan Laut Sawu di zona II, Nusa Tenggara Timur, sebagai Kawasan Konservasi Laut Sawu. āMenikam paus adalah tradisi dan kehidupan orang Lamalera,ā ujar nelayan yang sudah menangkap ratusan mamalia air itu.
Sebelumnya, pemerintah berniat menetapkan Laut Sawu sebagai daerah konservasi. Ini merupakan komitmen pemerintah untuk melaksanakan konservasi laut jangka panjang: 10 juta hektare pada 2010, dua kalinya pada 2020. Tanpa Laut Sawu, yang terdiri atas tiga zona seluas 4,5 juta hektare, kawasan konservasi perairan di seluruh Indonesia baru mencapai 9,25 juta hektare. Dengan dimasukkannya zona I dan III di Sawu, target 2010 terlampaui, menjadi 12,75 juta hektare.
Masalahnya, zona II tak bisa dikecualikan dari perlindungan. Ekosistem ketiga zona itu terhubung. Dengan begitu, kekayaannya jarang ada tandingannya: berdasarkan survei reconnaissance 2002, terdapat 336 jenis ikan karang dan 500 spesies terumbu karang.Ā Dan yang paling utama, laut ini menjadi jalur migrasi 14 mamalia dari Samudra Hindia ke Pasifik dan sebaliknya.Ā
Tapi nelayan Lamalera, yang menempati pantai sempit dan berbatu di lembah yang curam, di Pulau Lembata, dan tersohor sebagai pemburu paus, tak sepaham dengan pemerintah. Alhasil, acara World Ocean Conference di Manado pekan lalu batal menjadi ajang deklarasi zona II Sawuāterdiri atas Pulau Solor, Lembata, dan Alorāsebagai bagian dari Kawasan Konservasi Laut Sawu. āKami mengikuti kemauan masyarakat,ā ujar Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut Departemen Perikanan dan Kelautan, Agus Darmawan.
Manajer Konservasi The Nature Conservancy, Johannes Subijanto,Ā menilai penolakan nelayan Lamalera sesungguhnya akibat kurangnya informasi tentang konservasi. āPadahal konservasiĀ dapat membantu masyarakat memanfaatkan isi Laut Sawu secara berkelanjutan,ā ujarnya.
Masalahnya, yang membikin laut Sawu kehilangan kelestariannya adalah kapal-kapal bermesin besar yang setiap hari beroperasi di perairan itu. āGara-gara mereka, tangkapan kami sangat berkurang dan semakin jauh dari pantai,ā kata Lodofikus Lela Krova, seorang nelayan.
Tapi, untuk melarang kapal besar beroperasi, memang diperlukan pengaturan zonasi dan status kawasan yang jelas. Tanpa aturan ini, sulit melarang kapal ikan modern menguras isi Laut Sawu.
Di antara perbedaan kepentingan ini, ada gagasan menarik: zona ini dilindungi dari kapal modern atau segala jenis eksploitasi, tapi nelayan Lamalera dibiarkan menikam paus. Pertimbangannya, aktivitas nelayan Lamalera tak akan membikin paus punah. āKapasitas alat tangkap nelayan Lamalera terbatas dan mereka hanya menangkap paus jantan dewasa,ā ujar pakar setasea (mamalia laut) asal Australia, Benjamin Kahn,Ā kepada Tempo.
Dia menghitung, selama 40 tahun terakhir, nelayan Lamalera hanya menangkapĀ 838 ekor paus. Ini artinya rata-rata 21 ekor paus per tahun. Karena penangkapan dilakukan secara tradisional, sesungguhnya hasilnya fluktuatif. Bahkan ada saatnya dalam setahun nelayan tidak berhasil menangkap seekor paus pun.
Nelayan Lamalera biasanya menangkap paus sperma (Physeter macrocephalus) dan melepaskan paus biru (Balaenoptera musculus) karena hikayat menyebut jasa paus ini kepada orang Lamalera. Mereka juga jarang menangkap seguni (Orcanus orca) karena keganasannya. āPerburuan paus di Lamalera sebenarnya cocok dengan definisi Komisi Paus Internasional (IWC). Artinya, mamalia itu tetap bisa berburu,ā kata Benjamin kepada Tempo.
Berdasarkan moratorium perburuan paus pada 1986, IWC memang mengizinkan perburuan paus non-komersial. Suku EskimoĀ di Alaska, Inuit di Kanada, atau suku di daerah otonomi Chukotka-Okrug di Rusia bisa berburu paus secara leluasa, mendapatkan perlindungan pemerintah dalam perburuan itu, bahkan ikut menetapkan kuota perburuan paus.
I G.G. Maha Adi (Lamalera), Firman Atmakusuma (Manado)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo