Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Suku Korowai Terkenal dengan Kalung Gigi Anjing, Ini Cara Buatnya

Untuk membuat kalung gigi anjing sepanjang setengah meter, membutuhkan waktu yang lama.

14 Januari 2020 | 14.23 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Di Papua, terdapat ras anjing purba lokal yang dijuluki New Guinea Singing Dog, yang tiba di Papua lebih dari 4.000 tahun lalu. Anjing ini diperkenalkan kepada penduduk dataran tinggi Papua sejak beberapa ribu tahun silam, yang berasal dari jenis yang istimewa, Canis familiaris hallstromi yang tidak suka menggonggong.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anjing berharga bagi masyarakat Suku Korowai di Kabupaten Mappi, Papua. Suku Korowai biasanya menggunakan anjing sebagai pemburu, juga terkenal dengan perhiasan kalung dari gigi taring anjing dengan proses pembuatannya yang panjang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Panjang kalung itu sendiri bervariasi, mulai dari setengah meter, satu meter, bahkan ada yang dua meter. Untuk membuat kalung gigi anjing sepanjang setengah meter, membutuhkan waktu yang lama, karena dari seekor anjing bisa diperoleh empat gigi taring,” ujar peneliti dari Balai Arkeologi Papua Hari Suroto, melalui pesan elektronik, akhir pekan lalu.

Hingga saat ini anjing menjadi binatang kesayangan masyarakat Papua, bahkan sudah dianggap bagian dari keluarga, Karena anjing-anjing ini akan menjaga rumah, pekarangan, menjaga pemiliknya selama berkebun dari serangan binatang buas, selain itu juga membantu dalam berburu

“Gigi anjing diperoleh dengan cara menyimpan kepala anjing yang sudah mati pada sebuah pelepah sagu di tempat tersembunyi. Kepala anjing ini dibiarkan begitu saja hingga gigi-gigi terlepas,” tutur Hari. “Selanjutnya gigi taring diambil dan dilubangi bagian pangkalnya sebagai tempat memasukkan tali.”

Gigi anjing bagi Suku Korowai merupakan barang berharga. Jika ada yang mencuri kepala anjing yang disimpan di tempat tersembunyi, maka bisa berakibat perkelahian.

Selain itu, anjing juga memiliki tugas sebagai penggiring atau pun melukai babi saat masyarakat Papua memburunya. Aktivitas perburuan babi hutan dilakukan semua warga laki-laki, mereka bergotong-royong masuk ke hutan untuk melakukan perburuan.

Menurut Hari yang juga arkeolog lulusan Universitas Udayana, Bali itu, perburuan dilakukan untuk mempererat rasa persatuan serta menjadi simbol kejantanan dan keberanian kaum pria dari suku tersebut. “Sebelum melakukan perburuan, biasanya orang Sentani akan melakukan musyawarah. Hal ini dilakukan untuk menentukan arah perburuan dan juga membagi penduduk menjadi dua kelompok,” kata dia.

Biasanya kelompok pertama bekerja sebagai penggiring, dan kedua bekerja sebagai pengesekusi. Saat babi hutan berhasil didapatkan, hewan itu akan segera dipotong lalu dimakan bersama-sama.

Pada umumnya anjing di Papua dibiarkan lepas begitu saja, bebas berkeliaran di kampung. Anjing juga banyak yang tidur di pinggir jalan raya. Bahkan menariknya, ketika ada pengendara yang menabrak anjing, maka bisa dikenai denda sesuai dengan keinginan pemiliknya.

Umumnya, Hari berujar, untuk satu ekor anjing bernilai hingga Rp 2 juta jika tertabrak di jalan. Nilai ini berlaku di sekitaran kota-kota di Papua. Sedangkan untuk di kabupaten atau pedalaman yang dilalui jalan Trans Papua atau jalan raya antar kabupaten, nilai dendanya akan lebih tinggi, biasanya dihitung dan dikali dengan jumlah susu anjing tersebut.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus