Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Palangka Raya - Kondisi perkebunan rotan di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, yang merupakan sentra penghasil rotan, saat ini mulai terpuruk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain karena harga yang tak kunjung membaik, masuknya perkebunan kelapa sawit juga menjadi penyebab rotan tak lagi menjadi primadona
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Bila tidak segera diatasi, maka akan berubah fungsi menjadi kebun kelapa sawit," ujar Ronald, Kepala Sub Bidang Ekonomi Bappeda Kabupaten Katingan, kepada wartawan di Palangka Raya, Jumat, 11 Oktober 2019.
Ronald mengatakan dengan terus terpuruknya harga rotan dan belum dibukanya keran ekspor rotan mentah dan rotan setengah jadi membuat sejumlah petani rotan putus asa dan besar kemungkinan lahan yang selama ini ditanami rotan berubah menjadi kebun kelapa sawit karena lebih menguntungkan.
"Kita berharap kepada pemerintah dalam hal ini Menteri Perdagangan untuk mau membuka keran ekspor rotan," ujarnya
Seperti diketahui sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 35 Tahun 2011 mengenai larangan ekspor rotan dalam bentuk mentah dan setengah jadi, harga rotan turun drastis hingga Rp 2.200 per kilogram.
Kondisi ini terjadi bertahun-tahun dan hingga akhirnya pada bulan Agustus 2019 harganya merambat naik menjadi Rp 3.000 per kg. Namun harga itu jauh lebih rendah bila dibandingkan tahun 2011 lalu sebelum keluarnya Peraturan Menteri Perdagangan. Saat itu harga rotan masih di kisaran Rp 7.000-8.000 per kg.
Nurul Edy, Asisten II Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah mengatakan pihaknya sudah beberapa kali meminta untuk dibuka keran ekspor itu. "Namun hingga saat ini tidak dibuka," ujarnya.
Pemerintah Kalimantan Tengah dan Katingan sebagai penghasil rotan terbanyak sudah berusaha mengembangkan rotan menjadi bahan produk namun hasilnya tidak maksimal.
"Produk bahan rotan tidak laku dijual dan tidak berkembang padahal pemerintah sudah melakukan pelatihan baik di Kabupaten Katingan dan di Jawa Barat, namun hasilnya tetap tidak baik," keluhnya.
Setian, Deputi Bank Indonesia Perwakilan Kalimantan Tengah, mengatakan bahwa pihaknya bersedia bersama-sama melakukan kajian mengapa harga rotan terpuruk. "Kami (BI) akan sama-sama kaji masalah ini dan mencarikan solusi ke depan," ujarnya.
Masukan dari BI, kata Setian, agar produk rotan dihilirisasikan saja. "Padahal jika kita buat menjadi produk maka harga akan lebih menjual dan mahal dari pada produk mentah," ujarnya.
Selama ini BI sudah memberikan bantuan pada dua UMKM pembuat tas dari rotan. "Dan kita bawa saat acara BI yang dinamai Kerajinan Kreatif Indonesia (KKI) yang diselenggarakan setiap tahun," ujarnya. "Dan ternyata itu berefek positif karena banyak yang membeli dengan harga bagus."
KARANA WW