Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta- Transportasi merupakan konsumen bahan bakar minyak (BBM) terbesar di Indonesia. Dari 47 persen total konsumsi BBM secara nasional, 88 persen dipakai oleh sektor transportasi darat. Itu sebabnya, Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) mendorong penggunaan bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi darat dan angkutan umum.
"Pemanfaatan BBG untuk transportasi dimulai pada 1987 dan semakin gencar setelah dicanangkan Program Langit Biru pada 1996. Selain lebih efisien dari aspek harga dan technical engineering, penggunaan BBG mampu menekan pencemara udara," ujar Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin di Conference Room KPBB, Sarinah, Jakarta Pusat, Jumat, 27 September 2019.
Penggunaan BBG juga sudah diatur dalam beberapa peraturan, seperti UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, Perpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, PP Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, dan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi.
Apabila pada 1987 total konsumsi BBG untuk transportasi mencapai 204 Kiloliter setara Premium (KLSP), Ahmad melanjutkan, maka 3 tahun setelah dicanangkan Program Langit Biru pemakai BBG mencapai puncaknya yaitu 55.637 KLSP, terdiri atas 2 jenis gas yaitu CNG dan LPG.
"Namun kemudian berangsur-angsur total konsumsinya menurun dengan kelalaian para pengambil kebijakan untuk mempertahankan kebijakan insentif bagi pengguna maupun retailer BBG," kata Ahmad. "Misalnya harga BBG pada level maksimum 55 persen dari harga bensin dan kontinuitas skema kredit pada instalasi conversion kit."
Selain itu, yang membuat konsumsi BBG menurun ,menurut Ahmad adalah upgrade periodik teknologi pengisian (fueling technology) berikut memperbanyak SPBG, dan memperbaiki kualitas BBG (terutama water content). Termasuk ketiadaan fasilitas dan personel, dan kontinuitas pasokan tidak memenuhi syarat milimal (2 bar) hingga Juni 2008.
Keadaan tersebut, Ahmad berujar, membuat pemanfaatan BBG untuk transportasi umum turun menjadi hanya sekitar 4.854 KLSP pada 2007. Seiring dengan pemanfaatan gas untuk Trans Jakarta, maka perlahan total pemanfaatan gas untuk transportasi kembali meningkat, 29.986 KLSP pada 2010.
Pada 2010, kebijakan harga ditetapkan oleh Menteri ESDM, yang memberikan penyertaan modal untuk Pertamina sebesar Rp 2,6 triliun untuk pipanisasi CNG dari Depok ke wilayah Jakarta Selatan. Hal itu memicu peningkatan jumlah SPBG di Jabodetabek dari 7 unit pada 2010 menjadi 32 unit pada 2014.
"Disambung dengan Program Gogas pada 2011, mendongkrak kembali penjualan CNG yang puncaknya terjadi pada 2014 mencapai 144.320 KLSP. Pemda DKI Jakarta kemudian mengakomodasi kembalinya penggunaan BBM (Solar) untuk bahan bakar angkutan umum," tutur Ahmad.
Keputusan ini dijadikan dalih Trans Jakarta kembali menggunakan BBM kotor berupa solar 48 yang memiliki kadar belerang di atas 2000 ppm. "Kebijakan pemanfaatan gas ternyata tidak memperoleh political will yang memadai termasuk dari Gubernur DKI Jakarta kala itu," kata Ahmad.
Akibatnya, menurut Ahmad, menimbulkan persoalan bagi pihak yang mendukung program misalnya operator SPBG yang berinvestasi mahal membangun SPBG dan perlahan mulai kehilangan pelanggannya. Selain angkutan umum seperti mikrolet, taksi dan bajaj, juga pemilik kendaraan pribadi, kesulitan memperoleh pasokan gas berkualitas dan jumlah yang memadai karena SPBG mulai tutup akibat penurunan konsumen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini