Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENIKMATI karya tari bergaya klasik tidak ubahnya melihat suatu ekshibisi dalam bela diri. Jurus atau rangkaian gerak yang dimainkan oleh pendekar belia akan menjadi sangat berbeda ketika dibawakan oleh guru mereka. Namun padanan ini tidak berlaku pada Lelangen Beksan yang dipentaskan kelompok PadneƧwara pada 8 dan 9 Mei 2009 di Komunitas Salihara, Jakarta Selatan.
Pada ruang panggung yang relatif sempit itu digelar empat karya lepas, yaitu Beksan Noworetno, Bondo Boyo, Enggar Enggar, dan Kumolobumi. Penonton yang menyesak di blackbox theater itu tidak tergiring untuk mempersoalkan perbedaan pengalaman atau usia para penampil. Ketiga aspek yang menjadi dasar bagi seorang penari, meliputi wiraga, wirama, dan wirasa, telah terkuasai dengan baik oleh rata-rata penari.
PadneƧwara membuka pertunjukannya dengan Beksan Noworetno, dibawakan oleh sembilan penari muda yang bergerak rampak dalam busana yang sama. Nomor ini merupakan garapan Rury Nostalgia yang berangkat dari bentuk bedaya. Pertunjukan lalu dilanjutkan dengan Bondo Boyo, yang merupakan tari keprajuritan, dibawakan oleh empat penari laki-laki.
Salah satu tari yang mewah adalah Enggar Enggar karya Sunarno dan Wahyu Santoso Prabowo. Mewah, karena dalam karya ini tampil pasangan tari legendaris Retno Maruti dan Wahyu Santoso Prabowo, yang menjadi pasangan tari sejak lebih dari 30 tahun lalu. Dalam tari yang berkisah tentang Damarwulan yang berpamitan kepada Anjasmara untuk memenuhi tugas ini, kedua penari juga membawakan tembang. Suatu penampilan yang tidak setiap waktu ada.
Barangkali penonton sempat khawatir pertunjukan akan menjadi antiklimaks setelah nomor itu. Namun anggapan ini harus segera ditepis ketika Kumolobumi yang digarap Rury Nostalgia dimulai. Kisahnya tentang pertarungan dua prajurit perempuan, Adaninggar dari dataran Cina dan Kelaswara dari Kerajaan Kelan, dengan menggunakan kipas sebagai senjata. Pelik-melik persaingan dalam memperebutkan harkat di satu sisi dan cinta di sisi lain terungkap dengan memadai lewat penampilan Rury Nostalgia dan Hany Herlina.
Hal yang serta-merta meruap seusai menonton pertunjukan adalah dibutuhkan proses yang panjang untuk sampai pada suatu kualitas tertentu. Dalam proses garapan tari, menjalani suatu bentuk sangat tidak cukup hanya dengan melakukannya dengan benar. Peristiwa di atas panggung hanya mungkin terjadi jika semua penari mengalami perjalanan pentasnya.
Dalam pentas tari lepas ini cukup terasa upaya untuk melakukan pembaruan atas bentuk klasikāhal yang niscaya dibutuhkan dalam rangka aktualisasi dengan zaman yang terus berubah. Namun hal itu perlu dibarengi pula dengan cara memandang persoalan secara berbeda, untuk mendapatkan kemungkinan-kemungkinan baru atas tema-tema yang serupa. Pengayaan yang tentunya akan juga memungkinkan PadneƧwara tidak sekadar berkutat dengan kelampauan, tapi juga menjawab persoalan kekinian.
Retno Maruti, Wahyu Santoso Prabowo, Wati Gularso, Yuni Trisapto, Nungki Kusumastuti, dan Menul Sularto membuktikan itu dengan seluruh kiprahnya. Mereka bukan nama asing dalam dunia tari. Dengan totalitas dan intensitas pula mereka berhasil mengantar generasi yang lebih muda untuk meraih capaian mereka saat ini.
Mengusung tajuk Lelangen Beksan, kelompok yang berangkat dari tradisi tari Jawa klasik ini seperti tengah merayakan kenikmatan tari. Pencapaian suatu karya bukan lagi sekadar hiburan atau pelipur bagi penonton ataupun penari itu sendiri. Pada puncaknya, suatu karya akan menjelma jadi pesona ketika orang tak lagi berbicara perihal baik dan buruk, indah dan tak indah. Tampilan visual dari aspek bentuk berhasil memukau, sementara energinya menyentuh hati.
Ags. Arya Dipayana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo