Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

KLHK: Karbon Harus Dikuasai Negara

Pasar karbon kisruh dengan pencabutan izin dan pembekuan kerja sejumlah pelaku usaha restorasi ekosistem. Apa dalih KLHK?

25 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi. Dok. KLHK

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH menetapkan target ambisius untuk memenuhi komitmen Perjanjian Paris 2015. Dalam dokumen Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC) terbarunya, Indonesia menjanjikan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,20 persen melalui dukungan internasional pada 2030. Pemerintah juga berikrar mencapai karbon netral atau net zero emissions pada 2060, sepuluh tahun lebih lambat dibanding negara-negara lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Upaya meredam emisi karbon dilakukan pada lima sektor utama, yakni energi, pertanian, sampah dan limbah, proses industri dan penggunaan produk (IPPU), serta pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan (FOLU). Seabrek aksi mitigasi iklim dirancang di setiap sektor tersebut, termasuk di antaranya pemberlakuan mekanisme perdagangan karbon melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam hal penyelenggaraan NEK tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bertanggung jawab membangun wadah untuk mengelola data serta informasi ihwal rencana aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim nasional. Wadah tersebut, yang bernama Sistem Registri Nasional-Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI), kini tersedia untuk mencatat laporan rencana setiap pelaku usaha dan penyelenggara NEK lainnya dalam pengendalian serta pemanfaatan karbon. Hingga saat ini, sedikitnya 3.810 entitas telah mendaftarkan 13.063 aksi perubahan iklim di SRN-PPI.

Masalah muncul belakangan. Dengan dalih penertiban, KLHK mencabut izin restorasi ekosistem PT Rimba Raya Conservation dan PT Global Alam Lestari. Kementerian juga dikabarkan membekukan rencana kerja sejumlah pemegang izin restorasi ekosistem lainnya, seperti PT Rimba Makmur Utama. Para pemegang izin restorasi ekosistem tersebut, sebagian di antaranya merupakan pionir perdagangan karbon pada pasar sukarela, dituding tak memenuhi aturan main yang muncul belakangan. 

Persemaian bibit pohon milik PT Rimba Raya terendam banjir, tak terurus setelah pencabutan izin dari KLHK, Desa Muara Dua, Seruyan Hilir, 6 Mei 2024. Tempo/Budi Baskoro

Laporan Tempo bertajuk Berebut Konsesi Perusahaan Restorasi Ekosistem menunjukkan seabrek persoalan dalam pencabutan izin yang kini tengah digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tersebut. Sekelompok orang di lingkaran kekuasaan ditengarai menunggangi aksi KLHK dengan dugaan hendak mencaplok konsesi existing. Inkonsistensi kebijakan kini membuat resah kalangan pemegang izin restorasi ekosistem yang mengaku turut mendapat tekanan dan gangguan dalam menjalankan kerja-kerja konservasi.

Kepada Avit Hidayat dan Irsyan Hasyim dari Tempo, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dhewanthi berdalih tindakan kementerian sebagai upaya menjaga kedaulatan negara. “Sebab, bicara karbon merupakan bagian dari sumber daya alam yang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 jelas itu harus dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” tutur Laksmi ketika ditemui pada Rabu, 19 Juni lalu.

Selama wawancara, Laksmi didampingi Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring Pelaporan Verifikasi KLHK Hari Wibowo. Laksmi enggan berbicara banyak kisruh pencabutan izin yang menurut dia telah masuk di ranah pengadilan. Namun dia menjelaskan ihwal tata kelola SRN-PPI yang sedang dibangun pemerintah. Laksmi juga menunjukkan ruang pemantauan di kompleks Manggala Wanabakti Blok IV Lantai 2 yang berisi layar monitor raksasa untuk merekam berbagai aktivitas mitigasi dan adaptasi perubahan iklim nasional.

Sejak kapan Indonesia membangun tata kelola untuk mekanisme perdagangan karbon?

Indonesia sudah membuat komitmen pasar karbon sukarela sejak 2009. Walaupun itu komitmen sukarela, kami enggak kaleng-kaleng istilahnya. Kami bangun sistem inventory, membangun sistem registri, dan sebagainya mendahului komitmen di Paris Agreement 2015.

Lalu, dengan pemberlakuan Perpres NEK, apakah mekanisme pasar karbon sukarela akan dihapuskan di Indonesia?

Dalam Perpres Nomor 98 Tahun 2021 tidak ada kata-kata melarang pasar sukarela perdagangan karbon. Memang ada peraturan peralihan yang memberi kesempatan bahwa mereka tidak memanfaatkan, itu pilihan. Kemudian kita menyiapkan di dalam regulasi namanya peluang kerja sama yang kita sebut sebagai mutual recognition agreement (MRA). Ini merupakan standardisasi bahwa kita punya credit scheme, jadi sertifikat yang diterbitkan itu diakui.

Lalu mengapa KLHK mengevaluasi para pemegang izin restorasi ekosistem?

Yang kemudian pemegang izin restorasi ini dievaluasi karena kami sedang menyiapkan SRN lantaran ada catatan bahwa mereka juga diperiksa oleh KPK berkaitan dengan evaluasi beberapa tahun ke belakang terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Apalagi mereka memegang izin restorasi. Tapi saya menyarankan Anda menanyakan ini ke direktorat teknis terkait.

Bagaimana sikap KLHK terhadap gugatan beberapa perusahaan di PTUN Jakarta karena pencabutan izin restorasi tersebut?

Hal itu ditangani oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK dan Biro Hukum. Karena kalau sudah masuk ranah hukum, itu sudah masuk ke mereka yang menanganinya. Kalau enggak salah, mereka yang dicabut izinnya itu mengajukan gugatan, karena itu putusan administratif, ya mereka ada hak melakukan itu.

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi menjawab pertanyaan Tempo di Kantor KLHK, Jakarta, 19 Juni 2024. TEMPO/Irsyan Hasyim

KLHK membangun SRN-PPI sebagai sistem untuk mengelola perdagangan karbon. Sebenarnya seperti apa mekanismenya?

SRN merupakan sistem registri, jadi kemampuannya adalah menelusuri. Katakanlah kita mengurangi emisi gas rumah kaca 1 juta ton setara CO2, misalnya, bisa kita telusuri apa saja kegiatannya. Kalau dikaitkan dengan nilai ekonomi karbon, karena kita membangun ekosistem ekonomi karbon yang berintegritas, berkeadilan, inklusif, dan transparan, penting untuk mengetahui bahwa sertifikat pengurangan emisi gas rumah kaca itu terbukti aksi mitigasinya karena tidak mungkin ada pengurangan emisi tanpa adanya aksi mitigasi.

Sudah berapa banyak entitas penyelenggara NEK yang terdaftar dalam SRN-PPI?

Pendaftar itu sudah mencapai 3.800 perusahaan. Secara bertahap, kami mendata dan membangun sistemnya. Tujuan besarnya adalah agenda pengendalian perubahan iklim, yang di dalamnya termasuk aksi mitigasi itu, memang bisa tercatat dan dapat ditelusuri. Makanya, kami menerapkan mekanisme MRV (measurement, reporting, and verification).

Apa kesulitan dan kerumitan dalam membangun sistem ini?

Setiap simpul ada tantangannya sendiri. Misalnya, ada tantangan-tantangan metodologi. Kita punya sekian aksi mitigasi. Nah, cara menghitung pengurangan emisinya kan berbeda-beda. Kegiatan sektor kehutanan tentu berbeda dengan aksi mitigasi pada sektor peternakan. Tantangan lain adalah membangun infrastruktur terkait dengan credit scheme, harus ada lembaga verifikasi dan validasi yang terakreditasi. Makanya, kami dan Komite Akreditasi Nasional (KAN) membangun lembaga akreditasi bersama Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BP2SDM) KLHK untuk menyiapkan personel yang tersertifikasi.

Beberapa kali KLHK selalu menyebut perdagangan karbon sebagai isu kedaulatan negara. Mengapa?

Bicara karbon itu kan sebagai sumber daya alam. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 jelas menyatakan segala sumber daya alam itu dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, termasuk karbon di dalamnya. Alasan lain kenapa ini menyangkut kedaulatan negara, misalnya, kita berupaya mengurangi emisi gas rumah kaca. Semua negara punya target terhadap pemenuhan NDC. Kemudian NDC itu harus dilaporkan ke dunia dan apa yang kita masukkan ke dalam NDC itu harus bisa kita pertanggungjawabkan bahwa benar-benar ada pengurangan emisi dengan cara bisa ditelusuri setiap aksinya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus