Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Singapura menjadi satu negara yang tertarik mengubur emisi CO2 di bekas sumur-sumur minyak dan gas bumi di Indonesia.
Indonesia memiliki 577,62 juta ton kapasitas tempat penyimpanan karbon yang dapat ditawarkan ke banyak negara.
Butuh modal sekurangnya US$ 2,4 triliun untuk membangun ekosistem gudang karbon hingga 2050.
D
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA bulan selepas pertemuan Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong dengan Presiden Prabowo Subianto, giliran Tan See Leng mendapat penugasan bertandang ke Indonesia pada Kamis, 16 Januari 2025. Second Minister for Trade and Industry Singapura itu menemui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia untuk membicarakan sejumlah rencana kerja sama bilateral, terutama bisnis penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS) lintas batas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami mengadakan pertemuan yang baik dengan Bapak Bahlil. Beliau berharap kita dapat memperluas kolaborasi yang tentu saja saya sangat setuju, baik itu di sektor hilir, misalnya tentang CCS, maupun dalam peningkatan investasi,” kata Tan ketika ditemui di kantornya dalam program The 21st Indonesian Journalists Visit Programme di Singapura pada Jumat, 24 Januari 2025. Kerja sama CCS yang dimaksud Tan merupakan cara Singapura mengurangi gas buang.
Tan menyadari bahwa 95 persen pasokan listrik negaranya masih mengandalkan pembangkit listrik yang diproduksi dari gas alam impor. Di satu sisi, mereka mengejar target net zero emission pada 2050 sesuai dengan yang dilaporkan dalam dokumen Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (NDC) dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa. Target terdekat adalah mengejar pengurangan emisi 60 juta ton karbon dioksida (CO2) pada 2030.
Adapun skema CCS dipilih karena 95 persen pembangkit listrik Singapura masih mengandalkan gas alam yang menghasilkan gas buang. Jadi negara dengan penduduk 6,1 juta jiwa tersebut perlu mengurangi emisi dengan cara menangkap CO2 yang disemburkan pembangkit. Rencananya, karbon kemudian dikirim ke Indonesia untuk diinjeksikan ke penyimpanan.
Beberapa tahun belakangan, pemerintah Indonesia makin gencar berbicara mengenai pembangunan proyek CCS serta penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon atau carbon capture, utilization, and storage (CCUS). Selain sebagai strategi untuk menangkap emisi dari pembangkit listrik berbasis fosil dalam negeri, proyek CCS dimaksudkan mengejar penerimaan negara melalui bisnis penyimpanan karbon dari luar negeri. Proyeksi pemerintah, Indonesia memiliki 577,62 juta ton kapasitas penyimpanan yang dapat ditawarkan kepada banyak negara.
“Indonesia memiliki akuifer salin yang luas dengan menyediakan 500 gigaton kapasitas penangkapan dan penyimpanan karbon,” ucap Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo dalam pidato di Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-29 (COP29) di Baku, Azerbaijan, 12 November 2024. Belakangan, ia merinci bahwa beberapa perusahaan global sudah membangun proyek CCS. Salah satunya BP Berau Ltd—anak usaha BP yang mengoperasikan kilang gas alam cair Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat.
Singapura menjadi satu dari beberapa negara yang tertarik mengubur emisi CO2 di bekas sumur-sumur minyak dan gas bumi di Indonesia. Tan See Leng menyebutkan Indonesia adalah pelopor di Asia Tenggara dalam pengembangan CCS. “Saya berharap dapat bekerja sama lebih erat. Mungkin kita bisa menyelesaikan nota kesepahaman, menyusun implementasi, dan melihat bagaimana mengembangkan percontohan,” ujar Tan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia menerima kunjungan Second Minister MTI Singapura Tan See Leng di Kantor Kementerian ESDM, 16 Januari 2025. Foto/Facebook/Bahlil Lahadalia
Juru bicara Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Jodi Mahardi, menceritakan Singapura berencana mengirim 2,5 juta ton karbon dioksida per tahun melalui mekanisme CCS di Indonesia. Mereka berminat menyimpan karbon di Indonesia karena tingginya kewajiban pajak atas emisi di Singapura. “Negara-negara lain yang menerapkan pajak karbon yang tinggi juga potensial sebagai pasar lintas batas,” tutur Jodi pada Rabu, 5 Februari 2025.
Menurut Jodi, Jepang sejauh ini telah berkomitmen menginjeksikan 13 juta ton CO2 per tahun. Sedangkan Korea Selatan telah merencanakan 11,2 juta ton per tahun. Pasar penyimpanan karbon juga terbuka untuk negara-negara lain, tak terkecuali Amerika Serikat dan Uni Eropa. Jodi memperkirakan nilai investasinya bakal mencapai US$ 28 miliar dengan kapasitas 25,5 juta ton CO2 pada 2030.
Sejak 2023, Jodi ikut berkeliling ke negara-negara penyumbang emisi untuk menawarkan skema CCS lintas batas. Satu di antaranya Amerika Serikat melalui perjanjian nota kesepahaman dengan korporasi raksasa. Kesepahaman itu kemudian dikuatkan setelah Prabowo Subianto dilantik sebagai presiden. Dalam lawatannya ke Amerika Serikat pada November 2024, Prabowo bertemu dengan sejumlah korporasi, seperti Freeport-McMoRan Inc, Chevron Corporation, dan ExxonMobil Corporation, untuk menawarkan investasi penyimpanan karbon.
Secara bertahap, tawaran pemerintah kepada banyak negara membuahkan hasil. Belasan proyek pembangunan penyimpanan dan penangkapan karbon sedang dibangun berbarengan di banyak lokasi. Rencana yang paling menonjol adalah pembangunan CCS/CCUS Hub di Cekungan Sunda Asri, kawasan lepas pantai Sumatera Selatan bagian timur milik PT Pertamina. Mereka berkolaborasi dengan ExxonMobil melakukan pengeboran pada akhir tahun ini untuk mengukur potensi 3 gigaton kapasitas karbon dioksida.
•••
INDONESIA sebetulnya disiapkan sebagai pusat gudang karbon terbesar di kawasan Asia Tenggara. Tak mengherankan bila pemerintah merintis ekosistem bisnis karbon. Pemerintah antara lain membangun industri transportasi untuk pengiriman dari luar negeri, jaringan pipa penyimpanan, terminal, hingga lokasi penyimpanan di banyak tempat berkapasitas puluhan gigaton.
Asisten Deputi Transisi Energi Kementerian Koordinator Perekonomian Farah Heliantina menyatakan dibutuhkan sekurang-kurangnya modal US$ 2,4 triliun untuk membangun ekosistem gudang karbon hingga 2050. Nilai tersebut diperlukan untuk mengejar target net zero emission pada 2060. “Ini angka yang sangat tinggi. Jadi kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat adalah kunci untuk mempercepat transisi energi,” kata Farah pada Sabtu, 18 Januari 2025.
Karena alasan itu, pemerintah sedang gencar menggelar karpet merah bagi investor. Pada akhir Januari 2025, misalnya, Kementerian Koordinator Perekonomian menjalin kesepakatan dengan sejumlah korporasi raksasa secara serempak. Kerja sama tak hanya dilakukan untuk investasi proyek CCS, tapi juga industri hilir, seperti petrokimia, plastik, dan serat sintetis.
Juru bicara Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Jodi Mahardi, menyebutkan akomodasi investasi energi terbarukan ini dibarengi dengan penerbitan regulasi yang mengatur urusan teknis operasional CCS. Regulasi itu adalah Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 dan turunannya, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2024, yang mengatur penyelenggaraan kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon. “Dari segi regulatory framework, kami termasuk yang terdepan.”
Aturan-aturan tersebut merinci penetapan zona target injeksi (ZTI), penetapan izin eksplorasi atau operasi penyimpanan, izin transportasi karbon, hingga prosedur lelang penyimpanan. Dalam segi keamanan, pemerintah mencantumkan mitigasi risiko adanya kebocoran ZTI dan dampaknya bagi aspek sosial atau ekosistem lingkungan. Hanya, kebocoran penyimpanan tidak disebutkan bakal menambah inventaris emisi di Indonesia.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa merasa ragu akan mitigasi yang dibuat pemerintah untuk mencegah kebocoran dalam proses pengangkutan atau injeksi karbon. Menurut dia, kebocoran karbon dalam proses penangkapan, pengangkutan, dan injeksi dapat mudah terjadi. “Apalagi terkait dengan penyimpanan, Indonesia wilayah yang rentan gempa, sehingga pemerintah harus mempertimbangkan risiko ini,” tutur Fabby.
Selain itu, pemerintah semestinya memaparkan hitung-hitungan emisi yang diproduksi dari proses transportasi dan injeksi karbon. Emisi sudah pasti muncul karena pengoperasian bisnis CCS menggunakan listrik atau bahkan energi fosil. Fabby khawatir pemerintah hanya berorientasi pada keuntungan tanpa melihat kegiatan penyimpanan karbon milik negara lain justru bakal menambah beban emisi gas rumah kaca bagi Indonesia.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara Iqbal Damanik turut merasa cemas bisnis penyimpanan karbon justru akan memicu terjadinya praktik greenwashing dengan cara memindahkan emisi ke Indonesia. Potensi itu ada bila terjadi kebocoran yang tentu akan memperparah tingkat emisi di Indonesia. Potensi greenwashing juga dimungkinkan muncul karena bisnis CCS akan memperpanjang penggunaan pembangkit listrik berbasis fosil.
Kilang minyak ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) di Lapangan Banyu Urip Blok Cepu, Bojonegoro, Jawa Timur. Foto/exxonmobil.com
“CCS yang diklaim energi hijau itu kan bukan kegiatan menangkap karbon dari atmosfer, tapi sebatas menyedot emisi dari cerobong PLTU (pembangkit listrik tenaga uap),” ujar Iqbal. Sementara itu, ladang-ladang minyak dan gas masih memproduksi bahan bakar untuk menggerakkan kendaraan. Semestinya pemerintah melakukan penghitungan secara komprehensif untuk memastikan proyek CCS tidak memperpanjang usia energi berbasis fosil.
Jodi Mahardi menepis anggapan adanya greenwashing dalam aktivitas CCS. Dia menjelaskan, teknologi CCS sudah lama digunakan oleh Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa untuk mengurangi tingkat emisi. Justru teknologi CCS dapat mengubah gas menjadi katalis yang terbukti sebagai industri karbon rendah. “Dan secara paralel dapat mendukung pendekatan solusi berbasis alam (NBS) dengan penerapan teknologi yang realistis.”
Tempo berupaya meminta penjelasan sejumlah pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ihwal potensi greenwashing bisnis CCS, tapi mereka enggan menjelaskan. Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Andriah Feby Misna meminta Tempo menghubungi pejabat lain melalui Kepala Biro Komunikasi Chrisnawan Anditya. Hanya, Chrisnawan mengalihkan kepada pejabat lain. “Saya sampaikan kepada Direktur Jenderal Minyak dan Gas, ya,” ucapnya singkat.
Permohonan konfirmasi juga dikirim melalui Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan Eniya Listiani Dewi. Namun, sampai laporan ini dipublikasikan, Eniya belum merespons. Sebelumnya, Eniya menyatakan CCS memang akan digunakan untuk menyerap emisi yang dihasilkan PLTU berbahan bakar batu bara. “Nanti akan ada PLTU batu bara plus carbon capture dan itu ada di Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional,” kata Eniya pada Kamis, 30 Januari 2025.
Penggunaan CCS ini dikatakan sebagai bagian dari batalnya rencana pensiun dini PLTU. Utusan Khusus Presiden Hashim Djojohadikusumo bahkan membantah kabar bahwa penggunaan pembangkit listrik berbasis batu bara akan disudahi pada 2040. “Yang saya sampaikan, mulai 2025 sampai 2040, semua pusat tenaga listrik, 75 persen itu dari energi baru dan terbarukan, 25 persen dari nuklir, gas alam, atau LNG,” ujar Hashim di Jakarta pada Jumat, 31 Januari 2025.
Senior Vice President Research and Technology Innovation PT Pertamina (Persero) Oki Muraza menepis anggapan bahwa bisnis CCS merupakan bagian dari praktik greenwashing. Dia juga memastikan proses pengangkutan dan injeksi karbon tidak akan memicu kebocoran karena memiliki konsep keamanan dan keberlanjutan. “Selain itu, dilakukan tahapan untuk memastikan integritas geologi dari lapisan batuan tudung (seal rock) untuk mencegah migrasi atau kebocoran CO2 ke lapisan lain di bawah permukaan,” ucap Oki melalui jawaban tertulis yang diterima Tempo pada Jumat, 7 Februari 2025.
Oki menjelaskan, saat ini Pertamina tengah mengembangkan sepuluh proyek CCS hub dan single emission source di banyak tempat. Salah satunya proyek CCS/CCUS Hub di Cekungan Sunda Asri bersama ExxonMobil dengan nilai investasi US$ 2 miliar. Rencananya proyek ini akan menjadi tempat penyimpanan emisi CO2 dari Singapura secara lintas batas. “Indonesia dan Singapura sudah menandatangani perjanjian letter of intent terkait dengan kerja sama pengiriman CCS lintas batas pada 9 Februari 2024,” tuturnya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Menampung Karbon Negara Lain