Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Peneliti BRIN Sebut Perubahan Hutan Menjadi Kebun Sawit Bisa Memperparah Perubahan Iklim

Pernyataan Prabowo yang menyamakan kelapa sawit dengan pohon di hutan alam juga dinilai menyesatkan.

13 Januari 2025 | 19.19 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Shutterstock.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menilai rencana perluasan perkebunan kelapa sawit untuk meningkatkan ekspor minyak kelapa sawit yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto bisa memperparah perubahan iklim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan Prabowo yang menyamakan kelapa sawit dengan pohon di hutan alam juga dinilai menyesatkan. Peneliti di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Erma Yulihastin mengatakan bahwa perubahan hutan menjadi kebun kelapa sawit dapat memperburuk perubahan iklim, khususnya iklim lokal. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penemuan ini didasarkan pada penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Agricultural and Forest Meteorology pada Februari 2015, yang mengungkapkan perbedaan suhu yang signifikan antara hutan primer dan kebun kelapa sawit. 

Penelitian berjudul "The relationship between leaf area index and microclimate in tropical forest and oil palm plantation: Forest disturbance drives changes in microclimate" itu memonitor lokasi-lokasi di Borneo. Hasilnya, ditemukan bahwa suhu di kebun kelapa sawit meningkat hingga 6,5°C dibandingkan dengan hutan primer. Sementara hutan sekunder mengalami kenaikan suhu sebesar 2,5°C. 

“Artinya terjadi peningkatan suhu udara. Itu hasil penemuan yang sangat signifikan, bahwa perbedaan suhunya itu mencapai 6,5 derajat Celsius, itu ada pada temperatur harian dan juga muncul di temperatur maksimumnya,” kata Erma ketika dihubungi Tempo, Senin, 13 Januari 2025. 

Tidak hanya suhu, Erma menjelaskan bahwa hal tersebut juga berpengaruh pada kelembaban, uap air, serta panas laten dan panas sensibel. Dia menegaskan bahwa perubahan suhu yang signifikan ini mengindikasikan terjadinya perubahan iklim lokal. 

“Kalau ada kelembaban yang berubah, uap air dan sebagainya, maka artinya itu unsur-unsur cuaca semuanya juga sudah mulai berubah. Ada tujuh parameter yang diukur dalam riset tersebut,” tuturnya.

Erma juga menyinggung pernyataan yang menyebutkan bahwa pembukaan kelapa sawit tidak menyebabkan perubahan iklim global. “Perubahan iklim lokalnya terjadi, dan itu sudah dibuktikan,” kata dia. “Perubahan iklim lokal ini akan menambah dan memperparah perubahan iklim global yang sudah terjadi.”

Erma juga menyoroti dampak lebih luas dari perubahan iklim lokal yang ditimbulkan oleh pembukaan lahan kelapa sawit. “Iklim lokal yang berubah di area yang sangat luas, misalnya 100 juta hektare, akan memperburuk suhu global yang sudah meningkat 1,5 derajat Celsius,” ucapnya. Dia juga menambahkan bahwa perubahan ini mempengaruhi sirkulasi atmosfer yang penting untuk iklim dunia.

Dengan temuan tersebut, Erma menekankan pentingnya pemasangan alat jaringan pengamatan cuaca yang luas di seluruh wilayah agar bisa mendeteksi perubahan suhu secara real-time. “Sehingga tidak ada data yang disembunyikan. Semua orang bisa tahu bahwa benar terjadi peningkatan suhu yang sangat tinggi dibandingkan dengan area hutannya,” katanya.

Dampak dari perubahan ini, kata Erma, juga dirasakan oleh semua pihak, bukan hanya masyarakat adat di sekitar kawasan tersebut. Sebab, perubahan iklim lokal berpotensi mempengaruhi iklim global secara keseluruhan. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus