Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Sejumlah rekomendasi langkah penelitian letusan Gunung Semeru dibeberkan para peneliti gunung api dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) dan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM). Erupsi Gunung Semeru di Jawa Timur terjadi pada Sabtu, 4 Desember 2021
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Rekomendasi secara saintifik, perlu dilakukan analisis data secara terintegrasi yang mencakup data gempa vulkanik, deformasi, gas, dan data curah hujan secara temporal dalam beberapa bulan terakhir," kata pakar gunung api bidang seismolog UGM, Ade Anggraini, Senin, 6 Desember 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ade mengatakan data-data tersebut dibutuhkan untuk dikorelasikan dengan kejadian baik guguran dengan magnitudo kecil maupun besar untuk mengetahui faktor dominan penyebab erupsi Semeru.
"Tanggap darurat kepada masyarakat saat ini yang terutama perlu mewaspadai area di dekat sungai dengan hulu gunung api Semeru dan dilarang untuk beraktivitas dalam radius bahaya yang sudah ditetapkan oleh otoritas setempat," kata dia.
Ade mengatakan masyarakat sekitar juga sangat perlu menggunakan masker untuk menghindari bahaya ISPA akibat abu vulkanik. "Karena abu vulkanik mempunyai kandungan silika dan berukuran mikro. Material abu vulkanik yang berada di atap rumah perlu segera dibersihkan untuk menghindari bahaya robohnya atap rumah yang dapat menyebabkan adanya korban jiwa," kata dia.
Peneliti bidang geomorfologi UGM Danang Sri Hadmoko mengatakan secara saintifik, curah hujan yang tinggi belakangan ini juga bisa menyebabkan ketidakstabilan pada endapan lava akibat erupsi Semeru.
"Pada beberapa kasus, memang faktor eksternal, seperti curah hujan yang tinggi bisa menyebabkan thermal stress dalam tubuh kubah lava dan memicu ketidakstabilan dalam tubuh kubah lava," kata dia.
Ia mencontohkan pada erupsi Gunung Soufriere Hills di Montserrat, Kepulauan Karibia, pada tahun 1998, 2000, 2001, dan 2003 di mana hujan lebat dengan intensitas lebih dari 80 milimeter per jam dan durasi lebih dari dua jam juga memicu terjadinya runtuhnya kubah lava.
"Pada beberapa gunung api dengan lingkungan salju juga bisa menyebabkan melelehnya salju secara cepat dan juga dapat menyebabkan kubah lava tidak stabil," kata dia.
Seismolog UGM Wiwit Suryanto menuturkan dari data kegempaan yang terjadi di Semeru, terlihat bahwa jumlah guguran meningkat dalam beberapa hari terakhir. "Sehingga dapat disimpulkan ketidakstabilan kubah lava Gunung Semeru meningkat ditambah faktor eksternal berupa curah hujan yang tinggi," kata dia.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.