Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAMANDAPI merindukan lautnya yang dulu. Nelayan di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, ini merasa laut yang dia cintai telah berubah. Ilmu kelautan, bekal dari kakek buyut yang pawang laut, tak lagi jitu untuk meramal kedatangan angin barat dan timur. āKami sering paceklik, ombak mengamuk,ā kata lelaki 60 tahun ini kepada Tempo.
Demianus, nelayan dari Kampung Saubeba, Kabupaten Sorong, Papua, ini juga risau. āTerumbu karang rusak. Akibatnya, ikan berkurang karena makanan mereka tak banyak lagi,ā katanya. Pantai Jamursba Medi, di dekat Saubeba, pun beberapa tahun terakhir tak lagi ramai didatangi penyu yang hendak bertelur.
Ada jutaan Lamandapi dan Demianus di negeri maritim ini. Di samping petani, kaum nelayan di negeri ini adalah kelompok yang langsung bersentuhan dengan alam. Mereka ada di barisan paling depan berhadapan dengan dampak kerusakan yang mobat-mabit tak menentu.
Demianus diundang oleh World Wild Life (WWF) Indonesia untuk berbicara di Konferensi Kelautan Sedunia di Manado, 11-15 Mei lalu. āHarus ada perhatian lebih dari pemerintah dan dunia internasional,ā kata Demianus. Seperti Lamandapi, Demianus menitipkan masa depan laut kepada para delegasi dalam konferensi ini.
Di situ delegasi dari 73 negara dan 11 lembaga internasional sepakat membawa isu kelautan ke arena internasional. Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, Desember nanti, adalah tujuan utama.
Lima hari berembuk, peserta konferensi menghasilkan Deklarasi Kelautan Manado. Salah satu poinnya, dimensi kelautan dan pesisir harus menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan di Kopenhagen nanti. āLaut dan pesisir tak boleh lagi diabaikan,ā kata Arif Havas Oegroseno, kepala negosiator delegasi Indonesia. Selama ini pembahasan perubahan iklim selalu saja ihwal deforestasi dan pembalakan ilegal. Padahal laut juga memiliki peran besar dalam konteks perubahan iklim. āKalau permukaan air laut naik, pulau dan hutan bisa hilang,ā kata Arif.
Sarwono Kusumaatmadja, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, menguatkan pendapat Arif. Menurut dia, perlu keberanian untuk memasukkan masalah kelautan dalam skenario global tentang perubahan iklim. āHarus ada pihak yang membesarkan isu laut secara global,ā kata Sarwono.
Indonesia tentu saja aktor penting dalam soal kelautan. Negeri ini memiliki 17 ribu pulau, sebagian besar adalah pulau kecil yang berisiko tenggelam jika permukaan air laut naik. Terumbu karang dengan keragaman biota paling kaya pun ada di berbagai perairan negeri ini.
Di seluruh dunia, terumbu karang terpusat di wilayah segitiga yang dikenal sebagai Laut Amazon. Total luasnya 5,7 juta kilometer persegi, yang sebagian besar melintasi enam negara, yakni Indonesia, Filipina, Kepulauan Solomon, Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste.
Dua tahun lalu, di Sydney, Australia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memelopori dibentuknya prakarsa segitiga terumbu karang (coralreef triangle initiative, CTI). Tujuannya, agar suara negara-negara di sekitar segitiga terumbu karang lebih didengar dunia. Prakarsa ini juga bertujuan mendorong berbagai kerja sama bilateral di bidang kelautan.
Benar, tak mudah meyakinkan dunia internasional akan pentingnya merawat laut secara serius. Sebagai catatan, butuh dua dekade untuk membuat topik perubahan iklim masuk ke Protokol Kyoto 1992, sejak digulirkan pada 1977. āTidak mudah untuk dapat diterima secara langsung,ā ucap Arif Havas.
Nancy Knowlton, Ketua Ilmu Kelautan dari Smithsonian Institution Amerika Serikat, menyatakan bahwa laut sanggup menjadi solusi penyerap emisi karbon secara signifikan. Emisi karbon ini adalah efek samping dari seluruh kegiatan kehidupan manusia, terutama industrialisasi dan modernisasi. Namun penyerapan karbon ini membuat laut menjadi lebih asam. āUjungnya, kehidupan biota laut jadi rusak,ā kata Knowlton. Jadi, dia menambahkan, penanganan efek perubahan iklim haruslah terpadu. Tak bisa sepotong-sepotong.
Tingginya kadar keasaman laut berdampak panjang. Cangkang binatang laut seperti udang dan kepiting jadi rapuh. Terumbu karang memutih, lapuk seperti tulang keropos, dan akhirnya lumat dan menjadi sedimen. Ikan-ikan pun kehilangan habitat dan santapan plankton. Akibatnya, bukan hanya ekosistem laut yang kacau, perekonomian masyarakat ikut terganggu. āKemiskinan meningkat, ekonomi terpuruk, dan urbanisasi tak bisa dicegah,ā kata Ove Hoegh-Guldberg dari University of Queensland, Australia.
Masyarakat pesisir memang yang paling rentan terhadap dampak kerusakan biota laut akibat perubahan iklim. āKarena itu, mereka harus mendapat kompensasi,ā tutur Arif Havas. Konsep kompensasi ini antara lain diusulkan dalam skema perdagangan karbon seperti yang mulai dirintis untuk kawasan hutan.
Konferensi Manado ini menghasilkan lima butir kesepakatan di antara keenam negara segitiga terumbu karang. āSifatnya tidak mengikat. Tak ada sanksi bagi negara yang tidak menjalankan,ā kata Direktur Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan, M. Eko Rudianto.
Lima butir kesepakatan itu diharapkan menjadi program kerja selama 20 tahun mendatang. Yakni, ada sebuah wilayah yang dikelola secara baik, pengelolaan perikanan berbasis ekosistem, menetapkan kawasan konservasi laut, menggulirkan program adaptasi perubahan iklim, dan melestarikan spesies yang terancam punah.
Sampai acara berakhir, bisa dibilang Konferensi Kelautan ini berjalan lancar. Deklarasi telah diteken, meskipun tak ada ikatan secara formal. Namun forum yang menelan biaya Rp 380 miliar ini juga menuai kritik keras dari para aktivis lingkungan. Konferensi ini juga diwarnai penahanan dua aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) oleh polisi.
Maimunah dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengkritik hak-hak nelayan tradisional yang tidak diberi tempat atas nama konservasi. Misalnya, nelayan di Lembata dan Lamalera, Nusa Tenggara Timur, sejak tahun 2007 sama sekali tidak boleh memburu ikan paus dengan cara ditombak. āPadahal, nelayan tradisional punya kearifan. Mereka tidak akan membunuh ikan secara berlebihan,ā katanya.
Sorotan keras, menurut Maimunah, seharusnya diarahkan ke eksploitasi laut dengan cara brutal. Pencurian ikan di perairan Indonesia tercatat dilakukan kapal nelayan dari 10 negara, antara lain Thailand, Cina, Vietnam, Korea, Malaysia, dan Filipinaāyang delegasinya hadir di WOC.
Praktek illegal fishing ini telah membuat perolehan ikan secara nasional merosot 30-50 persen dalam 15 tahun terakhir. Potensi kerugiannya pun bukan main, yakni Rp 30 triliun per tahun. Maimunah bertanya keheranan, āLa, kenapa hal serius ini tidak dibahas di konferensi?ā Seharusnya, dia menambahkan, WOC memberikan ruang untuk pencarian solusi terhadap persoalan yang amat merugikan Indonesia ini.
Persoalan serius lain yang tidak dibahas adalah kewajiban korporasi tambang kelas kakap yang mengotori laut dengan limbah. āTak ada desakan atau sanksi apa pun kepada mereka yang punya daya destruksi jauh lebih hebat ketimbang nelayan Lamalera,ā kata Maimunah.
Secara keseluruhan, menurut Erwin Usman dari Walhi, konferensi ini cenderung menjadi forum ilmiah yang kurang mengakomodasi persoalan nyata. Tak ada tempat bagi nelayan tradisional yang kelimpungan didera efek perubahan iklim. āMestinya ini hajatan untuk para nelayan yang beneran, bukan nelayan berdasi,ā kata Erwin.
Firman Atmakusuma (Manado), Adek Media Roza, MCH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo