Menyambut ulang tahun ke-30, TVRI menayangkan pekan sinetron, bekerja sama dengan Universitas John Hopkins, AS. Ditampilkan sinetron karya tiga sutradarabeken tentang hidup keseharian kita. SEORANG gadis desa, anak seorang petani kecil, dipaksa kawin. Ia lari bersama pacarnya ke kota besar, tapi tak lama kembali ke kampung. Ketika dilabrak istri tua suaminya, ia kembali ke Jakarta dan sempat pacaran dengan seorang lelaki, lantas hamil dan melahirkan seorang anak, ditampung di kompleks relacuran. Duka cerita seperti itu bukan merupakan berita lagi. Seperti sudah wajar, karena merupakan realitas dalam kehidupan "kelas bawah" dari masyarakat pinggiran. Orang tidak lagi kaget. Tapi ketika nasib gadis desa yang takberdaya itu diceritakan kembali di layar televisi -- dan ditonton langsung di sekian juta rumah tangga -- orang menjadi sadar bahwa itulah kenyataan (sebagian terbesar) masyarakat Indonesia. Itulah yang ingin dikisahkan Arifin C. Noer, penulis cerita dan sutradara sinetron Tasi oh Tasi, Karya sutradara film beken ini mengawali pekan sinetronminggu lalu untuk menyambut ulang tahun ke-30 TVRI, Dari tujuh sinetron yang ditayangkan, ada tiga yang sutradarai oleh orang luar TVRI. Selain Arifin,ada Teguh Karya, yang menyutradarai Arak-arakan, dan Slamet Rahardjo yang menggarap Anak Hilang. Ini merupakan proyek kerja sama antara Kantor Menterinegara Kependudukan dan Lingkungan Hiidup, TVRI, dan Univeritas John Hopkins, Amerika Serikat, dengan dukungan dana lembaga pembangunan AS. USAID, bertemalingkungan dan kependudukan. Arak-arakan diangkat dari cerita pendek berbahasa Sunda karya Iskandar Wassid, diterjemahkan oleh sastrawan Ayip Rosidi dalam antologi Dua Dukun.Sinetron ini bercerita mengenai ketidakseimbangan usaha penggalian pasir yang berakibat meresah kan lingkungan dan masyarakat sekitarnya,Adapun Anak Hilang, skenarionya ditulis Marselli, menceritakan seorang anakdari keluarga miskin. Cekcok demi cekcok menyebabkan ia tak betah tinggal di rumah dan suka nongkrong di kaki lima. Suatu hari ia terkagum -kagum padakemahiran tukang sulap. Ketika ibunya yang menjadi tulang punggung keluarga meninggal, ayahnya semakin kehilangan kepercayan diri, Pertengkaran ayah-anaksemakin menjadi-jadi. Maka, si anak pun lari dari rumah. Ketiga sinetron itu juga diputar untuk para peserta Konperensi Kependudukan Asia-Pasifik ke-4 di Nusa Dua, Bali, minggu lalu, Sementara itu, keempat sinetron lainnya yang digarap oleh para sutradara TVRI dan ditayangkan dalam pekan sinetron itu ialah Nasib oh Nasib (Mustafa), Misteri Kecapi (Chep Masduki), Lelaki dari Tanjung Bira (Agoes Wijoyono), dan Melodi Yus-Riri (R. Wiedjajmto), Inisiatif kerja sama pembuatan tiga sinetron itu datang dari KLH, yang rupanya melihat salah satu program Universitas John Hopkins di bidangkependudukan yang ditangani Center for Communication Program (CCP). Lembaga ini pernah bekerja sama membikin film televisi di Filipina, Muangthai, India, Bangladesh, Nepal, Pakistan. Di sini, sejak tiga tahun lalu, lembaga tersebut ikut mengampanyekan "lingkaran biru" KB, yang kini disebut "lingkaran emas". Menurut Ricardo Wray dari CCP, lembaga yang sudah berusia 20 tahun ini cukup berpengalaman " memanfaatkan hiburan untuk mempromosikan program sosial secaraefektif". Berkat lobi yang tak kenal lelah dari Ishadi S.K. (Direktur Televisi ketika itu) -dan tentu juga berkat pendekatan dari pihak CCP -akhirnya USAIDbersedia membantu separuh dari biaya produksi setiap film sebesar Rp 109 juta separuhnya lagi ditanggung TVRI. Dalam kerja sama ini, CCP hanya menyampaikan gagasan mengenai temanya. "Kami percaya, para sutradara itu dikenal cukup mandiri dan punya reputasi tinggi.Jadi kami membebaskan mereka menentukan sendiri pilihan dan gaya penyutradaraan mereka. Yang penting mereka sependapat dengan misi film ini,"ujar Wray. Mengenai tampilnya tiga sutradara film itu, Wray menyatakan "kamisangat beruntung". Menurut Vick Hidayat, tampilnya ketiga sutradara itu merupakan kesempatan untuk bersaing secara sehat bagi para sutradara TVRI, "Pada ulang tahun TVRI ke-30 ini kami memang punya target untuk membikin sinetron yang lebih bagus, minimal mengimbangi ketiga sutraddara itu," kata kepala seksi perencanaan drama TVRI ini, "Kami senang mereka tampil, Mereka adalah guru kami, yangmengajar kami mengenai drama dan film," tambahnya. Di lain pihak, tampilnya ketiga sutradara film dalam pembuatan sinetron ini menawarkan segi lain yang bernilai positif. Di tengah lesunya produksi filmsinetron karya mereka mungkin bisa menjadi semacam sinema alernatif. Itulah pula yang dilihat oleh Teguh Karya "Dan kurangnya intensitas dalam filmIndonesia selama ini saya harapkan tidak terjadi pada sinetron kita," katanya Slamet Rahardjo juga melihat segi positif dari proyek kerja sama pembuatansinetron yang dirintis oleh Ishadi ini. "Ini memang merupakan terobosan dari Ishadi. Di tengah kesunyian kreativitas dunia perfilman kita, Ishadimenawarkan motivasi itu. Kami benar-benar diberi motivasi untuk berkreasi," katanya. Karena itu, ia sangat berharap proyek yang tidak menghitung-hitunguntung ini bisa diteruskan. Sayang, tidak ada lagi Ishadi. Budiman S. Hartoyo, Siti Nurbaiti, Arddian T.G.(Jakarta), B. Harymurti (Washington).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini