Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Angan-angan Semu Tinggalkan Batu Bara

Pemerintah masih mengizinkan pembangunan 12 unit PLTU captive berdaya total 30 gigawatt hingga 2030. Bergantung pada investor.

25 Juli 2024 | 00.00 WIB

Aktivitas tambang batu Bara di Kalimantan Selatan. Dok. TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjo
Perbesar
Aktivitas tambang batu Bara di Kalimantan Selatan. Dok. TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SEJAK di kampungnya berdiri kawasan industri pengolahan bijih nikel, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), kehidupan Awaluddin, 37 tahun, berubah 180 derajat. Dulu, warga Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, itu bisa mencari ikan di perairan Laut Banda yang tak jauh dari pantai. Sekarang, terumbu karang mati, hutan bakau lenyap, dan air laut menjadi panas. “Tidak ada lagi ikan,” kata Awaluddin, Sabtu, 20 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pemicu perubahan itu, kata Awaluddin, adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara milik PT IMIP yang membuang limbah air bahang ke perairan. Air limbah PLTU itu membuat air laut di sepanjang pesisir Fatufia hingga berjarak satu mil dari bibir pantai menjadi panas. “Sejak 2017, keramba-keramba tempat pembiakan ikan dan lobster sudah musnah,” tuturnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Kerusakan yang ditimbulkan PLTU milik PT IMIP itu bukan hanya di laut, tapi juga di darat dan udara. Tailing dan tanah tambang yang terbawa air hujan masuk ke sungai dan merembes ke dalam air tanah. Akibatnya, masyarakat tidak bisa lagi mengkonsumsi air sungai maupun air tanah yang tercemar. PLTU juga menyebarkan debu yang keluar dari cerobong asap. Debu beterbangan dan menyelimuti rumah penduduk.

PT IMIP memiliki dan mengoperasikan dua pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dengan daya 5.319 megawatt dan 1.520 megawatt. PLTU tersebut menggunakan mekanisme captive power atau pembangkit listrik yang dioperasikan mandiri dan mendapat izin dari pemerintah. Saban tahun, PLTU tersebut mengkonsumsi 9 juta ton batu bara untuk menggerakkan smelter. Jumlah itu setara dengan muatan 2.000 kapal tongkang.

Tempo mengirim surat permohonan wawancara kepada pemimpin PT IMIP. Direktur Komunikasi PT IMIP Emilia Bassar mengaku masih akan mempelajari pertanyaan yang dikirim untuknya. Pertanyaan ke Emilia itu mencakup dampak PLTU batu bara dan penghiliran smelter PT IMIP terhadap lingkungan. “Setiba di kantor sore ini, saya kirim jawabannya,” ujar Emilia pada Selasa, 23 Juli 2024, tapi jawaban tersebut tak kunjung dikirim hingga berita ini ditulis.

Tambang dan smelter nikel di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) diduga mencemari udara dan air. Dok. Walhi Sulteng

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa setuju bila disebutkan bahwa PLTU captive bertolak belakang dengan target ambisius pemerintah dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca. Pemerintah seolah-olah membiarkan industri smelter menggunakan sumber listrik batu bara. “Ini terjadi karena pemerintah bergantung pada investor yang mengizinkan pembangunan sumber listrik captive power,” kata Fabby.

Target pengurangan emisi sebetulnya merujuk pada komitmen Indonesia yang tercantum dalam dokumen Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC). Pada 2030, menurut NDC, sektor energi wajib mengurangi emisi karbon sebesar 258 juta ton setara dengan karbon dioksida (CO2e). Dengan demikian, sektor energi harus melakukan transisi energi terbarukan.

Kenyataannya, Fabby justru menemukan hal sebaliknya. Pemerintah masih merencanakan untuk mengizinkan pembangunan 30 gigawatt PLTU captive dengan jumlah 11-12 unit hingga 2030. Padahal industri smelter memiliki kewajiban diversifikasi atau bauran sumber energi, melalui pembangunan pembangkit tenaga surya, bayu, atau air. “Bauran energi terbarukan semestinya 23 persen, tapi ini enggak terjadi.”

PLTU captive hanyalah satu persoalan dari beragam masalah transisi energi di Indonesia. Di dalam dokumen Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara (PLN) tahun 2021-2030, pemerintah merencanakan peta jalan membangun pembangkit berkapasitas 40.967 megawatt. Dari jumlah tersebut, terdapat pembangunan PLTU batu bara sebesar 11.927 megawatt.

Sebenarnya, kata Fabby, Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik membatasi pembangunan PLTU. “Di dalam Pasal 3 aturan tersebut, secara tegas dinyatakan PLN tidak boleh membangun PLTU, kecuali yang sebelumnya sudah direncanakan dan dikontrak,” ucap Fabby.

Menurut Fabby, syarat pembangunan PLTU pun harus ketat. Misalnya PLTU wajib melaksanakan pembauran energi, PLTU berkaitan dengan penghiliran smelter, dan PLTU harus dipensiunkan pada 2050. Namun Fabby menemukan banyak pembangunan pembangkit listrik energi fosil yang tak peduli dengan syarat-syarat tersebut.

PLN sewajarnya menurunkan penggunaan energi fosil karena intensitas emisi listrik Indonesia sangat besar. Menurut Fabby, tingkat emisi listrik mencapai 0,8 ton CO2 per megawatt yang diproduksi. Jumlah tersebut sangat besar dibandingkan dengan Vietnam, Malaysia, Filipina, dan negara tetangga yang masih mengkonsumsi batu bara. Menurut dia, negara-negara di ASEAN hanya menghasilkan 0,5 ton CO2 per megawatt.

Fabby tak heran bila emisi listrik yang dihasilkan Indonesia lebih besar. Pasalnya, 70 persen listrik yang dihasilkan PLN disumbang oleh energi batu bara. Besaran energi fosil tersebut jauh lebih tinggi ketimbang Cina yang 50 persen saja. “Itu sebabnya, dalam waktu lima tahun ke depan, pemerintah perlu mendorong lebih cepat penambahan bauran energi terbarukan untuk mengurangi konsumsi fosil,” ujar Fabby.

Manajer Portofolio dan Riset Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian, menduga transisi energi yang dilakukan pemerintah merupakan solusi palsu. Hal itu terlihat dari kebijakan memperpanjang usia penggunaan batu bara dengan cara co-firing alias membakar batu bara bersama biomassa. “Saat ini, bauran energi Indonesia setengahnya bersumber dari PLTU batu bara,” tulis Beyrra dalam laporannya, tahun lalu.

Tambang batu bara di Kalimantan Selatan. Dok. TEMPO/STR/Dhemas Reviyanto Atmodjo

Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana enggan menjawab ihwal pemerintah yang masih menggantungkan listrik dari energi fosil. Dia menyarankan agar menghubungi Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM. Sebelumnya, Dadan pernah menjelaskan bahwa puncak penggunaan batu bara justru bakal terjadi pada 2030 hingga 2035.

Meski begitu, pemerintah sebetulnya telah memberlakukan skema carbon offset atau mekanisme penyeimbangan jejak karbon. Hingga kini, sudah ada 146 unit PLTU yang diwajibkan ikut dalam mekanisme perdagangan karbon. "Untuk tahun ini, jumlah peserta menjadi 146 unit dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 25 megawatt," kata Dadan dalam acara diskusi Perdagangan dan Bursa Karbon Indonesia, di Semarang, Rabu, 24 Juli 2024.

Perdagangan karbon PLTU masuk dalam skema subsektor pembangkit tenaga listrik yang diselenggarakan dalam tiga fase sejak 2023 hingga 2030. Sepanjang tahun lalu, pembangkit listrik energi fosil telah membeli carbon offset sebesar 7,1 juta ton CO2e atau setara dengan Rp 84,17 miliar. Mekanisme ini dinilai efektif untuk menekan PLTU batu bara melakukan transisi menggunakan energi bauran atau energi terbarukan.

Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo dalam forum diskusi itu menyebutkan pemerintah sudah memperbarui RUPTL hingga 2040 dengan menambah kapasitas pembangkit listrik menjadi 80 gigawatt. Komposisinya, 60 gigawatt bakal disumbang dari energi baru terbarukan dan 20 gigawatt berbasis gas. “Ini karena peraturan presiden sudah melarang perancangan pembangkit listrik berbasis batu bara untuk masuk RUPTL.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Wartawan Tempo, Didit Hariyadi, berkontribusi dalam laporan ini.

Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus