Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bisakah Kebakaran Los Angeles Terjadi Juga di Indonesia?

Kebakaran Los Angeles, Amerika Serikat, dipicu konversi hutan menjadi permukiman. Terdengar seperti Indonesia.

14 Januari 2025 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Api berkobar di sejumlah rumah akibat kebakaran hutan Eaton di Altadena, California, Amerika Serikat, 8 Januari 2025. REUTERS/David Swanson

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Angin panas dengan kondisi kekeringan ekstrem yang berlangsung dalam satu waktu menjadi biang utama kebakaran hebat yang melanda Los Angeles, negara bagian California, Amerika Serikat.

  • Sementara Amerika Serikat menghadapi ancaman kebakaran karena hutan dikonversi menjadi permukiman, di Indonesia hutan diubah menjadi kebun kelapa sawit.

  • Suhu udara perkebunan kelapa sawit di Kalimantan rata-rata 6,5 derajat Celsius lebih panas ketimbang hutan primer.

ANGIN panas dengan kondisi kekeringan ekstrem yang berlangsung dalam satu waktu menjadi biang utama kebakaran hebat yang melanda Los Angeles, negara bagian California, Amerika Serikat, pada Selasa, 7 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Profesor riset klimatologi dan perubahan iklim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, menyebutnya sebagai fenomena Santa Ana—angin yang bertiup dari padang pasir, melintasi pesisir California Selatan yang berasal dari massa udara dingin, kering, dan bertekanan tinggi di Great Basin. “Angin itu bisa dikatakan sebagai tornado api dengan level nol atau F-0 sehingga bisa dibayangkan betapa cepatnya kebakaran karena dapat berpindah-pindah tempat dengan drastis,” kata Erma kepada Tempo pada Senin, 13 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fenomena Santa Ana diperparah oleh kondisi lingkungan yang dipenuhi permukiman dan jaringan listrik yang memudahkan api terus berkobar selama beberapa hari.

Kebakaran hebat di Los Angeles dimulai dari kawasan perumahan mewah Pacific Palisades yang terletak di antara Pegunungan Santa Monica dan Samudra Pasifik pada pukul 10.30 waktu setempat. Kebakaran kemudian meluas dan menghanguskan sekira 153 ribu hektare hutan dan lahan karena didukung kecepatan angin yang mencapai 160 kilometer per jam. Insiden ini memicu kehancuran 12 ribu bangunan, membuat 166 ribu warga mengungsi, dan mengakibatkan 24 orang tewas.

Menurut Erma, kebakaran Los Angeles ini bukan yang pertama kali terjadi di California. Pada November 1961, angin tornado yang mendorong api membakar 484 rumah. Kejadian kembali terjadi pada 1991 di perbukitan Oakland dan pada 1993 di California bagian utara atau dekat Los Angeles. Saat itu skala kerusakan tak semasif sekarang karena perbukitan di Los Angeles belum dipenuhi permukiman.

Temuan Erma tersebut berbasis fenomena Santa Ana yang pernah ditulis oleh C. Donald Ahrens dalam buku Meteorology Today: An Introduction to Weather, Climate, and the Environment pada 2016. Erma menyebutkan buku tersebut menjelaskan kemampuan Santa Ana membawa api dan menghanguskan segala yang dilewatinya. Hal ini dipicu oleh meningkatnya tekanan angin dengan suhu udara yang mencapai 48 derajat Celsius yang berlangsung beberapa hari tanpa jeda.

Kobaran api di kawasan perumahan mewah Pacific Palisades, California, Amerka Serikat, 7 Januari 2025. REUTERS/Ringo Chiu

Laporan World Resources Institute (WRI) Indonesia menyebutkan area hutan yang terbakar secara global mengalami peningkatan 5,4 persen per tahun dalam kurun waktu 2001-2023. “Kebakaran hutan sekarang mengakibatkan hilangnya tutupan pohon sebesar hampir 6 juta hektare lebih banyak dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi pada 2001. Luas areanya kira-kira seukuran Kroasia,” demikian WRI Indonesia menulis. 

Kebakaran juga menjadi penyebab utama hilangnya tutupan pohon secara global dibanding faktor tambang dan industri kehutanan. Rekor kebakaran terbesar terjadi pada 2020, 2021, dan 2023. Faktor utamanya adalah perubahan iklim, yang ditandai dengan gelombang panas ekstrem lima kali lebih besar dibanding pada 150 tahun silam. Ketika hutan terbakar, pohon melepaskan karbon yang disimpan di dalam batang, cabang, dan daun, hingga tanah.

Amerika Serikat menghadapi ancaman kebakaran karena hutan dikonversi menjadi permukiman, bahkan perkotaan. Pada 2022, hampir 1 juta hektare tutupan hutan ludes dilahap jago merah dengan kerugian lingkungan setara dengan US$ 3,3 miliar. Hal ini belum ditambah jumlah korban jiwa yang terus meningkat. 

Suhu udara yang panas sebetulnya menjadi potensi kunci terjadinya kebakaran. Erma berkaca pada kemarau panjang pada 1997 serta 2015 yang pernah mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, terutama di Kalimantan. Borneo menjadi sorotan karena memiliki suhu udara lebih tinggi daripada pulau lain. Bahkan saban tahun rutin terbakar akibat perubahan iklim dalam skala mikro.

Perubahan iklim skala mikro merujuk pada hasil riset Stephen R. Hardwick dan para sejawatnya yang dipublikasikan dalam jurnal Agricultural and Forest Meteorology pada 28 November 2014. Penelitian Stephen mendapati suhu udara perkebunan kelapa sawit di Kalimantan rata-rata 6,5 derajat Celsius lebih panas ketimbang hutan primer.

Kondisi ini jauh lebih tinggi daripada kondisi hutan bekas tebangan yang hanya mengalami peningkatan suhu 2,5 derajat Celsius dari hutan alam. Penelitian mereka dilakukan di hutan tropis, Hutan Lindung Kalabakan, Negara Bagian Sabah, Malaysia.

Erma menyebutkan perkebunan sawit tak hanya meningkatkan suhu bumi dalam skala mikro, tapi juga dapat mengubah penguapan air, perubahan tekanan angin, dan memicu fenomena alam lain. Persoalannya, kondisi hutan tropis seperti Kalimantan menjadi penentu karena berada di ekuator atau khatulistiwa bumi. Jadi peningkatan suhu bumi dalam skala mikro dapat menjadi penentu perubahan iklim dunia.

Kondisi pemukiman Altadena dilihat dari satelit akibat kebakaran hutan di California, Amerika Serikat, 8 Januari 2024. Maxar Technologies/Handout via REUTERS

Dia cemas apabila pemerintah di masa mendatang bakal memperluas lahan sawit dengan menggunduli hutan. Kekhawatiran alumnus Institut Teknologi Bandung tersebut dipicu oleh pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang akan menambah kebun sawit, meski itu dengan cara deforestasi. Jika hal itu benar terjadi, perubahan iklim akan makin parah, yang ditandai dengan masifnya kerusakan lingkungan disertai bencana hidrometeorologi.

Senada dengan Erma, guru besar perlindungan hutan IPB University, Bambang Hero Saharjo, ikut mencemaskan kejadian kebakaran hutan yang tak masuk akal di Amerika Serikat tersebut. Dia mengatakan kebakaran seperti itu juga bisa berpotensi terjadi di Indonesia. “Bedanya, di Indonesia, 99 persen kebakaran hutan disebabkan oleh perbuatan manusia,” ucap Bambang.

Kebakaran karena ulah manusia itu muncul karena tujuan pembukaan lahan di kawasan hutan. Biasanya kebakaran meluas menjadi bencana karena melahap hutan atau gambut kering yang mudah terbakar. Masalah ini diperparah oleh minimnya fasilitas yang disediakan pemerintah dalam upaya pengendalian api. Tak mengherankan jika kebakaran hebat pernah terjadi pada 1997, 2015, dan 2019.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik mengingatkan bahwa kebakaran hutan besar di Indonesia hampir selalu terjadi empat tahun sekali, bahkan saban tahun selalu muncul meski dalam skala kecil. “Musababnya adalah kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celsius yang kemudian meningkatkan potensi bencana hingga delapan kali lipat dibanding pada era Revolusi Industri,” tutur Iqbal.

Adapun faktor kebakaran besar berulang setiap empat tahun adalah El Niño atau fenomena cuaca ekstrem yang meningkatkan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik menjadi lebih panas. Bencana hidrometeorologi diperparah oleh masifnya pembukaan hutan. Merujuk pada data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, area kebakaran tahun lalu mencapai 283 ribu hektare serta 1,16 juta hektare pada 2023. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus