Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Walhi Sudah Peringatkan Bencana di Lembah Anai, Tuntut BKSDA Bertanggung Jawab

Bencana berulang di Lembah Anai, Sumatera Barat, sudah diprediksi sebelumnya. Bagaimana Walhi bisa melakukan itu?

14 Mei 2024 | 19.14 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kondisi di Taman Wisata Alam atau TWA Mega Mendung, Kabupaten Tanah Datar usai diterjang banjir bandang pada Sabtu, 11 Mei 2024 lalu. Objek wisata tersebut berada di pinggir aliran Sungai Batang Anai. TEMPO/Fachri Hamzah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Taman Wisata Alam Mega Mendung di Lembah Anai di Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, disapu banjir bandang yang menjelma dari banjir lahar Gunung Marapi pada Sabtu malam dan Minggu pagi, 11-12 Mei 2024. Bencana ini bukan yang pertama. Lembah Anai porak poranda karena banjir bandang pernah terjadi sebelumnya, antara lain, pada 22 Februari 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beruntung saat itu tidak ada korban jiwa. Kontras dengan bahala terkini yang menelan korban tewas sedikitnya sebanyak 50 orang. "Bencana ekologis terus berulang dan kini dampaknya kian parah," kata Direktur Walhi Sumatera Barat, Wengki Purwanto, dikutip dari keterangan tertulisnya, Selasa 14 Mei 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wengki menambahkan bahwa ancaman bencana akan semakin meningkat bukan hanya karena perubahan iklim serta alih fungsi lahan dan kerusakan lingkungan. "Tapi termasuk juga karena pembangunan yang mengabaikan aspek risiko bencana," kata dia. 

Walhi mengungkap telah memperingatkan sejak setahun terakhir akan dampak bencana banjir bandang terhadap banyak bangunan di pinggir daerah aliran sungai (DAS) Batang Anai di kawasan Lembah Anai. Risiko dan dampak bencana itu telah disampaikan pula ke Dewan Sumber Daya Air Sumatera Barat sebagai evaluasi fungsi kawasan TWA Mega Mendung yang dinilai dibayang-bayangi bahaya.

Selain lokasi TWA Mega Mendung, Walhi Sumatera Barat turut menyorot pembangunan sebuah kafe yang berada dekat air terjun Lembah Anai. Menurut Wengki, pembangunan kafe mengabaikan paradigma tata ruang wilayah Sumatera Barat yang rawan bencana. "Sebab terkesan mengesampingkan aspek mitigasi dan upaya keselamatan bila terjadi bencana," katanya.

Kondisi jalan nasional di Air Terjun Lembah Anai yang terban akibat diterjang banjir lahar dingin di Kabupaten Tanah Datar, Minggu, 12 Mei 2024. (Antara/Fandi Yogari).

Terbukti dengan kondisi TWA Mega Mendung dan bangunan di sekitar air terjun Lembah Anai pasca-banjir bandang 11-12 Mei lalu yang luluh lantak. Menurut Wengki, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat harus bertanggung jawab karena telah menerbitkan izin pembangunan di kawasan hutan lindung itu yang tidak memadukan konsep pengelolaan dengan analisis risiko bencana.

Gubernur Sumatera Barat dan Bupati Tanah Datar juga disebutkannya sebagai pihak yang harus ikut bertanggung jawab terhadap bencana berulang di Lembah Anai. Wengki menunjuk kelalaian ataupun kesengajaan yang menyebabkan pembangunan dan pemanfaatan ruang tidak berbasis penanggulangan bencana.

"Masyarakat ditempatkan pada situasi rawan bencana dan akhirnya menjadi korban dari bencana," katanya menyesalkan. 

Wengki mengisahkan, Walhi Sumatera Barat sebelumnya sudah membawa persoalan tata kelola lahan di Lembah Anai bahkan sampai ke tingkat pusat, yakni ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian LHK, dan Kementerian PUPR. Walhi mendesak agenda pertemuan untuk mengatasi bencana berulang di Lembah Anai.

Walhi memandang perlu dilakukan identifikasi terhadap detail bangunan yang berada di sekitar Lembah Anai, khususnya di kawasan Hutan Lindung. Selanjutnya juga merekomendasikan untuk dibuat batas sempadan Sungai Batang Anai, Nagari Singgalang, Kecamatan X Koto, dan menindak bangunan yang berdiri tanpa izin.

Bencana ekologis, Wengki menekankan, terjadi bukan sekadar akibat cuaca ekstrem, melainkan juga hasil dari krisis ekologis yang terakumulasi. Oleh karena itu, menurutnya, sangat dibutuhkan kesadaran kolektif akan keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. "Dalam konteks ini, perubahan iklim, alih fungsi lahan, dan kerusakan lingkungan menjadi faktor yang meningkatkan risiko bencana."

Lebih lanjut, Wengki menyatakan perlu kebijakan konkret yang berbasis data akurat dan penegakan regulasi lingkungan yang tegas. Dia menyerukan peninjauan ulang kebijakan pembangunan, penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana, dan audit lingkungan menyeluruh sebagai langkah-langkah mendesak dalam menghadapi bencana ekologis.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus