"TANK Thailand" hanyalah sebuah nama, bukan peralatan militer dari Thailand. Benda ini adalah alat penangkap baby clam, yaitu sejenis kerang yang bersemayam di dasar laut. Para nelayan di perairan Tanjungbalai, Asahan, Sumatera Utara, menyebutnya begitu karena memang diimpor dari Thailand. Bentuknya mirip kerang yang bisa membuka dan mengatup, terbuat dari besi berukuran panjang 1,7 dan lebar 1,3 meter. Beratnya kirakira 100 kilogram, ditarik oleh kapal berukuran 20 e 6 meter. Harganya Rp 400w500 ribu. Menurut nelayan setempat, ada yang beratnya mencapai 500 kilogram. Sejak dua bulan silam, alat yang terbilang modern ini digunakan oleh sekitar 200 kapal nelayan di perairan Tanjungbalai. Akibatnya, nelayan tradisional merasa amat dirugikan. Dulu mereka mampu menangkap baby clam -- penduduk setempat menyebutnya kopah surat -- 1,5 hingga 2 ton per hari. Sejak kehadiran "tank Thailand", mereka hanya meraup 500-700 kilogram. "Sebab daya tangkap alat ini melebihi pukat harimau, berpuluh kali lipat dari kemampuan kapal nelayan tradisional," kata Muhammad Nazi, Wakil Ketua Dewan Pengurus Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia. Menurut Nazi, dari segi lingkungan, cengkeraman "tank Thailand" mampu merusak laut. Begitu dilempar, benda ini akan menggigit dasar laut sedalam 30 sentimeter. Bila ditarik, tanah di dasar laut akan bergeser. Yang biasa berada di bawah akan naik ke atas, dan sebaliknya. "Itu jelas merusak kehidupan hewanhewan renik dan menimbulkan bau busuk yang tidak disukai ikan," ujar Nazi. Ikan gulamo, udang, kepiting, dan ikan lince yang biasanya berkerumun, tiba-tiba lenyap setelah dirambah "tank Thailand". Alat perkasa ini juga dapat mencabut apa saja, termasuk terumbu karang. Rumah-rumah ikan rusak, tanaman dan binatang laut ikut mati. Akhir Juli lalu nelayan tradisional mengadukan nasibnya ke Panglima Angkatan Bersenjata, Menteri Pertanian, Dirjen Perikanan, TNI AL, dan Tromol Pos 5000. Tak lupa mereka menyebut-nyebut kerusakan lingkungan gara-gara "tank Thailand" itu. Keluhan mereka rupanya didengar. Dalam patroli dua pekan lalu, satuan TNI AL yang berpangkalan di Belawan menangkap tiga kapal yang menggunakan "tank Thailand". Para awaknya diamankan di Perwakilan Armada Barat (Perwabar) Angkatan Laut Tanjungbalai. Oleh Kepala Perwabar, mereka dianggap beroperasi tanpa izin. "Sedangkan tuduhan merusak lingkungan dan merampok rezeki nelayan tradisional, itu perlu dibuktikan," ujar Kepala Perwabar, Peltu Kostanto. Soal beroperasi tanpa izin, sudah lama diketahui oleh Suroso, Kepala Dinas Perikanan Tanjungbalai. Pihaknya malah berniat memberikan rekomendasi untuk meningkatkan produksi kopah surat. "Bukankah hasil laut ini bisa dijadikan komoditi ekspor untuk Amerika Serikat, Thailand, Singapura, dan Malaysia?" katanya. Suroso tak percaya bahwa "tank Thailand" merusak lingkungan. Tanah di dasar laut yang dibalik, katanya, justru mengangkat zatzat hara dan pitoplankton ke atas dan ini mengundang ikan. Tak ayal, para pemakai "tank" membela diri. Mereka tak sudi dituduh merampok. "Kapal kami tak seganas pukat harimau. Setiap melaut kami hanya memperoleh 1 sampai 3 ton kopak surat. Lagi pula, operasi kami jauh di luar wilayah operasi nelayan tradisional. Mereka beroperasi satu mil dari pantai, kami tiga mil," ujar Ngadi, yang kini mendekam di Perwabar AL. Priyono B. Sumbogo dan Mukhlizardy Mukhtar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini